Seandainya
saat ini kita sedang duduk di kursi pengadilan, berhadapan dengan
seorang hakim yang sedang mengadili kita atas kesalahan yang telah kita
lakukan sebelumnya, disertai saksi yang siap menjawab
pertanyaan-pertanyaan, maka mungkin kita pun akan bisa membayangkan
betapa menyesal dan malunya kita saat itu. Atau, mungkin saja ada di
antara kita yang justru merasa seperti tak bersalah sama sekali, hingga
bahkan tanpa ragu untuk berbohong ataupun sampai membayar saksi untuk
ikut berbohong juga, hanya demi sebuah keselamatan yang sementara. Tapi
memang demikianlah kenyataan pengadilan manusia di dunia ini, di mana
kita bisa berbohong untuk menghindari hukuman, dan bahkan sang hakim
sendiri pun juga terkadang bisa salah dalam memberikan keputusannya
meskipun kita telah berusaha untuk mengatakan kebenaran.
Namun, kelak di dalam pengadilan yang sesungguhnya pada hari yang
sangat berat dan panjang, ketika Sang Maha Hakim justru sekaligus
menjadi Saksi, yang mana telah menyaksikan sendiri segala perbuatan kita
selama di dunia, maka ketika itulah kita tak mungkin bisa menghindar.
Kita tentu tidak mungkin menutup-nutupi sesuatu dari Saksi yang justru
telah melihat sendiri tingkah laku kita. Saat itu tiada lagi yang akan
bisa kita sembunyikan. Dan ketika itu, amal kebaikan orang-orang yang
ingkar dan enggan beriman akan diperlihatkan tanpa pahala apapun,
melainkan telah cukup bagi mereka pahala di dunia saja, dan sisanya
adalah pertanggungjawaban atas keingkaran dan amal kejahatan mereka.
Sedangkan orang-orang yang beriman, akan ada yang amal baiknya diterima
dan ada yang tidak, ada yang amal buruknya diampuni dan ada yang dibalas
dengan hukuman. Dan semua itu akan menyesuaikan dengan amal perbuatan
dan niat masing-masing selama di dunia ini. Sang Maha Hakim akan
mengadili dengan sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun meski hanya
setitik maksiat di dalam hati kita.
Pada hari yang berat tersebut, semua dari kita akan dikumpulkan
setelah dibangkitkan dari kematian, lalu masing-masing dipanggil untuk
diberi sebuah kitab catatan yang menceritakan dengan sangat terperinci
segala amal perbuatannya selama di dunia ini. Semuanya akan
diperlihatkan dengan sangat jelas di dalam kitab catatan tersebut. Di
dalam al-Qur’an disebutkan ayat-ayat tentang itu semua, di antaranya
adalah yang artinya berikut ini:
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan
(singkirkan secara perlahan) gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi
itu menjadi datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami
tinggalkan satu orang pun dari mereka.” (Al-Kahfi: 47)
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris, (dan
dikatakan:) sesungguhnya kalian datang kepada Kami sebagaimana Kami
menciptakan kalian pada kali yang pertama; bahkan kalian mengatakan
bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian waktu (untuk
memenuhi) perjanjian.” (Al-Kahfi: 48)
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat
orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis di dalamnya). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Al-Kahfi: 49)
Juga dalam surat lainnya yang artinya berikut ini:
“Katakanlah: ‘Allah-lah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tiada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (Al-Jaatsiyah: 26)
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari terjadinya kebangkitan, akan merugilah pada hari itu orang-orang yang mengerjakan kebatilan.” (Al-Jaatsiyah: 27)
“Dan (pada hari itu) kamu melihat tiap-tiap ummat berlutut.
