Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
Monday, 6 November 2017
Transfusi Darah dari Non Muslim
Mau nanya nih pak ustad. temen saya ( orang mexico, katholik ) nanya, orang selain islam kan banyak yang makan babi, bacon dsb nah dalam darah mereka pasti mengandung zat-zat yang terkandung dalam daging babi.
Bolehkah darah tersebut ditransfusikan ke orang muslim ? bagaimana hukumnya ?
Bagaimana menjaga kemurnian darah di red cross ( PMI di indonesia ) bebas dari orang yang makan daging babi ?
terima kasih pak ustad
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Suyono yang dirahmati Allah swt
DR Ali Jum’ah, Mufti Negara Mesir mengatakan bahwa Allah swt telah memuliakan manusia dan memberikan keutamaan terhadap banyak makhluk-Nya. Allah melarangnya untuk menghinakan diri sendiri dan menyakiti kehormatannya karena diantara tujuan syariah islamiyah adalah melindungi jiwa. Firman Allah swt :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Artinya : “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Al Isra : 70)
Ddiantara bentuk pemuliaannya adalah diciptakannya manusia dengan sebaik-baik bentuk, hal ini merupakan suatu nikmat dari Allah kepada manusia. Oleh karena itu diharuskan bagi manusia untuk bersyukur kepada Allah swt atas nikmat itu, firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin : 4)
Bentuk pemuliaan Allah lainnya kepada manusia adalah bahwa tubuh manusia merupakan sebuah amanah yang harus dipelihara. Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk memperlakukannya dengan perbuatan yang buruk atau melakukan perusakan terhadapnya walaupun perbuatan itu dilakukan oleh pemilik tubuh itu sendiri.
Karena itulah agama-agama langit dan undang-undang melarang perusakan badan dan pelenyapan nyawa dengan jalan bunuh diri atau cara-cara yang mengarahkan pada tindakan bunuh diri itu, firman Allah swt :
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisaa : 29)
Diantara pemuliaan Allah lainnya kepada manusia bahwa Allah swt memerintahkannya untuk memperhatikan kesehatan jasmani baik kesehatan lahir maupun batin serta memerintahkannya untuk mempergunakan setiap sarana pengobatan terhadap suatu penyakit, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Berobatlah wahai hamba Allah. Sesungguhnya Allah swt tidaklah meletakkan suatu penyakit kecuali Dia telah meletakkan obat yang menyertainya kecuali (penyakit) tua.” Didalam riwayat lain,”Kecuali racun.”—yaitu kematian—Syariah Islamiyah telah memberikan kemuliaan yang besar kepada manusia dan memerintahkannya untuk memelihara jiwa dan tubuhnya dari segala sesuatu yang bisa mencelakakan dan merusaknya.serta melarangnya untuk membunuh dirinya atau menyakitinya. Karena itu tidak dibolehkan bagi seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak atau menyakitinya kecuali dengan jalan hudud yang disyariatkan Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqoroh : 195)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisaa : 29)
Manusia dituntut untuk menjaga badan dan seluruh anggota tubuhnya—darah merupakan cairan hidup diantara cairan-cairan dalam tubuh. Dan tabiatnya itu menjadikannya suatu bagian tubuh cair yang bergerak mengalir didalam urat-urat tubuh dan pembuluh-pembuluhnya—maka janganlah menyakiti tubuhnya dalam keadaan apa pun.
Tranfusi darah dapat menyelamatkan seorang mansia dari kebinasaan dan juga telah ditetapkan oleh para ahli kedokteran yang bisa dipercaya bahwa hal itu tidaklah berbahaya bagi orang yang mendonorkannya, tidak berpengaruh terhadap kesehatan, kehidupan dan aktivitasnya. Tidak ada larangan untuk memberikan keringanan dalam hal itu apabila tidak terdapat kemudharatan (bahaya).
Hal itu juga bisa diterima dari aspek perizinan syariah yaitu pemeliharaan jiwa dan kehidupannya sebagaimana diperintahkan Allah swt serta dari aspek pengorbanan dan itsar (mengutamakan orang lain) yang juga diperintahkan Allah swt :
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Ddan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr : 9)
Analoginya adalah seperti penyelamatan terhadap seorang yang tenggelam, terbakar maupun tertiban reruntuhan yang ada kemungkinan binasa, firman Allah swt ;
Artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah : 2)
Dengan demikian tranfusi darah tidaklah dilarang menurut syariah terlebih lagi darah merupakan anggota tubuh yang bisa memperbaharui bahkan senanatiasa memperbaharui dan melakukan perubahan.
Inilah beberapa batasan dan persyaratan dalam hal ini :
1. Adanya keadaan darurat tatkala transfusi, seperti sebagian manusia atau orang-orang yang berada dalam keadaan yang sangat membutuhkan kepada sejumlah darah untuk menyelamatkan kehidupan mereka dari kebinasaan seperti kecelakaan, bencana alam atau operasi pembedahan.
