Sunday 30 June 2013

Merancang Kematian yang Indah


إن الحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : (102)

Kaum muslimin rahimakumullah…

Pertama-tama, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketakqawaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan….

Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an :
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. ( Al-Ahzab : 56)

Kaum Muslimin rahimakumullah….
Rutinitas kehidupan terkadang menyebabkan kita lupa pada kematian. Padahal, kematian itu adalah sebuah peristiwa besar yang pasti kita alami dan rasakan. Kematian adalah sunnatullah (sistem Allah) bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya :

لُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan balasan (amal) kalian. Maka, siapa yang (hari itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah sukses besar. Dan tidak adalah kehidupan dunia ini kecuali (sedikit) kenikmatan yang menipu. (QS. Ali Imran : 185)

Jika kematian itu adalah sautu kebenaran yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?

Kesibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari kematian; satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Hal tersebut terbukti bahwa konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Oleh sebab itu, mari kita fokuskan hidup kita untuk merancang kematian, dengan cara mendesain hidup ini semuanya hanya untuk Allah dan dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Berbahagialah orang-orang yang diberi Allah kemudahan untuk mendesain semua aktivitas hidupnya hanya untuk Allah dan dapat dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul Muhammad Saw. Sebaliknya, celakalah orang-orang yang memilih jalan hidupnya selain jalan Allah, semua aktivitas hidupnya bukan untuk Allah dan dijalankan di luar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Kaum Muslimin rahimakumullah….
Sebelum kematian tiba, kita akan melewati suatu fase yang bernama sakratulmaut. Sakratulmaut adalah pintu gerbang kita menuju kematian. Sakratulmaut adalah peristiwa yang amat menakutkan, karena saat sakrtaulmaut tiba, tak seorangpun dapat membantu dan menolong kita, kendati saat kritis itu, istri, sanak saudara dan handai tolan sedang mengelilingi kita. Kita akan bergulat sendirian dengan sakratul maut itu di tengah keramain orang-orang yang kita cintai dan sayangi. Semua mereka hanya dapat menatap kita dengan pandangan mata yang hampa. Saat itulah kita akan merasakan langsung apakah kita termasuk orang yang telah merancang kematian atau bukan. Apakah kita termasuk orang yang siap menghadapi kematian atau bukan.

Sakratulmaut adalah bahasa Al-Qur’an yang terdiri dari dua kata “sakrotan”; pecahan dari kata : سكر – يسكر – سكرا (sakiro – yaskaru – sakran) yang berarti “mabuk atau teler”. Kata “maut”; pecahan dari kata : مات – يموت – موتا (maata – yamuutu – mautan) yang berarti “mati”. Maka Sakratulmaut berarti “kondisi mabuk menghadapi saat kematian’.

Sakratulmaut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian. Karena kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping itu, sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan, maka kematian juga memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki alam lain bernama Barzakh; sebuah alam yang jauh lebih besar dan sangat berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya dengan bumi saat kita hidup di dunia.
Sakratulmaut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya telah dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya :

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
Saat datanglah Sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (Q.S. Qaf: 19 )

Pertanyaan berikutnya ialah, apakah manusia mampu menghindari Sakratulmaut? Jawabannya tentu ‘mustahil’. Karena Sakratulmaut adalah voucher manusia untuk masuk ke Alam Barzakh, tempat penginapan mereka yang ketiga yang sudah disiapkan oleh Pencipta, Raja dan Pemilik alam semesta ini, yakni Allah Rabbul ‘Alamin, setelah kehidupan dalam rahim ibu mereka dan kehidupan di atas bumi. Mereka tidak akan dapat mengelak dan lari dari keharusan melewati sakratulmaut, sebagaimana mereka tidak bisa mengelak dan menghindar dari ketentuan dan kehendak-Nya ketika mereka diciptakan sebelumnya dari tidak ada menjadi ada.

Sebab itu, sebelum Sakratulmaut datang menghampiri kita, Allah sebagai Pemilik dan Pengendali jagad raya mengajak kita memikirkan dan menyaksikan kehendak, keputusan dan sistem-Nya tentang Sakratulmaut yang telah menjadi kenyataan sehari-hari yang kita saksikan seperti yang tercantum dalam surat Al-Waqi’ah berikut ini:
فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لا تُبْصِرُونَ (85) فَلَوْلا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ (86) تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (87)
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, (83) padahal kamu ketika itu menyaksikan (orang yang sedang sekarat itu) (84) dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya (85) maka kalaulah kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah) (86) (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya semula) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Q.S. Al-Waqi’ah: 83 – 87)

Tentang kondisi Sakraulmaut tersebut, Sayyid Qutb menjelaskannya dengan begitu indah dan menarik dalam tafsirnya “Fii Zhilal Al-Qur’an”, sebagai berikut :

Apa gerangan yang akan Anda lakukan ketika nyawa telah berada di tenggorokan? Anda sedang berada di persimpangan jalan yang majhul (tidak diketahui). Kemudian, penggambaran Al-Qur’an yang inspiratif yang melukiskan semua dimensi sikap dalam sentuhan-sentuahan yang cepat, mengungkapkan semua kondisi yang sedang dihadapi, latar belakangnya dan semua yang akan menginspirasikannya… Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu) dan Kami (dengan malaikat-malaikat) lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya…
Kita seakan mendengar suara tenggorokan orang yang sedang sekarat dan melihat tatapan wajahnya, merasakan bencana dan kesulitan (yang dihadapinya) lewat firman Allah, “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”. Sebagimana kita juga bisa melihat tatapan wajah yang tak berdaya, putus asa yang dalam raut muka orang-orang yang hadir (di sekitar orang sedang sekarat itu) lewat firman-Nya “ padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu)”.

Di sini, pada momen ini, sungguh ruh (nyawa) itu telah selesai dengan urusan dunia. Ia telah meninggalkan bumi dan seisinya. Ia akan menyambut dunia yang belum pernah ditempatinya…Ia tidak akan mampu lagi menguasai sesuatu selain dari apa yang pernah ia tabung sebelumnya… berupa kebaikan atau kejahatan yang dilakukannya…

Di sini, ia melihat, tapi ia tidak mampu membicarakan apa yang dilihatnya… Ia telah terpisah dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan apa saja yang ada di sekelilingya…Hanya fisiknya yang bisa disaksikan oleh yang hadir di sekitarnya…Mereka hanya melihat begitu saja sedangkan mereka tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi dan tidak punya kuasa terhadapnya barang sedikitpun….
Di sini, kemampuan manusia terhenti… Ilmu pengetahuan manusia juga tidak berguna sebagaimana peran manusia juga tidak ada…Di sini, mereka mengerti, tapi tidak bisa membantahnya. Mereka lemah,…. lemah…..terbatas….terbatas…. Di sini layar diturunkan tanpa mereka lihat, tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa kemampuan bergerak/berbuat.