Tiap-tiap ummat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. (Lalu
dikatakan:) ‘Pada hari ini kalian diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan (sebelumnya).’” (Al-Jaatsiyah: 28)
“(Allah berfirman): ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan tentang kalian dengan benar. Sesungguhnya Kami telah memerintahkan pencatatan atas apa yang telah kalian kerjakan.’” (Al-Jaatsiyah: 29)
Dan juga yang artinya berikut ini:
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat); dan
bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya; dan
manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)?”; pada hari itu bumi
menceritakan beritanya; bahwa sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan
(yang sedemikian itu) kepadanya; Pada hari itu manusia ke luar dari
kuburnya (bangkit dari kematiannya) dalam keadaan yang bermacam-macam,
supaya diperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka; Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan
melihatnya; Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah
pun, niscaya dia akan melihatnya pula.” (Al-Zalzalah: 1-8)
Dan di sana masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang menggambarkan
tentang hari yang sangat berat tersebut. Dan ketika itulah penyesalan
yang mendalam akan dialami oleh orang-orang kafir non-Muslim dan
orang-orang yang tak pernah mempedulikan urusan kehidupan setelah mati
tersebut, di mana amal kebaikan yang telah diusahakannya selama di dunia
ternyata tidak membuahkan pahala apapun di akhirat, dan mereka bahkan
sangat berharap untuk menjadi debu atau tanah yang tak perlu merasakan
nikmat apapun selama di dunia. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an
yang artinya:
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu (ternyata) dia tidak mendapati
sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah
adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nuur: 39)
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan; Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Huud: 15-16)
“Dan Kami hadapi segala amal (kebaikan) yang mereka (orang-orang
kafir) kerjakan (selama di dunia), lalu Kami jadikan amal tersebut
(bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqaan: 23)
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang
menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya;
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa
yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh
kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya
aku dahulu adalah tanah.’” (An-Nabaa’: 39-40)
Demikianlah Allah SWT memberitakan tentang kehidupan yang nyata
setelah mati. Kesengsaraan yang kita alami di dunia ini ternyata tak
akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat
kelak. Kebahagiaan pun juga demikian; semuanya tak akan bertahan lama
dan pasti akan berakhir. Ketika kita telah dibangkitkan dari kematian
kelak, maka seakan-akan waktu hidup kita selama di dunia ini hanyalah
seperti waktu sore atau pagi hari saja. Dan apalah artinya sebuah waktu
sore ataupun pagi yang hanya tak sampai sehari penuh atau hanya beberapa
jam saja dibandingkan dengan ribuan tahun umur dunia dari awal
diciptakannya hingga tiba hari kiamat nanti. Tentu akan terbayang betapa
pendek dan tak berartinya dunia ini. Dan demikianlah mungkin kurang
lebih perumpamaan masa hidup di dunia dibandingkan dengan masa hidup di
akhirat kelak. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa
seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar) di waktu sore
atau pagi hari (saja).” (An-Naazi’aat: 46)
Dan pada dasarnya, menumbuhkan rasa takut dan cemas terhadap hari
yang sangat berat tersebut bukan dimaksudkan agar kita meninggalkan
segala urusan duniawi, melainkan justru agar kita lebih berhati-hati
dalam segala urusan tersebut dan agar justru semakin giat mengejar amal
kebaikan demi akibat yang lebih kekal nantinya. Mengenal hari yang besar
tersebut tidak harus menjadikan kita menghina dan mencela dunia, karena
sebenarnya dunia ini pun baru akan menjadi hina dan tercela jika memang
hanya digunakan untuk bersenang-senang belaka atau bahkan untuk menanam
keburukan dan kejahatan. Dan dia justru akan menjadi ladang yang baik
jika memang ditanami kebaikan yang didasari iman dan rasa takut kepada
Allah SWT,
insyaa’Allaah.
Dan dengan pemahaman yang demikian itu, maka kita pun akan dapat
semakin bersemangat dalam menjalankan peran masing-masing. Apapun peran
kita, selama bukan untuk maksiat, melanggar syari’at, ataupun berbuat
kerusakan di muka bumi ini,
insyaa’Allaah tiada yang salah
ataupun perlu dipermasalahkan. Bahkan, kita justru dilarang meninggalkan
beragam peran yang saling melengkapi tersebut. Kita sebagai ummat Islam
diharuskan menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan,
sesuai kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Mengenal kehidupan
setelah mati bukan justru agar kita meninggalkan ilmu-ilmu duniawi,
seperti ilmu fisika, kimia, biologi, geografi, dan semacamnya, melainkan
justru agar kita lebih meningkatkan ilmu-ilmu tersebut dan
mengarahkannya sesuai rambu-rambu Islam, agar iman kita justru semakin
bertambah dengan mendalami ayat-ayat Allah SWT yang tersebar di alam
semesta ini.