2. Hendaknya tranfusi darah itu adalah untuk mengukuhkan suatu kemaslahatan bagi seorang manusia dari aspek kedokteran dan mencegah suatu kemudharatan terhadapnya.
3. Hendaknya transfusi darah itu tidak mengakibatkan suatu kemudharatan (bahaya) terhadap orang yang mendonorkannya baik bahaya yang menyeluruh atau sebagian atau tidak mengahalanginya dari aktivitas kehidupannya baik fisik maupun non fisik atau menimbulkan efek negatif kepadanya dengan cara-cara yang telah dipastikan dari aspek kedokteran.
4. Telah dipastikan melalui cara-cara kedokteran bahwa orang yang mendonorkan darah itu terbebas dari penyakit-penyakit yang membahayakan kesehatan seseoang karena hal itu tidaklah dibolehkan menurut syariat yaitu menghilangkan kemudharatan dengan kemudharatan pula.
5. Hendaknya orang yang mendonorkan darah itu adalah orang yang sudah memenuhi kelayakan. (http://www.arababts.com)
Demikianlah fatwa DR Ali Jum’ah tentang dibolehkannya transfusi darah menurut syariat.
Pendonoran darah ini perlu lebih berhati-hati daripada pendonoran organ tubuh. Hal itu dikarenakan bahwa darah seseorang mudah terkotori oleh suatu penyakit yang menjadikannya tidak diperbolekan didonorkan kepada orang lain, seperti penjelasan diatas.
Kebiasaan non muslim yang mengkonsumsi makanan maupun minuman yang diharamkan syariat, seperti : daging babi, anjing, khamr ataupun yang sejenisnya tidaklah membebaskan darahnya dari adanya kemungkinan penyakit yang dikandung didalam darahnya.
Karena itu, DR. Fahd bin Abdurrahman al Yahya, salah seorang anggota Lembaga Pengajaran di Universitas al Qashim berpendapat bahwa pada dasarnya dilarang mengambil darah dari orang-orang kafir kecuali dalam keadaan yang sangat darurat dikarenakan kebiasaannya melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti minum khamr, berbuat zina sehingga tidak adanya jaminan terhadap kesehatan darahnya, ini adalah pendapat yang kuat. (http://www.islamtoday.net)
Dengan demikian selama masih ada darah dari orang-orang muslim maka hal itu lebih utama untuk digunakan daripada darah yang berasal dari orang-orang non muslim kecuali apabila persediaan darah dari orang-orang muslim sudah tidak ada atau sangat terbatas maka diperbolehkan baginya menggunakan darah yang berasal dari non muslim.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
www.eramuslim.com
Poligami dan Asbabun Nuzul Ayat
Asslm. Wr. Wb,
Ustadz yang insya ALLOH dirahmati ALLOH SWT,
1. Saya ada pertanyaan mengenai poligami dikarenakan ada yang menyatakan kalau kita mau berpoligami yang sesuai dengan Rasulullah SAW, maka istri pertama harus meninggal dahulu seperti Khadijah R.A?
2. Apa dan sebab turunnya ayat berpoligami tersebut, apakah pada saat Khadijah R.A masih ada atau beliau sudah meninggal? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wasslm. Wr. Wb,
Hamba ALLOH
Waalaikumussalam Wr Wb
Poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh Allah swt sebagai solusi dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang tidak ada pembatasan bagi seorang laki-laki dalam memiliki istri serta untuk memenuhi tuntutan sosial masyarakat yang semakin hari jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
Disyariatkannya hal itu berdasarkan firman Allah swt :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ (٣)
Artinya : “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisaa : 3)
Ijma para ulama menyatakan bahwa diperbolehkan seseorang melakukan poligami dengan dua persyaratan :
1. Mampu berlaku adil terhadap para istrinya, sebagaimana firman Allah swt ;
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
Artinya : “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa : 3)
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kepada para istrinya itu, sebagaimana firman Allah swt :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (٣٣)
Artinya : “dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur : 33)
Memang didalam siroh disebutkan bahwa Rasulullah saw baru melakukan poligami pada usia 53 tahun setelah Khodijah ra meninggal dunia hingga usia beliau 60 tahun.
Poligami yang dilakukan Rasulullah saw dikarenakan tuntutan da’wah. Pada saat itu usia Nabi saw semakin tua sementara tugasnya bertambah berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau saw membutuhkan orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah. Tentunya sangatlah merisihkan diri nabi saw jika beliau saw secara langsung menjelaskan hukum-hukum syariat tentang wanita kepada para wanita muslimah. Karena itulah, fungsi menyampaikan ini diambil oleh hampir seluruh istrinya.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw dengan berpoligami setelah meninggalnya Khodijah sebagai istri pertamanya adalah juga perintah dari Allah swt. Dan hal itu tidak berarti bahwa setiap muslim baru bisa berpoligami setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Islam adalah agama fitrah yang mengerti akan kebutuhan setiap manusia. Tentunya kebutuhan setiap manusia tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya termasuk dorongan syahwat (libido). Ada diantara mereka yang membutuhkan istri lebih dari satu untuk memenuhi libidonya sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan satu istri. Atau mungkin ada diantara mereka yang sedang diuji dengan sakit berkepanjangan yang dialami istrinya sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya sementara dirinya membutuhkan jalan keluar untuk itu, lalu apakah solusi buat suaminya itu ?