Di sini, yang berperan hanya Qudrat Ilahiyah (Kekuasaan Allah)… Ilmu Ilahi…(Ilmu Allah)….Semua urusan murni milik Allah tanpa sedikitpun keraguan, tanpa bantahan dan tanpa ada kiat-kiat apapun. “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu”. Di sini, terjadi kebesaran sikap yang membesarkan Kebesaran Allah… Kewibawaan dan kehadiran-Nya –Subhanahu Wata’ala – sedangkan Dia hadir setiap waktu. Ungkapan itu membangunkan perasaan akan suatu hakikat (kenyataan) yang dilupakan manusia.. Maka tiba-tiba, majlis yang menghadiri kematian merasakan seramnya (suasana) karena didominasi oleh ketakutan, kehadiran dan kebesaran-Nya…Yang mendominasi ialah ketidakberdayaan, ketakutan, keterputusan dan perpisahan…

Dalam kondisi liputan perasaan yang gemetaran, berdebar, putus asa, dan duka lara, datanglah tantangan (Keputusan Allah) yang memotong semua perkataan dan mengakhiri semua perdebatan : “. Maka jika kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah), (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” Jika sekiranya masalahnya seperti yang kamu katakan : “sesungguhnya tidak ada perhitungan dan tidak ada balasan”, berarti kamu orang-orang yang bebas tanpa ada pembalasan dan perhitungan? Jika demikian, kamu mampu mengembalikan nyawa – yang sudah sampai di tenggorokan itu – agar kamu hindarkan ia dari kondisnya yang sedang menuju perhitungan dan balasan itu…Padahal kamu berada di sekitarnya dan sedang menyaksikannya, sedangkan ia berlalu menuju dunia yang besar, dan kamu diam saja dan tidak berdaya…

Di sini, gugurlah semua alasan, habislah semua argumentasi, punahlah semua kiat dan habislah bantahan…Dan tekanan hakikat (kenyataan) ini membebani diri manusia. Sebab itu, mereka tidak akan mampu bertahan,(dengan kondisi pembangkangannnya kepada Tuhan Pencipta) kecuali jika mereka tetap menyombongkan diri tanpa bukti dan argumentasi”

Kaum Muslimin rahimakumullah….
Terkait dengan sakratulmaut, manusia terbagi kepada tiga golongan. Pertama, golongan “Muqarrabin”, yakni orang yang dekat dengan Tuhan Pencipta ketika berada di dunia. Kedua, “Ash-habul Yamin” (Golongan Kanan) yang merupakan bagian dari ‘Muqorrobin”. Ketiga, golongan “al-mukadzi-dzibin adh-dhallain”, yakni orang-orang yang menentang dan menantang kebenaran Tuhan Pencipta dan sistem hidup yang datang dari-Nya dan tersesat dari jalan yang benar. Tentang ketiga golongan ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya :

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94) إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ (95) فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (96)

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), (88) maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan.(89) Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, (90) maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.(91) Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang menolak (kebenaran Tuhan Pencipta dan apa saja yang datang dari-Nya) lagi sesat, (92) maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, (93) dan dibakar di dalam Neraka.(94) Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.(95) Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar (96)” (Q.S. Al-Waqi’ah: 88 – 96)

Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir terkemuka menjelaskan ayat-ayat tersebut di atas dengan penjelasan yang sangat indah dan menarik. Alangkah baiknya kita simak penjelasan Beliau berikut ini : “ Inilah tiga suasana yang dialami oleh manusia ketika sakratulmaut. Adakalanya ia termasuk kaum ‘muqorrobin’ atau termasuk golongan yang ada di bawah mereka, “Ash-habul Yamin” , yaitu yang termasuk golongan kanan, dan ada yang teremasuk orang-orang yang mendustakan kebenaran, yang sesat dari petunjuk dan tidak tahu menahu tentang perintah Allah (al-mukadzi-dzibin adh-dhallain).

Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Adapun jika dia termasuk orang yang didekatkan kepada Allah.” Mereka adalah orang-orang yang setia mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan di sunnahkan. Dan, meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan serta sebagian dari yang diperbolehkan. ”Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan”. Dan, para Malaikat akan menyampaikan berita gembira itu ketika sakratulmaut tiba, sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits Al-Barra’, Para Malaikat rahmat akan mengatakan, ‘hai ruh yang baik dalam jasad yang baik, kamu telah memakmurkannya, keluarlah menuju ketenteraman, rezeki, dan Tuhan yang tidak murka’.
Ruh dan Raihan dalam ayat ini berarti rahmat, rezeki, kegembiraan, dan kesenangan. “Dan Syurga kenikmatan”.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Imam Syafii’ dari Imam Malik dari Zuhri dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari Ka’ab bahwa Rasul saw, bersabda, “ Ruh seorang Mu’min itu berupa (bagaikan) burung yang bergelantungan pada pohon Syurga sebelum Allah mengembalikan ruh itu ke jasadnya ketika membangkitkannya kembali.” (pada hari kiamat nanti).
Abul Aliah mengatakan, “Tidak akan dipisahkan nyawa seorang muqarrabin sebelum dihadirkan kepadanya satu dahan dari kenikmatan Syurga, lalu ruhnya itu disimpan di sana.” Di dalam sebuah hadits shaheh dikemukakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ruh-ruh para Syuhada (orang-orang yang mati sedang berjihad menegakkan agama Allah) itu dalam tembolok burung hijau yang berterbangan di taman-taman Syurga kemana saja mereka kehendaki, kemudian bermalam pada pelita-pelita yang bergelantungan pada Arasy.”

Allah SWT berfirman, “Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan.”. Yaitu, jika orang yang sedang mengalami sakratulmaut itu termauk golongan kanan, “maka keselamatan bagimu, karena kamu termasuk golongan kanan.” Yaitu, para Malaikat akan menyampaikan kabar gembira itu kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan Syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan dunia dan di Akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan di dalamnya kamu memperoleh pula apa yang kamu minta. Sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fush-shilat : 30 – 32)
Imam Bukhari mengatakan, “Maka salam sejahtera bagimu,” yaitu disampaikan salam kepadamu bahwa kamu termasuk golongan kanan.

Allah SWT berfirman, “ Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia akan mendapatkan hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Neraka.” Yaitu, bila orang yang tengah mengalami sakratulmaut itu termasuk golongan yang mendustakan kebenaran dan sesat dari jalan petunjuk, “maka dia mendapatkan hidangan dari air yang mendidih,” Yaitu cairan yang akan melelehkan isi perut dan kulit-kulit mereka. ” Dan dibakar di dalam Neraka,” yaitu dia akan ditempatkan di dalam api Neraka yang akan menyelimutinya dari semua arah.

Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya ini adalah suatu keyakinan yang benar,” yang tidak diragukan lagi. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Dan dia adalah berita yang menjadi saksi. “Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa U’qbah bin Amir Al-Juhani berkata, “Maka bertasbihlan dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar, (subhana Robiyal ‘Azhim)‘ Rasulullah mengatakan, ‘Jadikanlah ayat ini bacaan ruku’ kamu.’ Dan ketika turun wahyu kepada beliau, ‘Maka sucikanlah Tuhanmu yang Maha Tinggi,’(subhana Robbiyal A’la). Rasulullah mengatakan, jadikanlah ayat ini sebagai bacaan sujud kamu.”

Kaum Muslimin rahimakumullah….
Setelah kita melewati “Sakratulmaut” berarti kita sedang berada pada batas terakhir dari perjalanan kita di dunia dan di batas awal memasuki dunia baru yang bernama Barzakh. Untuk memasuki dunia baru tersebut terlebih dulu kita harus membuka pintu masuknya. Pintu masuknya itu bernama “Kematian”. Ya, Kematian… Itulah fase yang harus kita lewati setelah melewati fase Sakratulmaut. Dengan kematian itu kita berhak mendapatkan tempat di alam Barzakh.

Kematian adalah sesuatu yang ditakuti banyak orang. Kendati pada kenyataanya, tidak ada seorangpun yang dapat menghindari atau lari dari kematian itu. Siapapun dia, Presidenkah, Rajakah dia, Konglomerat kah dia, Jendral berbintang lima kah dia, di mana dan kapanpun mereka berada. Mereka pasti mati. Selama mereka memiliki nyawa, pasti akan mengalami kematian. Hal ini telah menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan Pencipta sebagaimana di jelaskan-Nya dalam surat Ali Imran ayat 185 dan Surat An-Nisa’ ayat 78 berikut ini :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ…..(185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (Q.S. Ali Imran: 185)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ (78)
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…. (Q.S. An-Nisa’ : 78)

Kematian sudah ditentukan bagi setiap yang bernyawa. Kematian tidak perlu dicari, karena ia yang mencari setiap yang bernyawa. Kematian tidak bisa diwakilkan, dipindahkan atau take over oleh yang tidak berhak, karena petugas kematian, yakni Malakul Maut yang diberikan tugas khusus mengurusinya belum pernah menerima sogokan dan tidak akan pernah. Karena semua Malaikat melakukan semua apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, tanpa sedikitpun disimpangkan apalagi dimanipulasi, seperti yang Allah jelaskan :

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ (11)
“Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S.As-Sajdah (32) :11)