Mengenal kedahsyatan akhirat tidak harus berarti memisahkan antara
perkara agama (Islam) dengan perkara dunia, hingga seakan-akan yang kita
sebut agama (Islam) itu pasti harus menjauh dari dunia. Padahal, justru
agama (Islam) itulah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur
urusan dunia, demi keselamatan manusia di akhirat kelak. Selama ini kita
cenderung meyakini bahwa ummat Islam haruslah dipisahkan dari
perkembangan sarana dunia seperti teknologi, media, ataupun
kemajuan-kemajuan lainnya, yang mungkin itu semua adalah karena kita
menyetujui istilah-istilah yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam
sendiri, seperti istilah pembedaan antara Islam dan Barat misalnya, yang
mana dengan menerima istilah tersebut sebagai kenyataan, maka kita pun
akan lantas menjaga jarak dan bahkan menjauhi Barat yang konon adalah
tempat bagi para penguasa dunia. Padahal, Timur ataupun Barat, semuanya
hanyalah milik Allah SWT, dan bukan milik non-Muslim. Kita mungkin
sering ketakutan sendiri dengan istilah ‘Islam versus Barat’ yang
dibuat-buat oleh mereka, padahal bisa jadi itu akan justru membatasi
jangkauan dakwah agama Islam itu sendiri, dan padahal istilah yang benar
adalah ‘Islam versus kekafiran’, dan bukan ‘Islam versus Barat’
tersebut. Kita justru seharusnya mendekati Barat agar dapat menyerukan
Islam di sana, karena Barat adalah bumi Allah SWT juga. Kita tentu juga
akan justru bergembira ketika semakin banyak ummat manusia di Barat yang
turut bergabung dengan kita dalam agama yang lurus ini, agar
kerusakan-kerusakan aqidah dan syari’at yang telah diperbuat oleh
non-Muslim di sana dapat diluruskan.
Adapun penyerupaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam, maka itu
adalah penyerupaan dengan sikap orang-orang kafir, bukan dengan Barat.
Karena di Barat maupun di Timur, pasti ada orang-orang yang ingkar dan
kafir. Di Barat juga ada orang-orang yang beriman, sebagaimana di Timur
juga ada orang-orang yang kafir. Jadi, Islam tidak seharusnya
dipisah-pisah berdasarkan arah, tempat, ataupun ruang, melainkan yang
menjadi pemisah adalah keimanan dan keingkaran. Bumi ini dan segala
arahnya hanyalah milik Allah SWT. Teknologi memang lebih banyak
berkembang di Barat, namun teknologi bukan hanya milik orang-orang di
Barat, melainkan dia adalah anugerah dari Allah SWT yang diperuntukkan
bagi ummat manusia, yang seharusnya juga dikuasai oleh sebagian ummat
Islam agar dapat dipergunakan ke arah yang lebih sesuai dengan aturan
Islam. Media pun juga demikian, jika orang kafir Yahudi menyerang kita
dengan media, maka tentu kita pun harus menggunakan media juga untuk
melawan mereka.
Islam tidak pernah melarang perkara-perkara dunia yang baik,
melainkan yang dilarang adalah membesar-besarkan perkara dunia tersebut
hingga kita mengecilkan perkara akhirat yang sebenarnya lebih besar dan
lebih berat. Karena itulah, di sana memang harus ada yang sibuk
mengembangkan perkara dunia, namun harus ada pula yang tetap fokus
dengan urusan agama Islam ini, hingga detil-detilnya. Semuanya saling
melengkapi dan mendukung. Dan jika mengembangkan perkara dunia adalah
ibarat perang, maka akan tidak semestinya semua orang-orang yang beriman
ikut serta dalam peperangan tersebut. Seharusnyalah ada sebagian mereka
yang menempuh perjuangan dalam bentuk yang lain berupa belajar agama.
Golongan inilah yang akan mempelajari agama secara detil, hingga bahkan
masalah ibadah ritual yang tampak sederhana sekalipun, seperti
mengalirkan air ke dalam hidung ketika berwudhu, dan seterusnya, karena
jika tiada yang mengurusi hal-hal yang seperti itu, mungkin kita juga
tidak akan pernah tahu seperti apakah sifat shalat Rasulullah SAW, yang
mana tentunya tidak mungkin kita karang sesuka hati. Bahkan dalam hal
mempelajari agama pun akan harus ada juga pembagian tugas-tugas; ada
yang harus menguasai ilmu warisan dalam Islam, ilmu Tafsir, ilmu Hadits,
ilmu bahasa Arab, Fiqih dan seterusnya, di mana semuanya akan saling
melengkapi. Dan kita yang hanya mengerti dasar-dasar agama pun akan bisa
merujuk kepada para ahlinya untuk permasalahan yang lebih detil.