Apakah dirinya harus menanti hingga istrinya meninggal dunia?! Sementara dorongan seksualnya semakin hari terus semakin bertambah! dan bukan tidak mungkin jika tidak ada solusi berpoligami maka dirinya akan jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Tidak ada nash didalam Al Qur’an maupun sunnah yang melarang seorang muslim untuk berpoligami sementara istri pertamanya masih ada disampingnya selama dirinya sudah termasuk orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk itu. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan batasan bagi seseorang yang berpoligami untuk tidak memiliki istri lebih dari empat orang, sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementar dirinya memiliki sepuluh orang istri. Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى , maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”
Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo
www.eramuslim.com
Mestikah Muslim Itu Harus Berjenggot?
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang dimuliakan Allah….
Bagaimana sebenarnya hukum mencukur atau merapikan jenggot (termasuk brewok)? Karena, ada sebagian teman yang mengharamkan dan sebagian yang lain membolehkannya (makruh,red). Terima kasih.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Penanya kedua:
Isteri saya mengancam minta cerai jika saya tidak mau mencukur jenggot. Mana yang lebih didahulukan antara keharmonisan suami isteri dengan memelihara sunnah berjenggot?
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Hukum Mencukur Jenggot
Memelihara jenggot dan tidak mencukurnya adalah sunnah Rasulullah saw yang kemudian juga diikuti oleh para sahabatnya. Perhatian Rasulullah saw dan juga para sahabatnya dalam pemeliharaan jenggot ini juga ditunjukkan dengan kebiasaan mereka merapihkan, merawat dan menyela-nyelanya dengan air saat berwudhu.
Diantaranya hadits Rasulullah saw dalam hal ini adalah,”Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Muslim) serta hadits yang diriwayatkan dari Zakaria bin Abi Zaidah dari Mus’ab bin Syaibah dari Tholq bin Habib dari Ibnu az Zubeir dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sepuluh perkara fitrah : Mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung (saat wudhu), memotong kuku, mencuci sendi-sendi jari tanggan, mencabut bulu ketiak, mecukur rambut di sekitar kelamin, mencuci dengan air setelah buang air kecil—kemudian Zakaria berkata,’Mus’ab mengatakan,’aku lupa yang kesepuluh kecuali berkumur-kumur.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasai dan Tirmidzi)
Diantara hikmah lain dari larangan mencukur jenggot adalah agar kaum muslimin memiliki ciri khas sendiri dalam penampilan zhohirnya yang membedakannya dari orang-orang musyrik ataupun majusi, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Berbedalah dengan kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Tirmidzi)
Banyak ahli fiqih yang mengharamkan mencukur dengan alasan perintah Rasul saw untuk memeliharanya, sebab perintah itu pada asalnya menunjukkan hukum wajib, khususnya karena illat (alasannya) untuk membedakan diri dengan orang kafir, sedang membedakan diri dari orang kafir adalah wajib. Bahkan tidak terdapat satu pun riwayat yang menunjukkan adanya salah seorang Salaf yang meninggalkan kewajiban ini.
Yang dimaksud dengan memelihara jenggot bukan berarti tidak boleh memotongnya sama sekali, karena kadang-kadang jenggot bisa sampai sangat panjang dan buruk serta menggangu pemiliknya. Akan tetapi diperkenankan memotongnya apabila dirasa terlalu panjang dan lebar, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Tirmidzi (dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw pernah memotong jenggotnya dari lebar dan panjangnya.” Hadits ini dhoif).
Hal itu biasa dilakukan oleh sebagian ulama Salaf. Iyadh berkata,”Dimakruhkan mencukur, menggunting dan mencabut jenggot. Tetapi kalau mengurangi kepanjangan dan kelebatannya, maka hal itu bagus.”