Demikian juga, bahwa kematian akan datang pada saatnya atau ketika ajal (batas)nya habis. Kematian tidak bisa diundurkan kendati barang sedetik. Tidak sedikit orang yang mencoba untuk mengundurkan kematian, tapi usahanya gagal dan sia sia belaka. Karena kematian adalah pintu masuk tempat tinggal sementara ketiga kita, yakni alam Barzakh. Maka, kitapun harus memasukinya, karena jatah menginap di penginapan di dunia sudah habis serta tempat kita di dunia sudah dibooking Malaikat untuk penghuni lain selain kita. Allah telah mengingatkan kita tentang hal ini dan apa yang harus kita lakukan sebelum kematian (maut) itu menjemput kita, seperti tercantum dalam firman-Nya berikut ini :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.(9) Dan belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhan Penciptaku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?” (10) Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (11)” (Q.S. Al-Munafiqun : 9 – 11)

Nah, sebelum kita dijemput Kematian (Maut) yang waktunya Allah rahasiakan… Ia bisa datang saat ini, satu detik setelah ini, satu menit setelah ini, satu jam setelah ini, satu hari setelah ini, satu pekan setelah ini, satu bulan setelah ini, atau satu tahun setelah ini dan seterusnya….Sebelum Kematian menjemput kita, cobalah gunakan kecerdasan Spiritual, Emotinal dan Intellectual yang Allah berikan kepada kita untuk menangkap rahasia di balik Kematian itu. Lalu, tanya diri kita dengan jujur seputar pertanyaan-pertanyaan berikut :
  1. Siapa yang menghadirkan saya ke dunia ini?
  2. Apakah saya sudah mengenal Tuhan Pencipta saya dengan baik?
  3. Apakah saya sudah mengenal Kitab Petunjuk Hidup (al-Qur’an) yang diturunkan-Nya untuk saya?
  4. Apakah saya sudah mengenal seorang manusia bernama Muhammad Bin Abdullah yang diutus-Nya untuk menjelaskan isi Kitab Petunjuk Hidup tersebut?
  5. Apakah saya akan hidup di dunia ini selama-lamanya?
  6. Tidak cukupkah kematian manusia yang saya lihat setiap hari di atas muka bumi ini dengan berbagai sebab, seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir bandang, perang, sakit jantung, darah tinggi dan bahkan ada yang tidak sakit sama sekali, menjadi pelajaran berharga bagi diri saya dan saya juga pasti akan mengalaminya, masalahnya hanya tinggal waktu?
  7. Bagaimana pandangan saya terhadap kehidupan dunia ini?
  8. Bekal apa yang sudah saya siapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian?
  9. Apakah saya sudah mengevaluasi hidup saya sejak masa baligh (dewasa) sampai saat ini?
  10. Sudahkah saya memiliki 10 Katrakter Mulia yang menjadi syarat kesuksesan hidup saya di dunia dan di akhirat nanti, yakni aqidah bersih, ibadah benar, akhlak kokoh, wawasan luas, memiliki skil kehidupan, fisik sehat dan kuat, mampu mengendalikan syahwat, urusan teratur, manajemen waktu baik dan memiliki tanggung jawab sosial.
Kaum Muslimin rahimakumullah….
Demikianlah khutbah ini, semoga Allah menolong kita dalam merancang kematian yang akan kita hadapi. Semoga Allah membuka peluang bagi kita untuk meraih kematian dengan predikat al-muqarrabin atau minimal ashabul yamin dan melindungi kita dari termasuk golongan al-mukadz-dzibin adh-dhallin….
Dan semoga Allah berkenan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus, yaitu jalan para nabi, shiddiqin, syuhadak dan sholihin. Allahumma amin… (Mh)
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم إنه تعالى واد 
كريم ملك رؤوف رحيم إنه هو السميع العليم …..
www.eramuslim.com

Cucunya Ash Shidiq, Didikkan Aisyah Ra, Kemuliaan Fuqaha yang Terwariskan


“..kalau saja saya memiliki kewenangan, tentulah aku akan mengangkat Al Qasim  bin Muhammad sebagai khalifah..” (umar bin Abdul Azis)

Pernahkan anda mengetahui tentang Al Qasim bin Muhammad bin abu Bakar Ash-Shidiq ? Dia adalah salah satu dari tujuh Fuqaha Madinah yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara. Beliau lahir pada masa khilafah Utsman Bin Affan. Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash –Shidiq. Ibunya adalah putri Yazdajir dari raja Persia yang terakhir, sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah, Ummul Mukminin.
Seiring dengan tumbuh berkembangnya ,  badai fitnah sedang menimpa kaum muslimin saat itu. Hingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Mushaf Al Qur’an berada dalam dekapannya.

Tak lama setelah itu muncul sengketa besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan bin harb, seorang gubernur untuk wilayah Syam.
Dalam  rangkaian keadaan genting dan peristiwa-peristiwa yang mencekam itu, anak ini bersama adik perempuannya dibawa dari Madinah ke Mesir menyusul kedua orang tuanya .  Ayahnya diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Di kota ini, dia pun harus menyaksikan cakar-cakar fitnah yang mencengkram  sampai akhirnya ayah beliau tewas dengan cara yang keji. Selanjutnya ia pulang lagi ke Madinah setelah kekuasaan dipegang oleh Mu’awiyah. Setibanya di madinah bibinya, Aisyah binti Abu Bakar, ummul Mukminin, mengutus seseorang untuk mengambil dia dan adiknya untuk dibawa kerumahnya dan dipelihara di bawah pengawasannya.
Al Qasim menuturkan kisahnya yang penuh keprihatinan itu , “ ternyata belum  pernah aku menjumpai seorang ibu dan ayah yang lebih besar kasih sayangnya daripada beliau (Aisyah ra). Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami. Bila tersisa makanan dari kami , barulah beliau memakannya. Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau  yang memandikan kami, menyisiri rambut  kami , memberi pakaian yang putih bersih . Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami  dengan keteladanannya langsung. Beliau juga yang mengajar kami membaca Kitabullah dan meriwayatkan hadits-hadits yang bisa kami pahami. Di hari Raya bertambahlah kasih sayangnya kepada kami dengan memberi hadiah-hadiahnya untuk kami dan menyediakan daging Udhiyyah.

Suatu hari beliau memakaikan baju warna putih dan mendudukkan kami dipangkuannya . Paman Abdurrahnmaan kemudian datang atas undangannya. Lalu Bibi Aisyah mulai berkata dengan pujiannya kepada Allah SWT. Sungguh aku belum pernah sebelum dan sesudahnya baik laki-laki ataupun perempuan yang berkata kepada paman  : “ Wahai saudaraku,” Aku melihat sepertinya anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan mengasuh anak ini, demi Allah saya melakukannya bukan karena lancang kepada Anda dan bukan pula karena menaruh sangka buruk kepada Anda, Hanya saja anda memiliki istri lebih dari satu , sedangkan kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak umtuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya telah beranjak dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda”.. Begitulah akhirnya paman Abdurrahman membawa kami ke rumahnya.

Kenangan kami akan bibi Aisyah masih terus melekat. Kami rindu pula kepada rumah nya , pada lantai rumahnya yang bercampur dengan kesejukan nubuwat. Lingkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Sehingga ia sering membagi waktu antara rumah bibi dan pamannya. Kesan-kesannya sangat dalam seperti berikut ini : Suatu hari aku berkata kepada bibi Aisyah : “ Wahai Ibu tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali  melihatnya ..”Tiga kubur itu berada dalam rumahnya , ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan.

Diperlihatkannya tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekungkan. Ketiganya ditaburi kerikikl merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid. Saya bertanya” Yang mana makam Rasulullah?” Beliau menunjuk sambil menetes air mata di pipinya yang segera disekanya agar aku tidak melihatnya. Makam Nabi itu agak lebih menonjol tempatnya dibanding dua sahabatnya.
Saya bertanya lagi mana makam kakekku ? Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata, ”yang ini” , kulihat makam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah “Yang ini makam Umar ?” beliau menjawab “ Benar”. Kulihat letak kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku dengan segaris kaki  Nabi.

Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal seluruh juz Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya Aisyah r.a sebanyak yang dikehendaki Allah. Al Qasim yang sudah menjadi pemuda ini juga seingkali duduk di majelisnya Abu Hurairahh , Abdullah bin Umar , Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair , Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Kabab, Rafi’ bin Khudaij dan Aslam pembantu Umar Bin Khatab, dsb.
Hingga pada gilirannya ia kemudian menjadi manusia yang pandai dalam hal As Sunnah pada zamannya dimana ketika seeorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah. Setelah sempurna perlengkapan ilmunya , orang-orang banyak belajar kepada cucu Abu Bakar ini. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pernah absen untuk pergi ke Masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rakaat kemudian duduk di bekas tempat Umar ra di Raudhah. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala penjuru untuk menimba ilmu dari sumbernya yang segar dan bersih , melegakan jiwa-jiwa yang haus akan ilmu.

Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya Al Qasim bin Muhammad dan putra bibinya Salim  bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya, didengar tutur katanya dan ditaati kendati keduanya tidak memiliki wilayah kekuasaan  ataupun jabatan. Masyarakat mengangkat keduanya karena ilmunya, sikap wara’ dan takwanya dan karena sikap zuhudnya terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia dan hanya berharap terhadap apa-apa yang disisi Allah. Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayyah pun dan bawahannya hormat padanya. Penguasa-penguasa tersebut pun bahkan tidak pernah memutuskan masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua fuqaha ini.

Sebagai contoh ketika Al Walid bin Mabdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keempat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi SAW untuk perluasan. Persoalan ini akan berpotensi menimbulkan konflik diantara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka . Maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Azis , wali Madinah.

Dengan segera Gubernur Madinah Umar bin Abdul Azis mengundang Al Qasim bin Muhammad dan Salim Bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gembira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan siap sedia mendukung rencana tersebut. Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang dimohonkan dalam surat Amirul Mukminin kepada Gubernur Madinah untuk melibatkan keturunan Umar bin Khatab dan Abu Bakr membantu penyelesaian masalah ini. Bahkan bantuan Kaiasar Romawi yang menyumbang perluasan mesjid Nabawi dengan 100 kg emas murni pun diterima setelah Umar bin Abdul Azis bermusyawarah dengan Qasim bin Muhammad.
Alangkah miripnya Al Qasim dengan kakeknya Abu Bakar Ash Shidiq, sampai-sampai orang berkomentar, ” Tidak ada anak keturunan Abu Bakar yang lebih mirip dengan beliau daripada  Al Qasim , Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik keteguhan iman dan kezuhudannya ..: sebagai contoh ketika ada orang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau “ Siapakah yang lebih pandai , anda ataukah Salim bin Abdullah ?” Al Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya . Beliau menjawab”” Subhanallah”.

Begitupula ketika ada tuduhan bahwa beliau mengambil  jatah pembagian harta sedekah. Ada satu orang yang tidak puas dengan pembagiannya dan mendatangi beliau di masjid yang ketika itu beliau sedang sholat. Putra Al Qasim yang jengkel dan kemudian melakukan pembelaan kepada ayahnya berkata,” Demi Allah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepersen pun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma” . Setelah menyelesaikan shalatnya , Al Qasim berkata kepada putranya “ Wahai putraku, ..mulai hari ini janganlah engkau bicara tentang masalah yang tiada engkau ketahui…” Orang-orang berkata, apa yang dibela oleh anaknya adalah benar, namun Al Qasim ingin agar putranya menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al Qasim pun sebagai ulama besar adakalanya tak jarang  mengatakan, ”aku tidak tahu…aku tidak tahu..” . Ketika orang-orang bertanya kepadanya tentang sesuatu yang memang beliau belum nengetahui permasalahannya.
Al Qasim hidup sampai usia 72 tahun dan wafat dalam perjalanannya ketika menuju haji ke Mekah. Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat,beliau berpesan kepada putranya,” Bila aku mati , kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Ghamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu , Abu Bakar Ash Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembali kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata “ Dia dulu begini dan begitu…karena aku bukan apa-apa.” (LR/ Berbagai sumber)
www.eramuslim.com

Wednesday 26 June 2013

Umar Bin Khattab : Suatu Negeri akan Hancur Jika Para Penghianat Menjadi Petinggi, dan Harta dikuasai oleh Orang-orang Fasik