Semuanya akan saling menopang dan membantu.
Intinya adalah agar kita semua tidak lupa dan melupakan tujuan hidup
yang sejati, yang bukan selalu tentang pembangunan duniawi dalam bentuk
fisik, melainkan justru lebih cenderung tentang pembangunan ruhani yang
niscaya akan juga dengan sendirinya memperbaiki sisi fisik manusia.
Karena setelah dunia ini akan masih ada hari berat yang panjang dan
melelahkan, yang penuh dengan keluhan dan penyesalan yang tak berujung.
Maka sangat merugilah kita jika sampai meremehkan hari yang berat
tersebut. Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama (Islam) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
“Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak
memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (Al-Insaan: 27)
Dan dari semua itu, kita pun akan dapat lebih berhati-hati dalam
berbuat sesuatu. Kita akan berusaha menghindari perbuatan buruk dan akan
lebih bersemangat dalam mengejar kebaikan untuk akhirat. Kita akan
menjadi semakin yakin bahwa dunia ini adalah tempat menanam yang hasil
panennya akan menyesuaikan dengan apa yang kita tanam. Maka betapa
banyaknya keburukan amal yang telah kita tanam di sini. Betapa banyaknya
kekurangan diri kita yang tak diketahui oleh orang lain. Kita memang
saat ini hanya diharuskan menyembunyikan aib masing-masing dari
sesamanya. Tapi kelak pada hari yang berat tersebut, tiada lagi yang
bisa disembunyikan dan ditutup-tutupi kecuali apa yang dikehendaki oleh
Allah SWT.
Pada hari itu, ketika catatan amal perbuatan ditampakkan, kita tak
akan sempat mengingat orang-orang yang pernah menyakiti kita di dunia.
Rakyat yang teraniaya tak akan sempat meneliti kabar para pemimpin yang
menganiaya mereka. Bahkan, jika saja dengan memaafkan orang yang
menyiksa dan menganiaya kita, kita lantas bisa selamat sepenuhnya ketika
itu, niscaya detik ini pun kita akan lebih memilih untuk memaafkan,
karena keselamatan di kampung abadi tersebut sangatlah mahal
dibandingkan dengan kenikmatan semacam apapun di dunia ini. Semuanya
akan sibuk memikirkan keselamatan masing-masing. Semuanya sibuk dengan
catatan amal perbuatannya. Kita tak lagi sempat berkeinginan
menggunjing, melainkan justru menyesali gunjingan-gunjingan yang telah
kita lakukan. Kita juga tak akan sempat berprasangka buruk kepada orang
lain, melainkan segala prasangka buruk yang telah menjadi tuduhan akan
dimintai pertanggungjawaban bukti yang justru akan menjadi beban yang
sangat disesali. Semua berita yang telah kita sebarkan tanpa kebenaran
akan justru menjadi bumerang yang mempersulit diri kita sendiri. Segala
ucapan yang bermuatan kata-kata mengganggu akan justru menjadi gangguan
bagi diri kita sendiri. Ketika kita pernah menuduh saudara-saudara
seiman kita sebagai orang-orang yang kafir, seperti menyamakannya dengan
orang-orang Kristen, Yahudi, bahkan Dajjal ataupun iblis, padahal tidak
demikian kenyataannya, maka ketika itulah tuduhan kita tersebut akan
menjadi masalah besar bagi diri kita sendiri.
Memang, di dunia ini kita tampak lebih cenderung sibuk dengan
kesalahan-kesalahan orang lain, bahkan menikmati kesibukan semacam itu
hingga melupakan kesalahan-kesalahan kita sendiri. Padahal, jika saja
setiap orang dari kita bersedia untuk melihat ke dalam hati, lalu
menghitung setiap titik debu yang hinggap di situ, pasti kita pun akan
tak sempat untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena menghitung
debu yang menempel di hati kita sendiri saja juga tak akan ada habisnya.