Sebagian ulama masa kini memperbolehkan mencukur jenggot karena terpengaruh oleh kenyataan di lapangan dan karena memang bencana (ancaman) sudah merata. Mereka mengatakan bahwa memelihara jenggot adalah perbuatan yang biasa dilakukan Rasulullah saw (semata-mata kebiasaan) dan bukan merupakan ubudiyah dalam syara’. Tetapi yang benar, bahwa mencukur jenggot bukan hanya perbuatan Rasul saw melainkan perintah yang tegas dengan alasan untuk berbeda dari orang-orang kafir.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa berbeda dengan orang-orang kafir itulah yang menjadi tujuan Syar’i (Pembuat Syari’at). Karena kesamaan simbol-simbol lahiriyah bisa menimbulkan cinta kasih dan kesetiaan batin, sebagaimana halnya rasa cinta dalam batin dapat menimbulkan keserupaan sikap lahiriyah. Hal ini sudah dibuktikan oleh kenyataan dan pengalaman.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan,”Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma memerintahkan agar berbeda dari orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara total. Apa saja yang diduga dapat menimbulkan kerusakan walaupun samar dan tidak jelas, yang berhubungan dengan hukum haram maka menyerupai mereka secara lahir dapat menyebabkan tindakan menyerupai mereka dalam moral-moral dan perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan terhadap akidah sendiri.
Pengaruh hal itu memang tidak dapat dikongkritkan, dan kerusakan yang ditimbulkannya sendiri kadang-kadang memang tidak tampak transparan, tetapi sulit dihilangkan. Sedang segala sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan diharamkan oleh syara’. (Halal dan Haram edisi terjemah hal 103 – 104)
Sebetulnya yang ditunjukkan oleh Sunnah Syarifah dan adab-adab Islam dalam masalah ini adalah bahwa perintah terhadap pakaian, makanan, penampilan manusia tidaklah masuk dalam kategori ibadah yang harus dipegang teguh sebagaimana hal ini terjadi pada Rasulullah saw dan para sahabat. Akan tetapi seorang muslim diharuskan mengikuti perkara terbaik untuk lingkungannya, disukai masyarakatnya dan yang menjadi kebiasaan mereka dengan tidak melanggar nash atau hukum yang tidak diperselisihkan. Hukum memanjangkan jenggot atau mencukurnya adalah diantara perkara-perkara yang diperselisihkan. (Fatawa al Azhar juz II hal 166, Maktabah Syamilah)
Yusuf al Qorodhowi membagi hukum mencukur jenggot ini menjadi tiga pendapat :
1. Haram, sebagaimana dikemukan oleh Ibnu Taimiyah dan lainnya.
2. Makruh, sebagaimana diriwayatkan dalam Fathul Bari dari pendapat Iyadh, sedang dari selain Iyadh tidak disebutkan.
3. Mubah, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama modern.
Barangkali pendapat yang lebih moderat, lebih mendekati kebenaran, dan lebih adil ialah pendapat yang memakruhkannya, karena suatu perintah tidak selamanya menunjukkan hukum wajib sekalipun ditegaskan alasannya (illat) untuk berbeda dengan orang-orang kafir. Contoh yang terdekat adalah perintah untuk menyemir rambut agar berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi sebagian sahabat tidak menyemir rambutnya. Hal itu menunjukkan bahwa perintah tersebut hukumnya mustahab (sunnat).
Memang benar tidaka ada seorang pun Salaf yang mencukur jenggotnya, akan tetapi hal itu boleh jadi karena mereka tidak merasa perlu mencukurnya sedang memelihara jenggot sudah menjadi kebiasaan mereka. (Halal dan Haram, edisi terjemah hal 104)
Diantara Dua Pilihan
Keberlangsungan suatu rumah tangga yang ditandai dengan keharmonisan pasangan suami istri merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh islam. Suatu pernikahan yang dibangun oleh suatu pasangan suami istri bukanlah hanya untuk beberapa waktu atau tergantung keadaan dan situasi, selama masih cocok terus dan ketika sudah tidak cocok selesai tanpa memikirkan berbagai akibat yuang ditimbulkannya. Untuk itu islam menamakan ikatan perkawinan dengan mitsaqon gholizho (perjanjian yang kuat), sebagaimana firman Allah swt,”Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisaa : 21)
Menjaga keutuhan rumah tangga adalah suatu kewajiban dan perceraian merupakan perkara halal yang paling dibenci Allah swt. Artinya perceraian ini harus dihindarkan dan menjadi alternatif yang paling akhir ketika memang suatu permasalahan rumah tangga sudah sulit dicari solusinya sehingga perceraian hanyalah terjadi dalam kondisi darurat, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah swt adalah talak.” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Sedangkan mencukur dan memanjangkan jenggot adalah perkara yang masih diperselisihkan para ulama, apakah ia wajib, sunnah, dianjurkan, makruh atau dibolehkan.
Dengan demikian, menjaga kelangsungan hubungan suami istri dengan menghindari perceraian lebih diutamakan daripada memanjangkan jenggot dikarenakan meninggalkan perbuatan memanjanngkan jenggot ini bukan merupakan suatu kemaksiatan yang pasti (qoth’i), kalaupun ada yang menyebutkan bahwa memanjangkan jenggot adalah sunnah Rasul maka arti sunnah adalah thoriqoh (jalan) yaitu berpahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkannya.
da satu kaidah fiqih yaitu,”Menghindari mafsadah (keburukan) lebih diutamakan daripada mengambil maslahat (kebaikan).” Artinya apabila dihadapkan oleh mafsadah dan maslahat maka mencegah dominannya mafsadah harus didahulukan karena perhatian Pembuat Syari’at terhadap hal-hal yang dilarang lebih besar daripada perhatiannya dengan hal-hal yang diperintahkan. Untuk itu Rasulullah saw bersabda,”Apabila aku perintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian dan apabila aku larang kalian dari suatu perkara maka jauhilah.”