….Kepada para komandan pasukan Umar Radiyallahu Anhu mengatakan : “..Perintahkan manusia agar pergi haji dan barangsiapa yang tidak mampu , maka hajikan dia dari harta Allah..”…
(Dari disertasi DR. Jabirah bin Ahmad Al Haritsi , pada program S3 Ekonomoi Islam Fakultas Syariah dan Studi Keislaman Universitas Ummul Qura Makkah dengan predikat Summa Cumlaude)
~~~~~~~~~~

Umar bin Khatab Radiyallahu Anhu  adalah Khalifah yang berhasil membangun dan meletakkan dasar-dasar ekonomi kokoh berdasarkan keimanan  dan Tauhid kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Beliau adalah orang yang terakhir kali bisa makan dan beristirahat setelah yakin  penduduk sudah  terjamin kesejahteraannya. Beliau  sangat zuhud terhadap keduniawiaan dan itu diberlakukannya pada keluarganya. Umar Radiyallahu anhu sangat terkenal dengan pengawasan terhadap rakyatnya dan ketegasannya terhadap orang-orang yang melakukan penyimpangan, khususnya apabila orang yang melakukan penyimpangan itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan umum seperti Gubernur, hakim, pemungut zakat.

Dalam masa sekarang ini dimana negara-negara di dunia terbagi menjadi negara kapitalis, negara sosialis dan lain-lain sesuai dasar sistem ekonomi yang diikuti oleh setiap negara.  Ini menunjukkan begitu kuatnya hubungan antara politik dan ekonomi yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Umar Radiyallahu anhu menjelasakan bahwa kerusakan sistem pemerintahan dan dikuasainya berbagai urusan oleh orang-orang yang fasik merupakan sebab kehancuran pilar-pilar umat; dimana beliau mengatakan,” Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur.” Mereka berkata,” Bagaimana suatu negeri hancur sedangkan dia makmur?” Ia menjawab ,” Jika orang-orang yang penghianat menjadi petinggi dan harta dikuasai oleh orang-orang yang fasik.”

Sesungguhnya ekonomi kontemporer mengakui sebab-sebab yang menghancurkan terhadap kerusakan ekonomi dan bahwasanya itu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap usaha pengembangan ekonomi khususnya di negara-negara berkembang).
Oleh karena itu , Umar R.a berupaya keras dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik. Bahkan seringkali beliau bertanya kepada sebahagian sahabatnya agar mereka mengemukakan pendapat mereka untuk mengetahui faktor-faktor kebaikan. Contohnya kepada Muadz bin Jabal ,” Apakah pilar perkara ini ya Muadz?’ Ia berkata,”Islam, karena dia adalah  fitrah; ikhlas , karena dia adalah substansi agama, dan ketaatan karena dia adalah perlindungan.

Dari fikih Ekonomi Umar r.a. semasa pemerintahannya ,ada beberapa point yang menyebutkan kriteria sistem pemerintahan yang baik yaitu :
  1. Pemerintah melaksanakan tugasnya nya yang terpenting yaitu menjaga agama dengan cara menetapkan hukum-hukumnya dan berjihad melawan musuh, menjaga harta kaum muslimin yaitu dengan mengumpulkan dan membagikannya sesuai syariah, menegakkan keadilan dengan meralisasikan kemanan dan ketentraman , berupaya mewujudkan kesejahteraan ummat dengan memperhatikan orang-orang  yang membutuhkan
  2. Melibatkan ummat dengan cara musyawarah ataupun memberikan andil ummat kepada pengawasan terhadap jalannya pemerintah dengan cara menasehati dan meluruskannnya
  3. Ada hak ummat menuntut pemerintah jika pemerintah mengabaikan pelaksanaan apa yang menjadi hak-hak ummat. Dalam hal ini Umar sangat peduli untuk mengetahui pendapat umum dan ia bertanya kepada Malik , sahabat dekatnya di rumah seraya mengatakan ,” wahai Malik , bagaimana keadaaan manusia?” ia menjawab “ Manusia dalam keadaan baik .”. Lalu Umar bertanya lagi “Apakah kamu mendengar sesuatu ?” Malik menjawab “ Aku tidak mendengar melainkan kebaikan”Pertanyaan ini berulang sampai tiga kali. Maka Malik berkata padanya pada hari ketiga”Apa yang kamu khawatirkan dari manusia?” Umar menjawab” Bagaimana kamu ini Malik! Aku khawatir jika Umar mengabaikan sebagian hak kaum muslimin lalu mereka datang kepadanya dengan bendera dan menanyakan hak mereka ?” Dan diantara nasehat Umar kepada para gubernurnya adalah “ Janganlah kamu memukul kaum muslimin, karena dengan itu kamu menistakan mereka. Dan janganlah kamu menghalangi hak mereka, karena dengan itu kamu menjadikan mereka untuk mendurhakai kamu..
  4. Adanya Kestabilan yang tidak mengakibatkan kepada pergolakan dan kegoncangan. Kestabilan politik disini adalah dengan mengharamkan seorang muslim mendurhakai pemimpinnya.
  5. Pengembangan ekonomi ini menuntut adanya sistem manajemen yang memudahkan lajunya roda pengembangan dan menghilangkan rintangan dari jalannya, dimana sebagian bentuk manajemen dan sistem pengawasan yang terdapat dalam fikih ekonomi Umar r.a adalah sbb :
a.Hisbah dan pengawasan pasar
b. Pengawasan harta
c. Pengawasan kerja dan pengaturannya
d. Perlindungan lingkungan
Menurut Fiqih ekonomi tersebut ,bahwasanya ada korelasi antara pengembangan ekonomi dalam kacamata Islam dengan terwujudnya suatu lingkungan yang islami dalam segala aspek kehidupan. Dan dari dua diantara lima pilar-pilar pengembanganan ekonomi ( sebagaimana dikemukakan dalam disertasi Dr Jaribah bin Ahmad dari tesisnya yang membahas mengenai itu) adalah
  1. Kesalehan ummat
Sesungguhnya kesalahehan ummat adalah dengan mengimani Islam sebagai akidah dan syariah dan pengaplikasiannya dalam segala aspek kehidupan.

Ketika seorang muslim meyakini bahwa dia sebagai Khalifah di bumi, ini akan mendorongnya melakukan pengembangan ekonomi karena ini merupakan hak dan sarana ummat. Dan jika ini dilakukakannya sepenuh hati karena Allah (ikhlas) maka akan menjadi ibadahnya dihadapan Allah Ta’ala.
Disisi lain , ketaatan dan kemaksiatan juga berdampak dalam kehidupan ekono mi umat, dimana ketaatan akan menjadi sebab diperolehnya keberkahan dalamn segala sesuatu, sedangkan kemaksiatan berakibat tercerabutnya keberkahan dari segala sesuatu . Allah berfirman dalam QS al A’Raf : 96
“ jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan  bumi, tetapi mereka mendustakan( ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya..”
Umar Radiyallahu anhu mengegaskan dalam pernyataannya ;”… Sesungguhnya dunia adalah kesenangan yang menawan, maka barang siapa mengambilnya dengan cara ayang benar, dia akan mendapatkan keberkahan di dalamnya, dan barang siapa mengambilnya dengan cara tidak benar maka dia seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.

 2. Kebaikan sistem
Pemerintah adalah perangkat politik dan apa yang muncul darinya terkait  sistem pemerintah. Sebab dengan kebaikan perangkat politik, konsistensi pemahaman politik bagi individu dan kebaikan hubungan antara rakyat dan pemerintah, maka akan meletakkan laju pesatnya pengembangan ekonomi pada jalan yang semestinya.

Contoh sikap Umar sebagai pejabat negara dapat dilihat dari perkataaan antara lain tehadap para gubernurnya “ Sesungguhnya aku tidak menguasakan kepadamu atas urusan arah, harga diri serta harta kaum muslimin, namun aku mengutus kamu untuk menegakkan shalat, membagi fai’ mereka dan menetapkan hukum dengan Adil.
Kepada para komandan pasukan Umar Radiyallahu Anhu mengatakan : “..Perintahkan manusia agar pergi haji dan barangsiapa yang tidak mampu , maka hajikan dia dari harta Allah..”
Perkataan Umar, ” Sungguh aku sangat berupaya agar tidak melihat kebutuhan manusia melainkan aku penuhinya, selama sebagian kita terdapat keleluasaan atas sebagaian yang lain. Tapi jika demikian itu tidak dapat dilakukan, maka kita memberi contoh dalam kehidupan kita sehingga kita sama dalam kecukupan”

Dalam fikih ekonomi Umar radiyallahu anhu kita dapatkan bahwasanya politik ekonomi dijalankan oleh pemerintah merupakan tolok ukur terpenting tentang baik atau tidaknya sistem pemerintah, sekaligus merupakan karekteristik sistem pemerintah itu. Sebagai bukti hal itu bahwa Umar Radiyallahu anhu mengatakan”’ demi Allah.., aku tidak mengerti apakah aku khalifah atau seorang raja. Jika aku Raja maka demikian itu adalah perkara besar!”   Maka seorang berkata,” Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya diantara keduanya terdapat perbedaan.” Ia berkata,” Apakah itu ? Ia menjawab, ’Khalifah tidak mengambil melainkan dengan cara yang benar dan tidak meletakkannya melainkan dalam kebenaran dan Anda alhamdulillah seperti demikian itu.. Sedangkan raja adalah menindas manusia, lalu dia mengambil dari ini dan memberi yang ini.” Maka Umar pun diam. (Lr)
www.eramuslim.com

Monday 24 June 2013

Hadits Tidurnya Orang Puasa Adalah Ibadah




Kamis, 20 Sep 07 04:43 WIB

Kirim teman

Saya pernah mendengar orang berkata bahwa tidurnya orang berpuasa itu adalah ibadah. Tapi sampai saat ini saya tidak tahu, benarkah hal itu? Kalau memang benar, apakah itu merupakan hadits nabi atau bukan? Dan kalau memang hadits nabi, riwayatnya serta statusnya bagaimana?

Terima kasih atas jawabannya ustadz

Jhonsjhons@yahoo.com
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ungkapan seperti yang anda sampaikan, yaitu tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian atau pun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan.