Ini bukan berarti kita harus menghentikan kegiatan saling mengingatkan
kesalahan sesama, karena tentu saling menasehati itu sangat diharuskan,
namun tentu antara memberi nasehat dengan meneliti aib itu pasti akan
berbeda. Yang pertama akan dilandasi dengan semangat memperbaiki,
sedangkan yang kedua akan dilandasi semangat negatif yang bahkan bisa
jadi tak akan ada ujungnya kecuali hanya kepuasan hati yang manfaatnya
sangat sementara dan fana. Nasehat akan dapat membantu mereka yang telah
bersalah untuk dapat berbuat baik dan benar, sedangkan meneliti aib
biasanya dimaksudkan untuk menghalang-halangi mereka dari memperoleh
kebaikan, didasari oleh perasaan negatif kita. Dan hati kita sendiri pun
pasti akan bisa membedakan sendiri mana yang nasehat dan mana yang
bukan.
Cukuplah Allah SWT sebagai saksi atas segala perbuatan kita selama
ini. Dialah pihak ketiga ketika kita hanya berdua, Dialah yang kedua
ketika kita hanya sendirian. Dialah yang tak pernah salah dalam menilai.
Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan
tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih
banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.
Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang
telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Al-Mujaadilah: 7)
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka.” (An-Nisaa’: 108)
“Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan
bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (At-Taubah: 78)
“Katakanlah: ‘Jika kalian menyembunyikan apa yang ada di dalam
dada (hati) kalian atau kalian menampakkannya, pasti Allah mengetahui.
Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di
bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Aali ‘Imraan: 29)
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahi kita ingatan akan kedekatan
dan kebersamaan-Nya dengan kita, bahwa Dia senantiasa menyaksikan kita.
Dan semoga Dia mengampuni kita atas segala kesalahan yang tidak kita
sadari dan tidak kita maksudkan. Kita memang terkadang tidak bermaksud
berbuat salah dalam suatu sikap dan tindakan, dan tidak juga bermaksud
mendzalimi orang lain, namun memang cara menilai manusia itu pasti akan
beragam sesuai sudut pandang masing-masing, hingga yang telah kita
usahakan benar pun bisa saja tetap salah dalam pandangan orang lain,
atau bahkan tiada yang pernah benar sama sekali, hanya karena tertutup
sebagian kesalahan kita yang lainnya. Dan itulah keridhaan seluruh
manusia yang selamanya akan mustahil dapat berkumpul di satu titik. Maka
dari itu, cukuplah Allah SWT sebagai Saksi yang tak pernah salah dalam
menghukumi. Apapun amal perbuatan yang kita lakukan, setidaknya kita
tidak sampai mendasarinya dengan niat berbuat kerusakan di muka bumi
ini. Perkara apakah amal tersebut akan diterima ataukah tertolak, maka
itu bukanlah wewenang kita. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah
SWT. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang paling kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah, (Dialah) Saksi antara aku dan kalian.’” (Al-An’aam: 19)
“Katakanlah: ‘Cukuplah Allah menjadi Saksi antara aku dan kalian. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.’” (Al-‘Ankabuut: 52)
Dan akhirnya, kita pun sama-sama bukan Tuhan yang mengetahui isi hati
orang lain ataupun nasib masa depan mereka. Kita bahkan juga tidak
pernah tahu akhir hidup kita sendiri. Maka sepantasnyalah kita tak perlu
terlalu berlebihan meresahkan kesalahan orang lain, semenjak kita
sendiri pun juga tak pernah terlalu berlebihan meresahkan kesalahan kita
sendiri. Kita hanya diperintahkan untuk menyeru sesama manusia untuk
kembali kepada kebaikan dan kebenaran dengan nasehat dan cara yang
benar, sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, menurut kesanggupan dan
keterbatasan masing-masing. Dan tentu kita pun tak ada yang berniat
untuk terjerumus ke dalam siksa neraka. Maka dari itu, semoga Allah SWT
yang merupakan Saksi Nyata kehidupan kita, senantiasa menunjuki kita
hidayah-Nya serta mengampuni segala kesalahan kita, terutama kesalahan
yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Dan hanya dari dan
milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
Ibnu Anwar
www.eramuslim.com