Jika maslahat lebih dominan daripada mafsadah maka mengedepankan maslahat daripada mafsadah, misalnya; sholat ketika ada persyaratan yang tidak terpenuhi seperti bersuci, menutup aurat atau menghadap kiblat yang setiap kondisi itu adalah mafsadah karena adanya pelanggaran terhadap Allah swt dan tidaklah bermunajat kepada Allah kecuali dalam keadaan yang sempurna.
Namun ketika ada uzur (halangan) terhadap sesuatu dari itu semua maka diperbolehkan sholat tanpanya karena lebih mengedepankan maslahat sholat daripada mafsadahnya. Contoh lain adalah berdusta untuk kebaikan manusia atau dusta terhadap istri demi memperbaikinya. Jenis kaidah ini kembali kepada kaidah mengambil mafsadah (kerusakan) yang paling ringan jika dihadapkan oleh dua mafsadah. (al Asbah wan Nazhoir juz I hal 154, maktabah Syamilah)
Dari kaidah fiqih diatas maka menghindari perceraian diantara suami istri haruslah lebih didahulukan daripada keinginan untuk memanjangkan jenggot karena mudharat (akibat) yang ditimbulkan oleh perceraian amatlah luas yang tidak hanya menyangkut hubungan mereka berdua tetapi juga anak-anak, keluarga besar dari keduanya, warisan dan yang lainnya sedangkan manfaat memanjangkan jenggot hanyalah pada pelakunya meskipun hukum tetap dalam permasalahan ini masih diperselisihkan.
Wallahu A’lam
– Ustadz Sigit Pranowo, LC-
www.eramuslim.com
Makna Islam Terpecah 73 Golongan, dan Siapa yang Selamat?
Assalamualaykum wa rahmatullah wa barakatuh.
ustadz yg dirahmati ALLAH, saya ingin menanyakan arti surat al anbiyaa ayat 93. apakah ayat tersebut mengindikasikan bahwa agama islam memang terpecah menjadi 73 bagian? sebab saya pernah mendengar tentang hal tersebut. apabila memang benar yg manakah yg harus saya ikuti? adakah ciri2 dari ajaran ALLAH yg paling benar dan sesuai dengan syariat yg diajarkan nabi Muhammad SAW. terima kasih atas penjelasan ustadz
Wa’alaikumussalam Wr Wb
Saudara Nunik yang dimuliakan Allah swt
Firman Allah swt :
Tafsir Surat Al Anbiya : 93
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ ﴿٩٢﴾
وَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ كُلٌّ إِلَيْنَا رَاجِعُونَ ﴿٩٣﴾
فَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ ﴿٩٤﴾
Artinya : “Sesungguhnya (agama tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. kepada kamilah masing-masing golongan itu akan kembali. Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami menuliskan amalannya itu untuknya.” (QS. Al Anbiya : 92 – 94)
Tentang firman Allah إن هذه أمتكم أمة واحدة , Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubeir dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa agama kalian adalah satu.
Sedangkan Hasan Al Bashri mengatakan bahwa ayat itu menjelaskan kepada mereka apa-apa yang harus dijaga dan apa-apa yang akan terjadi kemudian dia mengatakan bahwa makna dari إن هذه أمتكم أمة واحدة adalah sunnah (jalan) kalian adalah jalan yang satu.
Adapun maksud firman Allah وتقطعوا أمرهم بينهم adalah umat-umat berselisih terhadap para rasul mereka, ada dari mereka yang mengimani namun ada juga yang mendustai mereka. Karena itulah firman-Nya كل إلينا راجعون yaitu : pada hari kiamat, Dia swt akan memberikan balasan sesuai dengan amalnya, jika amalnya baik maka dibalas dengan kebaikan dan jika ia buruk maka dibalas dengan keburukan. Karena itu juga Allah berfirman فمن يعمل من الصالحات وهو مؤمن yaitu hatinya beriman dan beramal shaleh فلا كفران لسعيه seperti firman-Nya إنا لا نضيع أجر من أحسن عملا (QS. Al Kahfi : 30) yang berarti usaha atau amalnya tidak akan diingkari bahkan diberikan balasan dan tidaklah dizhalimi walau sebesar biji sawi sekali pun, karena itu pula firman-Nya selanjutnya وإنا له كاتبون yaitu akan ditulis seluruh amalnya dan tidak akan disia-siakan sedikit pun. (Tafsir al Qur’anil Azhim juz V hal 371 – 372)
Al Qurthubi mengatakan bahwa makna وتقطعوا أمرهم بينهم mereka saling berpecah didalam agama, demikian dikatakan al Kalibi, sementara al Akhfasy mengatakan bahwa mereka saling berselisih didalamnya.