Di antara lafadznya yang paling populer adalah demikian:

نوم الصائم عبادة وصمته تسبيح وعمله مضاعف ودعاؤه مستجاب وذنبه مغفور

Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipat-gandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.

Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.

Adalah Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).

Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif teteapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu).

Hadits Palsu

Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi.Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.

Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.

Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.

Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemalsu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah "manusia paling pendusta di muka bumi ini!"

Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Belau mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.

Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadtis dari Sulaiman bin Amr.

Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, "Sulaiman bin AmrAn-Nakha'i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal muhadditsin wadhdhu'afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I'tidal.

Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.

Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.

Kalau pun ada istilah qailulah, maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Menjadi Mukmin “Gandum”


Senin, 24 Juni 2013

DALAM sebuah Hadits Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti setangkai gandum, terkadang condong dan terkadang tegak.” (Riwayat Abu Ya’la. Isnad-nya hasan).
Apakah yang beliau maksud dalam Hadits tersebut di atas? Coba perhatikanlah ladang gandum atau padi. Ketika angin bertiup lembut, tangkai mayangnya melambai-lambai dengan anggun. Ketika angin kembali tenang, mereka tegak lagi dengan indahnya. Bila angin bertiup lebih keras yang sanggup mematahkan cabang-cabang pohon besar dan bahkan mencabutnya sampai ke akar, gandum dan padi itu ternyata juga rebah, akan tetapi tidak tercerabut dari akarnya. Maka demikian pulalah seorang mukmin. Dinamika kehidupan bisa mendatanginya dengan seribu satu wajah, namun dia tetap seorang mukmin. Ujian dan cobaan mungkin menerpanya dari berbagai penjuru, dan terkadang dia harus rebah, namun keyakinannya kepada Allah tidak pernah gugur.
Mukmin Berbagai Kondisi

Seorang mukmin memiliki prinsip-prinsip yang terang dalam menjalani hidupnya, karena setiap sikapnya dilandasi ilmu dan keyakinan. Ia tidak sekadar ikut-ikutan, apalagi terhanyut oleh tren dan mode. Maka dalam segala situasi dia mantap dan percaya diri, karena tahu betul bahwa dirinya berada di atas kebenaran.
Sekilas, mungkin dia bisa terkesan sombong. Namun, ada perbedaan besar antara kesombongan dengan keyakinan. Kesombongan dilandasi penolakan terhadap kebenaran dan dikobarkan oleh nafsu untuk meremehkan sesama, sementara keyakinan didasari oleh ilmu dan iman. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi.” Ada yang berkata, “Sungguh seseorang itu ingin bajunya bangus, demikian pula sandalnya.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah, Dia pun mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR Riwayat Muslim)

Sebaliknya, keteguhan seorang mukmin adalah refleksi iman, sebagai pengamalan dari sabda Rasulullah ini, “Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan, yang berkata: ‘Jika orang lain baik, kami pun baik; jika mereka zhalim, kami pun zhalim.’ Akan tetapi, teguhkan diri kalian. Jika orang lain baik, hendaknya kalian pun baik, dan jika mereka berbuat keburukan, maka jangan kalian ikut menjadi zhalim.” (Riwayat at-Tirmidzi dan al-Bazzar, dari Hudzaifah. Hadits hasan-gharib).
Inilah yang disebut dengan shiddiq, salah satu sifat yang sangat mulia. Secara bahasa, shiddiq artinya jujur dan benar. Apa yang dimaksud jujur dan benar di sini tidak hanya pada perkataan, namun lebih luas lagi. Kejujuran seorang shiddiq juga terlihat dalam perbuatannya, tindak-tanduknya, isi hatinya, pikirannya, cita-citanya, dan seterusnya. Pendeknya, seluruh aspek kepribadiannya adalah jujur dan benar, bukan kebohongan dan rekayasa. Ia adalah Muslim ketika sendirian maupun di hadapan orang banyak.
Ia adalah orang baik-baik, entah saat lapang atau sempit, saat berkuasa atau saat menjadi rakyat jelata. Ada kesempatan maupun tidak, dia tetaplah orang yang sama baiknya. Tentu saja, seseorang yang tiba-tiba menjadi baik dan dekat dengan masyarakat menjelang Pemilu dan Pilkada, bukan penyandang sifat shiddiq, kecuali jika sudah seperti itu sejak dahulu, dan akan tetap demikian sampai akhir hayatnya. Kita dapat menyebut seorang mukmin sebagai pribadi yang memiliki integritas tinggi.
Abu Bakar as-Shiddiq

Contoh pribadi shiddiq, selain para Nabi dan Rasul, adalah Abu Bakar. Sosok ini benar-benar layak menyandang gelar tersebut, karena sedemikian teguhnya sikap yang beliau miliki. Riwayat-riwayat yang mengisahkan biografi beliau menggambarkan dengan gamblang bahwa di zaman jahiliyah sekali pun, ternyata beliau tidak pernah berzina atau minum khamr. Padahal, keduanya merupakan perilaku yang sangat umum didapati pada masa itu. Maka, Umar bin Khattab pun “menyerah” karena tidak sanggup mengejar keutamaan Abu Bakar.

Ibnu Mas’ud pernah ditanya oleh Sa’id bin Zaid, “Wahai Abu Abdirrahman, Rasulullah telah wafat, dimanakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Beliau di surga.” Sa’id bertanya lagi, “Abu Bakar telah meninggal, di manakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Orang yang penuh kasih itu, selalu mencari kebajikan dimana pun adanya.” Sa’id bertanya kembali, “Umar pun telah meninggal, dimanakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Bila orang-orang shalih disebut, ayo segeralah sebutkan Umar!” (Riwayat Abdurrazzaq dan ath-Thabrani. Sanad-nya hasan).
Benar. Abu Bakar adalah sosok yang selalu mengejar kebajikan dimana pun adanya. Maka, sangat wajar jika beliau termasuk salah seorang yang dipanggil masuk surga dari semua pintu, dan dipersilakan memilih mana saja yang disukainya. Sebab, beliau punya “tiket” untuk semuanya.

Rasulullah pernah bersabda, “Siapa yang membiayai dua orang istri dari hartanya sendiri di jalan Allah, akan dipanggil dari pintu-pintu surga. Surga itu mempunyai pintu-pintu. Siapa yang tekun mengerjakan shalat, dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang rajin bersedekah, dipanggil dari pintu sedekah. Siapa yang gemar berjihad, dipanggil dari pintu jihad. Siapa yang suka berpuasa, dipanggil dari pintu Ar-Rayyan.” Maka, Abu Bakar pun berkata, “Tidak masalah bagi seseorang jika dipanggil dari pintu surga yang mana saja. Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu?” Rasulullah menjawab, “Ya, ada. Dan, sungguh aku berharap engkau adalah salah seorang di antara mereka.” (Riwayat Ahmad. Semua perawinya tsiqah).

Inilah orang shiddiq itu, dan demikianlah gambaran ideal seorang mukmin. Oleh karenanya, para ulama’ berusaha keras mengumpulkan satu demi satu sifat dan tanda keimanan. Salah satu kumpulan paling baik di bidang ini adalah Al-Jami’ Li Syu’abil Iman, karya Imam Abu Bakr al-Baihaqi. Kitab ini sangat tebal, sampai 14 juz dan memuat lebih dari 10 ribu riwayat. Namun, beruntunglah bahwa al-Qadhi Abul Ma’ali al-Qazwini telah meringkaskannya untuk kita, sehingga menjadi 178 halaman saja. Di dalamnya telah dipaparkan 77 cabang iman, yang dengan mengamalkannya akan menjadikan kita seorang mukmin yang paripurna.

Menurut hemat kami, daripada membaca ulasan karakter manusia unggul yang bersumber dari penulis-penulis Barat, seribu kali jauh lebih baik kita menelaah karya semacam ini. Membaca ayat Al-Qur’an dan menelaah Hadits jelas bernilai ibadah dan mengandung dzikir, sesuatu yang tidak akan kita dapatkan dari karya-karya berbasis psikologi materialis-sekuler yang seringkali anti-Tuhan, menolak metafisika, dan tidak sedikit pun berbicara tentang akhirat. Tunggu apa lagi? Ayo, kejarlah kebajikan itu dimana pun adanya!.*/Alimin Mukhtar, guru di Ar-Rahmah Boarding School, Pesantren Hidayatullah Malang

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Delapan Sikap Siapkan Diri Menyambut Ramadhan



Selasa, 18 Juni 2013

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
TAK terasa kita telah memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, tentu kedatangan bulan Ramadhan akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat dan menuai pahala serta sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa.
Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu Wata’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya. Bukan pula pergi ke pantai menjelang Ramadhan untuk rekreasi, makan-makan dan bermain-main.

