Kamis, 22 Mei 2014, 05:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Ketika
khalifah Umar bin Khatthab memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai
gubernur Suriah, ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari seseorang yang
akan menjadi penggantinya. Tiba-tiba Umar berseru, “Saya telah menemukannya! Bawa ke sini Said bin Amir!”
Tak lama kemudian datang Said menemui sang Amirul Mukminin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs. Said menolak, “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah.”
Dengan nada keras Umar menjawab, “Demi
Allah, saya tak hendak melepaskan Anda! Apakah tuan-tuan hendak
membebankan amanat dan khilafah di atas pundakku lalu tuan-tuan
meninggalkan daku.” Semua terdiam. Senyap. Sejenak, Said dapat diyakinkan.
Said
dan istrinya yang pengantin baru itu pun berangkat ke Homs. Suatu
ketika, tatkala Khalifah Umar berkunjung ke Homs, beliau mendapat
keluhan dari rakyat Homs tentang Said bin Amir. Mereka mengadukan empat
hal.
Pertama, “Said baru keluar menemui kami setelah matahari
tinggi. Kedua, ia tidak mau melayani seseorang di malam hari. Ketiga,
setiap bulan ada dua hari di mana ia tak mau keluar menemui kami.
Keempat, sewaktu-waktu ia bisa jatuh pingsan.”
Umar tertunduk dan memohon ampun kepada Allah, kemudian mempersilahkan Said membela diri. Said berkata, “Wahai
Khalifah, mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum
matahari tinggi, demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya.
Tapi, karena ini bagian dari pertanggungjawaban saya kepada rakyat yang
aku pimpin, maka aku akan menjelaskannya. Keluarga kami tak punya
pembantu, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai
mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk shalat dluha.
Setelah itu barulah saya keluar menemui mereka.’’
‘’Tuduhan
bahwa saya tak mau melayani mereka di waktu malam, maka, demi Allah,
saya benci menyebutkan sebabnya. Seharian saya sediakan waktu bagi
mereka, dan malam harinya saya ingin peruntukkan kepada Allah. Sedang
ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui
mereka, maka sebagaimana saya katakan tadi, saya tak punya banyak
pakaian untuk dipergantikan, maka terpaksalah saya mencucinya dan
menunggu sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang.”
Said kemudian melanjutkan penjelasannya.’’Mengenai
keluhan, saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, karena ketika di Makkah dulu
saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib Al-Anshari yang
tubuhnya dipotong-potong oleh orang Quraisy. Lalu, mereka membawanya
dengan tandu sambil menanyakan kepadanya, “Maukah tempatmu ini diisi
oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat
walafiat?”
Dalam deraan siksaan yang keji, Khubaib menjawab, “Demi
Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak istriku diliputi
keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah SAW ditimpa
bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekalipun.”
Menurut
Said, setiap terkenang peristiwa itu, tubuhnya gemetar karena takut akan
siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan. Mendengar
jawaban itu, Umar terharu dan meneteskan air mata, lalu dirangkul dan
dipeluknya Said, serta diciumlah keningnya. Subhanallah.
Dari
kisah ini orang mungkin akan bertanya, masih adakah pejabat dan pemangku
kekuasaan seperti Said bin Amir? Di tengah realitas politik-kekuasaan
negeri ini yang cenderung negatif, sosok keteladanan Said menjadi
penting untuk direnungkan.
Bagai oase di tengah padang pasir,
nilai-nilai kesederhanaan dan dedikasi kerakyatan bisa menjadi penyejuk.
Sekaligus kritik atas situasi politik dan pejabat yang hedonis. Kisah
Said hendak mengingatkan kembali betapa kekuasaan hanyalah salah satu
jalan untuk beribadah.
Dimensi ruhaniah kekuasaan, kata Cak
Nurcholis Madjid (1998), tidak senantiasa sejajar, apalagi identik,
dengan bentuk-bentuk pemenuhan persyaratan lahiriah. Hal mana membuatnya
semakin sulit dilihat dan diukur dari luar.
Karenanya, banyak
penampilan lahiriah atau formal-simbolik yang bahkan mengecoh banyak
orang. Sampai akhirnya terbukti tidak memiliki arti apa-apa dan semuanya
menjadi kecewa. Semoga kita menemukan pemimpin yang memiliki ruhaniah
kekuasaan. Amien.
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.