Al Qurthubi juga mengatakan bahwa yang dimaksud di situ adalah orang-orang musyrik, mereka dicerca karena telah menyimpang dari kebenaran serta mengambil tuhan-tuhan selain Allah. Al Azhariy mengatakan bahwa maknanya adalah mereka telah berpecah belah didalam urusan (agama) mereka.
Maksudnya adalah seluruh makhluk, yaitu mereka telah menjadikan urusan didalam agama mereka terpotong-potong dan mereka mebagi-bagi diantara mereka. Diantara mereka ada yang tetap bertauhid, ada yang menjadi Yahudi, ada yang menjadi Nashrani dan ada yang menyembah raja atau berhala. Dan كل إلينا راجعون yaitu seluruhnya akan dikembalikan kepad pengadilan Kami lalu Kami memberikan balasan kepada mereka. (Al Jami’ Li Ahkmil Qur’an jilid VI hal 304 – 305)
Didalam menafsirkan ayat-ayat diatas Sayyid Qutb mengatakan bahwa umat para rasul adalah satu, mereka tegak diatas aqidah yang satu dan agama yang satu. Asasnya adalah tauhid yang menjadi da’wah para rasul sejak awal hingga akhir risalah-risalah tanpa ada pergantian atau perubahan pada asal yang besar ini.
Sesungguhnya berbagai perincian dan penambahan didalam manhaj kehidupan tegak diatas aqidah tauhid yang sesuai dengan kesiapan setiap umat, perkembangan setiap generasi, sesuai pertumbuhan pengetahuan dan pengalaman manusia, kesiapan mereka terhadap berbagai tipe taklif dan syari’at serta sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang tumbuh bersama pengalaman mereka dan perkembangan kehidupan, berbagai sarana dan hubungan antara generasi satu dengan lainnya.
Bersamaan dengan kesatuan umat para rasul dan kesatuan dasar yang diatasnya tegak seluruh risalah itu terjadilah perpecahan dikalangan para pengikutnya dalam urusan (agama), setiap mereka menjadi sebuah potongan dan lari darinya. Lalu muncul perdebatan dan banyak perselisihan terjadi diantara mereka serta bangkitlah permusuhan dan kebencian diantara mereka… Hal itu terjadi diantara para pengikut dari rasul yang satu hingga mengakibatkan sebagian mereka membunuh sebagian lainnya dengan mengatasnamakan aqidah padahal aqidahnya satu dan umat para rasul seluruhnya adalah satu.
Sungguh perpecahan diantara mereka dalam urusan (agama) mereka di dunia dan seluruhnya akan dikembalikan kepada Allah di akherat كل إلينا راجعون yaitu seluruhnya hanya kembali kepada-Nya. Dia lah yang berhak menghisab mereka dan Yang mengetahui atas apa yang mereka lakukan baik berupa petunjuk atau kesesatan . (Fii Zhilalil Qur’an juz IV hal 2397)
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan masanid seperti Abu Daud, Nasai, Tirmidzi dan yang lainnya dengan beberapa lafazhnya, diantaranya,”Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.” Didalam riwayat lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah golongan yang selamat ?
Beliau saw menjawab,’Siapa yang berada diatas (ajaran) seperti ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan Tirmidzi) didalam riwayat lain disebutkan,”ia adalah jama’ah, tangan Allah berada diatas tangan jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Siapa Golongan Yang Selamat ?
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz mengatakan bahwa “Golongan yang Selamat” adalah jama’ah yang istiqomah diatas jalan Nabi saw dan para sahabatnya, mengesakan Allah, menaati berbagai perintah dan menjauhi berbagai larangan-Nya, istiqomah dengannya dalam perkataan, perbuatan maupun aqidahnya. Mereka adalah ahlul haq, para penyeru kepada petunjuk-Nya walaupun mereka tersebar di berbagai negeri, diantara mereka ada yang tinggal di Jazirah Arab, Syam, Amerika, Mesir, Afirka, Asia, mereka adalah jama’ah-jama’ah yang banyak yang mengetahui aqidah dan amal-amal mereka. Apabila mereka berada diatas jalan tauhid, keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, istiqamah diatas agama Allah sebagaimana yang terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya maka mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah walaupun mereka berada di banyak tempat namun pada akhir zaman jumlah mereka tidaklah banyak.
Dengan demikian, kriiteria mereka adalah keistiqomahan mereka berada diatas kebenaran. Apabila terdapat seseorang atau jama’ah yang menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menyeru kepada tauhid Allah serta mengikuti syariahnya maka mereka adalah jama’ah, mereka adalah “Golongan yang Selamat”.