Jadi, bagaimana sebenarnya cara kita menyambut Ramadhan? Apa yang mesti kita persiapkan dalam hal ini? Maka tulisan ini mencoba memberi jawaban dari pertanyaan tersebut. Menurut penulis, banyak hal yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan menyambut  kedatangan Ramadhan, yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan sungguh-sungguh agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Subhanahu Wata’ala, karena berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)
Di antara doa mereka itu adalah: ”Ya Allah, serahkanlah aku kepada Ramadhan dan serahkan Ramadhan kepadaku dan Engkau menerimanya kepadaku dengan kerelaan”.  Dan doa yang populer: ”Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan”.

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban.
Sebagaimana Aisyah r.a  tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i  sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan (memahami fikih puasa). Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar diatas, ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.
Oleh karena itu, suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Maka dalam hal ini, hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Begitu juga ilmu sangat diperlukan dalam melaksanakan  ibadah lainnya seperti wudhu, shalat, haji dan sebagainya. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk membaca buku fiqhus shiyam (fikih puasa) dan ibadah lain yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, i’tikaf dan membaca al-Quran.

Kempat, persiapan jiwa dan spiritual. Persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam.

Persiapan jiwa dan spiritual merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya untuk memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Penyucian jiwa (Tazkiayatun nafs) dengan berbagai amal ibadah dapat melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakkalan, dan amalan-amalan hati lainnya yang akan menuntun seseorang kepada jenjang ibadah yang berkualitas. Salah satu cara untuk mempersiapkan jiwa dan spritual untuk menyambut Ramadhan adalah dengan jalan melatih dan memperbanyak ibadah di bulan sebelumnya, minimal di bulan Sya’ban ini seperti memperbanyak puasa Sunnat.

Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban merupakan sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Aisyah ra, ia berkata, “Aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, dari Usamah bin Zaid r.a ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan lain yang sesering pada bulan Sya’ban”. Beliau bersabda, “Itu adalah bulan yang diabaikan oleh orang-orang, yaitu antara bulan Ra’jab dengan Ramadhan. Padahal pada bulan itu amal-amal diangkat dan dihadapkan kepada Rabb semesta alam, maka aku ingin amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (HR. Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun pengkhususan puasa dan shalat sunat seperti shalat tasbih pada malam nisfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka hal itu tidak ada dalil shahih yang mensyariatkannya. Menurut para ulama besar, dalil yang dijadikan sandaran mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah hadits dhaif (lemah) yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan ibadah, bahkan maudhu’ (palsu). Oleh Sebab itu, Imam Ibnu Al-Jauzi memasukkan hadits-hadits mengenai keutamaan nishfu Sya’ban ke dalam kitabnya Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Al-Mubarakfuri berkata, “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazi: 3/444).
Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 14, 15, 16), maka ia boleh melakukan puasa pada bulan Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja.”
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersbut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Kelima, persiapan dana (finansial). Sebaiknya aktivitas ibadah di bulan Ramadhan harus lebih mewarnai hari-hari ketimbang aktivitas mencari nafkah atau yang lainnya. Pada bulan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Karena itu, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan ini. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita. Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana agar dapat beri’tikaf dengan tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Keenam, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Orang yang sehat dapat melakukan ibadah dengan baik. Namun sebaliknya bila seseorang sakit, maka ibadahnya terganggu. Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim)
Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Disamping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, seperti melakukan tarhib Ramadhan yaitu mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan mengenai puasa Ramadhan, adab-adab, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya.
Menjelang bulan Ramadhan tiba, Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam memberikan pengarahan mengenai puasa kepada para shahabat. Beliau juga memberi kabar gembira akan kedatangan bulan Ramadhan dengan menjelaskan berbagai keutamaannya. Abu Hurairah ra berkata, “menjelang kedatangan bulan Ramadhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Telah datang kepada kamu syahrun mubarak (bulan yang diberkahi). Diwajibkan kamu berpuasa padanya. Pada bulan tersebut pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syaithan-syaithan dibelunggu. Padanya juga terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalang kebaikan pada malam itu, maka ia telah terhalang dari kebaikan tersebut.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi). Selain itu, banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Ramadhan. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam untuk memberi motivasi dan semangat kepada para sahabat dan umat Islam setelah mereka dalam beribadah di bulan Ramadhan.
Akhirnya, penulis mengajak seluruh umat Islam khususnya di Aceh untuk menyambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan  mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal. Selain itu kita berharap kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar ibadah kita diterima, tentu dengan ikhlas dan sesuai Sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan dan dapat meraih berbagai keutamaannya.*
Penulis adalah ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh & kandidat Doktor Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Dzikrullah, Obat Ampuh atasi Galau!

Jum'at, 21 Juni 2013

GALAU adalah istilah yang populer di kalangan anak muda sekarang. Bila disebut istilah ini, kebanyakan mereka tersenyum simpul dan segera mengerti apa maksudnya. Namun biasanya “galau” mengalami penyempitan makna sebatas keresahan akibat kacaunya hubungan asmara, atau kegelisahan pikiran akibat hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “galau” artinya sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran).

Sebenarnya, galau atau resah adalah kondisi pikiran yang bisa menimpa setiap orang, tidak pandang usia. Persoalan yang memicunya juga tidak terbatas pada urusan cinta, namun bisa mencakup segala hal seperti kesehatan, pekerjaan, keluarga, teman, harta, pendidikan, dsb. Perwujudannya pun bisa sangat beragam, seperti berwajah muram, tatapan mata yang sayu, badan kurus dan lemah, mengurung diri, eksplosif dan emosional, bahkan tertimpa penyakit-penyakit fisik dan psikis yang kronis.


Ketika sedang galau, yang menarik dicermati adalah apa tindakan seseorang untuk meredakannya? Sebagian orang ada yang memilih tidur seharian sehingga melalaikan banyak kewajiban dan tanggung jawab, baik terhadap Allah, diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Ada lagi yang bermain game selama berjam-jam, menonton beberapa film secara berantai, pergi ke gunung atau pantai, surfing di internet, menekuni hobbi, dsb. Di beberapa kota besar, berkembang pula metode terapi melalui Meditasi dan Yoga.
Sebagai Muslim, pertanyaannya adalah: apa yang diajarkan oleh Islam untuk mengurangi, meredakan, dan melenyapkan keresahan hati?

Hudzaifah bin al-Yaman, seorang Sahabat Nabi, menceritakan bahwa dulu bila Rasulullah dihadang oleh persoalan yang sangat berat atau dibuat sedih oleh sesuatu hal, beliau pasti mengerjakan shalat, yakni shalat sunnah. (Riwayat Abu Dawud. Hadits hasan).
Begitulah, sebab dengan doa dan kekhusyuan di dalamnya maka hati menjadi tenang dan lebih mudah menemukan jalan keluar.

Terkait riwayat diatas, Syaikh ‘Abdurrauf Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Sebab shalat adalah penolong untuk mengusir semua keresahan akibat datangnya musibah, berkat pertolongan Allah Sang Maha Pencipta. Dengan musibah itu sebenarnya Allah ingin mendorong seseorang agar menghadap dan mendekatkan diri kepada-Nya. Barangsiapa yang menghadap kepada Pelindungnya maka Dia akan membentenginya dan Dia sendiri yang akan turun menangani urusannya. Sebab, orang itu telah berpaling dari semua selain-Nya. Demikianlah tindakan setiap pembesar kepada siapa saja yang secara total menghadapkan diri kepadanya.”
Pernah dikisahkan pula bahwa ada seseorang dari suku Khuza’ah yang merasa sangat kelelahan, lalu berkata, “Aduh, andai saja aku bisa shalat, sehingga aku bisa beristirahat.” Ucapannya ini dikritik orang banyak, namun dia menjawabnya dengan berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Hai Bilal, (serukan) iqamah untuk shalat! Istirahatkanlah kami dengannya!’” – yakni, dengan shalat. (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi dalam al-Kubra. Hadits shahih).

Jadi, inilah obat kegalauan hati yang dicontohkan oleh Nabi, yang juga selaras dengan firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, dengan mengingat Allah (dzikrullah) maka hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28). Sebagaimana dimaklumi, shalat sendiri dipenuhi dengan dzikir dan doa, atau merupakan dzikir dan doa yang paling utama.
Tentu saja, contoh beliau jauh lebih baik. Shalat yang dilakukan dengan khusyu’ bukan hanya menenangkan hati, namun juga berpahala. Ada banyak sekali ganjaran dan keutamaan shalat yang sudah akrab kita dengar. Pilihan beliau juga memperlihatkan perbedaan mencolok dengan sebagian dari kita di zaman sekarang, dimana jika sedang menghadapi masalah pelik justru berharap agar “diistirahatkan dari shalat”, alias libur darinya! Astaghfirullah.
Sebagai Muslim, sangatlah tidak pantas – bahkan berbahaya – untuk meredakan kegelisahan hati dengan mempraktikkan metode-metode yang berasal dari sistem kepercayaan dan budaya di luar Islam, semisal Meditasi dan Yoga.

Menurut World Book Encyclopedia 2005 Deluxe Edition, Yoga bisa mengandung dua pengertian, yaitu aliran pemikiran dalam agama Hindu, atau sistem latihan mental dan fisik yang dikembangkan oleh aliran tersebut.
Aliran ini banyak merujuk kepada Upanishad, yaitu bagian terakhir dari rangkaian Weda. Para penganutnya (disebut Yogi atau Yogin) menggunakan Yoga untuk mencapai pembebasan jiwa dari penjara tubuh dan pikiran. Dalam latihannya, Yogi akan dibimbing melalui delapan tingkatan, dimana tingkat ketujuh adalah dhyana (meditasi) dan yang kedelapan adalah samadhi. Tingkat terakhir dan tertinggi ini dicapai ketika seseorang telah merasakan jiwa yang murni, bebas, dan kosong (realize that their soul is pure and free, and empty of all content).

Padahal, menurut Islam, semestinya hati manusia tidak boleh dibiarkan kosong, akan tetapi harus selalu diisi dengan kesadaran dan dzikir. Sebab, jika ia kosong, yang akan masuk adalah bisikan setan. Di saat bersamaan, meditasi dan semedi merupakan bagian dari Delapan Jalan Kebenaran atau Roda Dharma dalam Buddhisme. Alhasil, metode ini sangat rawan dan berbahaya (dari sisi akidah), karena penuh dengan syubhat dan ajaran dari sistem kepercayaan di luar Islam.

Jadi, jika kita merasa galau, kembalilah kepada cara dan metode Islam untuk meredakannya. Shalat hanya salah satunya. Masih ada banyak pilihan lainnya. Jangan mengekor budaya dan sistem kepercayaan lain. Bisa jadi, bukannya menjadi tenang, tetapi tanpa disadari justru tersesat ke dalam kegelapan tak bertepi. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Sunday 16 June 2013

Berusaha dan Tawakkal, Bukan Diam dan Berangan-angan!


Jum'at, 14 Juni 2013

SECARA bahasa, istilah tawakkal berasal dari al-wakalah, yaitu penyerahan dan penyandaran. Orang ber-tawakkal kepada yang lain ketika hatinya merasa tenang dan percaya kepada yang disandarinya itu, tidak mencurigainya akan berbuat sembrono, dan tidak melihat adanya kelemahan maupun cacat padanya. Sedangkan menurut istilah syari’at, tawakkal adalah percaya (tsiqah) kepada apa yang ada di sisi Allah dan tidak mengharapkan apa yang ada di tangan selain-Nya, termasuk sesama manusia.
Menurut Imam al-Baihaqi dalam Al-Jami’ Li Syu’abil Iman, tawakkal merupakan kewajiban seorang mukmin dan menjadi salah satu pertanda eksistensi iman di dalam hatinya. Di antara 77 cabang iman yang beliau uraikan dalam kitab tersebut, tawakkal adalah cabang ke-13. Ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya kedudukan tawakkal dalam akidah seorang muslim. Namun, karena tawakkal merupakan hakikat yang abstrak, ia sangat sering disalahpahami, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang salah pula.
Atas dasar ini, seorang mukmin sepenuhnya percaya bahwa rezekinya, nasibnya, bahkan hidup dan matinya, pada hakikatnya adalah dijamin oleh Allah; bukan oleh bos, atasan, majikan, suami, direktur, komandan, atau siapa pun yang lain; bukan pula oleh pabrik, lembaga pendidikan, bisnis, titel, pekerjaan, jabatan, atau apa pun yang lain. Alhasil, setiap kali ia mendapat gaji, bonus, dan rezeki maka seketika hatinya akan tersambung dan berterima kasih kepada Allah, bukan kepada yang lain. Karenanya pula ia tidak pernah lupa berbagi dan bersedekah dengan sebagian darinya, sebagai ekspresi syukur kepada Allah Sang Pemberi.
Keyakinan seperti inilah yang akan membuatnya berani dan tidak lembek. Ia takkan bisa ditekan untuk melakukan kemaksiatan oleh atasan maupun lembaga tempatnya bekerja, walau diancam akan dipecat jika menolak. Sebab, ia tahu bahwa rezeki datangnya dari Allah, bukan dari manusia. Prinsip serupa dipegangnya erat-erat dalam masalah jodoh, karier, pendidikan, dsb. Dengan kata lain, mestinya tawakkal menjadi energi positif yang membangun dan menegakkan sikap, bukan racun yang menghancurkan dan melumerkan prinsip.
Jadi, tawakkal sebenarnya tidak identik dengan pasrah, diam, atau mengalah; bahkan justru sebaliknya. Ayat-ayat tentang tawakkal di dalam al-Qur’an penuh dengan motivasi agar terus maju, pantang mundur, bekerja keras, dan tidak takut terhadap ancaman maupun rintangan yang menghadang. Misalnya, ketika Bani Israil gentar dan menolak maju ke medan perang karena melihat musuh-musuhnya yang sangat kuat, maka:
قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُواْ عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang telah Allah beri nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu! Maka bila kalian memasukinya niscaya kalian akan menang! Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman!” (QS. Al-Ma’idah: 23)
Ayat-ayat yang menggugah semangat seperti ini dapat dibaca dalam berbagai surah yang lain, seperti Ali ‘Imran: 122 dan 159-160, al-Ma’idah: 11, at-Taubah: 51, Ibrahim: 11-12, an-Naml: 79, dsb. Bacalah secara utuh ayat-ayat lain yang terletak sebelum maupun sesudah ayat-ayat tersebut, niscaya kita akan mengerti bahwa anjuran Al-Qur’an untuk ber-tawakkal justru berarti maju terus dan yakin kepada janji Allah.
Memang patut disayangkan ketika tawakkal banyak disalahartikan. Akhlak Islam yang sebenarnya hendak meletupkan energi raksasa ini malah diubah menjadi buaian yang meninabobokkan. Di antara dalil yang sering disalahpahami adalah hadits shahih riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah berikut ini: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, pasti Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikannya kepada burung-burung. Mereka berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.
Dengan berdalih pada hadits ini, sebagian orang kemudian tidak berbuat apa-apa, lalu mengharap rezekinya turun dari langit, nasibnya berubah tanpa kerja keras, dan akalnya menjadi cerdas tanpa belajar. Padahal, kalau kita cermati baik-baik hadits diatas, ternyata burung tersebut tidak hanya mendekam di sarangnya. Ia terbang mengepakkan sayapnya lalu mendatangi tempat-tempat dimana rezekinya biasanya banyak terdapat. Lihatlah, bahkan burung yang tidak berakal pun bekerja keras untuk setiap suapan makanannya. Bagaimanakah manusia yang diberi akal dan ilmu rela duduk bermalas-malasan?
Ketidaktepatan lain yang sering muncul dalam memahami tawakkal adalah ketika ia disandingkan dengan “usaha”. Bahkan ada yang sengaja menjadikannya sebagai dua hal yang berlawanan. Seolah-olah orang yang bertawakkal tidak perlu berusaha, dan orang yang berusaha berarti tidak bertawakkal. Benarkah demikian? Terkait masalah ini, seorang tokoh Sufi termasyhur, yaitu Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah at-Tustariy az-Zahid (w. 283 H) berkata, “Barangsiapa yang mencela usaha (al-iktisab) maka dia telah mencela Sunnah, dan barangsiapa yang mencela tawakkal maka dia telah mencela iman.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatu al-Auliya’). Dalam riwayat lain, beliau berkata, “Tawakkal adalah keadaan jiwa (haal) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan usaha (al-kasab) adalah Sunnah beliau. Barangsiapa yang berada pada haal beliau, maka jangan sekali-kali meninggalkan Sunnahnya.” (Dikutip dari ar-Risalah al-Qusyairiyah).
Dengan kata lain, tawakkal adalah amalan hati seorang mukmin, sedangkan usaha adalah amalan fisiknya. Namun, betapa banyak orang yang memutar-balikkannya: hatinya berusaha dengan terus berangan-angan, sedangkan badannya bertawakkal dengan diam dan bersandar.Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com