Adapun orang yang menyeru kepada selain Kitabullah atau selain Sunnah Rasul saw maka mereka bukanlah jama’ah bahkan termasuk kedalam golongan yang sesat dan merusak.
Sesungguhnya golongan yang selamat adalah para penyeru Al Qur’an dan Sunnah, walaupun ia adalah jama’ah ini atau jama’ah itu selama tujuan dan aqidahnya adalah satu tidak masalah apakah ia adalah jama’ah : Anshorus Sunnah, al Ikhwan al Muslimin atau yang lainnya, yang penting aqidah dan amal mereka. Apabila mereka istiqomah diatas kebenaran, tauhidullah, ikhlas dengannya, mengikuti rasul-Nya saw baik perkataan, perbuatan, aqidah sedangkan nama tidaklah menjadi persoalan akan tetapi hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan bersifat shidiq.
Apabila sebagian mereka menamakan jam’ahnya dengan Anshorus Sunnah, sebagian lain menamakannya dengan Salafiy atau al Ikhwan al Muslimin atau jama’ah ini dan itu maka tidaklah menjadi persoalan selama jama’ah itu shidiq dan istiqomah diatas kebenaran dengan mengikuti Kitabullah dan Sunnah serta menghukum dengan keduanya, istiqomah diatas keduanya baik aqidah, perkataan dan perbuatan. Apabila jama’ah itu melakukan kesalahan dalam suatu urusan maka wajib bagi ahli ilmu untuk mengingatkannya dan menunjukinya kepada kebenaran apabila buktinya telah jelas.
Hal itu berarti : Hendaknya kita saling bekerja sama didalam kebajikan dan ketakwaan, mencari solusi terhadap berbagai problematika kita dengan ilmu, hikmah, cara-cara yang baik. Barangsiapa yang melakukan kesalahan dalam suatu urusan dari jama’ah-jama’ah ini atau selain mereka yang berkaitan dengan aqidah atau apa-apa yang diwajibkan Allah atau diharamkan Allah maka hendaknya mereka diingatkan dengan dalil-dalil syar’i dengan cara yang lembut, bijaksana, cara yang baik sehingga mereka mau mengakui dan menerima kebenaran serta tidak lari darinya. Ini adalah kewajiban kaum muslimin untuk saling bekerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan, saling menasehati diantara mereka dan tidak saling menghina yang bisa membuka peluang musuh untuk masuk ketengah-tengah mereka. (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah juz VIII hal 181)
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo Lc-
www.eramuslim.com
Siapakah Uzair Itu Bagi Yahudi?
Assalamu’alaikum Ustadz..
Dalam surah At-Taubah ayat 30 ada disebutkan tentang Uzair yg dikatakan oleh kaum Yahudi sebagai anak Allah. Siapakah yg dimaksud dgn Uzair itu dan bagaimana riwayatnya ?
Terima kasih.
wassalamu’alaikum wr wb
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Didi yang dirahmati Allah swt
Firman Allah swt :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya : “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah”. Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At Taubah : 30)
Abu Ja’far mengatakan bahwa para ahli ta’wil berbeda pendapat tentang (yang dikatakan mereka) bahwa Uzair putra Allah. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang bernama Finhash.
Al Qashim telah bercerita kepada kami, dia berkata : Al Husein telah bercerita kepada kami, berkata : Hajjaj telah bercerita kepadaku dari Ibnu Jureih berkata,”Aku mendengar Abdullah bin Ubaid bin Umair tentang firman-Nya وقالت اليهود عزير ابن الله dia berkata bahwa ia (uzeir) adalah seorang laki-laki. Mereka berkata,’Namanya adalah Finhash.’ Dan mereka berkata,’Dia adalah yang mengatakan,إن الله فقير ونحن أغنياء (Sesungguhnya Allah itu miskin dan kamilah yang kaya, Al Imran : 181)
Dari ibnu Abbas tentang firmannya وقالت اليهود عزير ابن الله sesungguhnya mereka mengatakan,”Dia (Uzeir) adalah putra Allah dikarenakan Uzeir dahulu berada ditengah-tengah orang ahli kitab dan kitab taurat ada pada mereka. Mereka mengamalkan apa yang ada didalamnya sesuai dengan kehendak Allah untuk diamalkan lalu mereka menyia-nyiakannya dan mengamalkan dengan cara yang tidak benar dan ditengah-tengah mereka terdapat tabut—baca judul : Tabut Yahudi, pen—maka tatkala Allah menyaksikan sikap penyia-nyiaan mereka terhadap taurat dan mengamalkannya dengan hawa nafsu mereka lalu Allah mengangkat tabut, mereka dilupakan terhadap taurat dan dihapuskannya dari dada-dada mereka serta Allah kirimkan kepada mereka suatu penyakit yang mencuci perut mereka dan menjadikannya sulit berjalan sehingga mereka melupakan taurat dan terhapuslah taurat itu dari dada-dada mereka, sementara ditengah-tengah mereka terdapat Uzeir.
Mereka berada dalam kondisi itu selama yang Allah kehendaki setelah dihapuskannya taurat dari dada-dada mereka dan Uzeir sebelumnya adalah salah seorang dari ulama mereka. Uzeir pun berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati memohon agar Allah mengembalikan apa yang telah dihapuskan (taurat) itu kepada dada-dada mereka. Tatkala ia melakukan shalat dengan sepenuh hati kepada Allah maka turunlah sebuah cahaya dari Allah masuk kedalam perutnya dan kembalilah apa yang selama ini hilang dari perutnya berupa taurat. Setelah itu dia pun berteriak dengan suara lantang ditengah-tengah kaumnya sambil berkata,”Wahai kaum. Sungguh Allah telah memberikan taurat dan mengembalikannya kepadaku!”
Kemudian Uzeir mengajarkan taurat kepada mereka selama waktu yang dikehendaki Allah lalu tabut pun turun setelah ia hilang dari mereka. Tatkala mereka menyaksikan tabut maka mereka pun membandingkan isi tabut itu dengan apa yang diajarkan Uzeir kepada mereka maka mereka pun mendapatinya sama, dan mereka pun berkata,”Demi Allah tidaklah Uzeir diberikan ini kecuali bahwa dia adalah putra Allah.”
Dari as Suddiy, firman Allah : وقالت اليهود عزير ابن الله sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata demikian dikarenakan mereka pernah dikalahkan oleh orang-orang kuat yang kemudian melakukan pembantaian dan mengambil taurat. Ulama-ulama mereka yang tersisa pun berhasil lari dan mereka mengubur kitab-kitab taurat di gunung-gunung.
Uzeir saat itu adalah seorang anak (belasan tahun) yang tengah beribadah di puncak gunung dan dia tidaklah turun kecuali pada hari raya. Anak itu pun menangis dan berkata,”Tuhan, Engkau telah tinggalkan Bani Israil tanpa seorang alim pun”! dia pun terus menangis hingga kedua kelopak matanya turun.
Suatu kali ia turun dan ketika kembali, ia mendapati seorang wanita terlunta-lunta disebuah kuburan sambil menangis dan berkata,”Wahai yang memberikan makan, wahai yang memberikan pakaian !” Uzeir berkata kepadanya,”Celaka kau, siapa yang akan memberikanmu makan, memberikanmu pakaian, memberikanmu minum atau memberikan manfaat kepadamu sebelum laki-laki ini? wanita itu berkata,”Allah!” Uzeir berkata,”Sesungguhnya Allah hidup dan tidak mati!” wanita itu berkata,”Wahai Uzeir, siapakah yang mengajarkan para ulama sebelum Bani Israil? Uzeir menjawab,”Allah.” Wanita itu berkata,”Mengapa engkau menangisi mereka?” maka tatkala Uzeir mengetahui bahwa dirinya dikalahkan (argumentasinya) lalu dia pun berpaling.
Wanita itu memanggilnya dan berkata,”Wahai Uzeir, apabila telah esok datanglah ke sungai ini dan itu dan mandilah di sana kemudian keluarlah dan kerjakan shalat dua rakaat lalu akan datang menemuimu seorang kakek dan apa pun yang diberikannya kepadamu maka ambillah.
Pada keesokan harinya, Uzeir pergi ke sungai yang disebutkan itu dan mandi disana lalu keluar darinya dan melaksanakan shalat dua rakaat, dan datanglah seorang kakek dan berkata,”Bukalah mulutmu!” Uzeir pun membuka mulutnya, lalu si kakek meletakkan sesuatu seperti sebuah bara api yang besar sebanyak tiga kali.
Lalu Uzeir kembali dan dia menjadi seorang yang paling mengetahui tentang taurat dari semua manusia, dia mengatakan,”Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan taurat!” mereka berkata,”Wahai Uzeir, apakah kamu tidak berbohong!” maka Uzeir pun mengikatkan disetiap jari jemarinya sebuah pena dan menuliskan dengan seluruh jari-jemarinya dan ia menuliskan taurat seluruhnya.
Ketika para ulama kembali (dari pelarian mereka), mereka pun dikabarkan tentang Uzeir. Maka para ulama itu pun mengeluarkan kitab-kitab taurat yang dahulu pernah dikubur di gunung-gunung. Setelah itu mereka membandingkannya dengan taurat Uzeir dan mereka menadapatkan kesamaan dengannya. Mereka pun berkata,”Sungguh Allah tidaklah memberikan kepadamu hal ini kecuali engkau adalah putra-Nya!” (Tafsir Ath Thabari juz XIV hal 201 – 204)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
www.eramuslim.com
Tuesday, 5 May 2015
Walau Dikabarkan Tanda-tandanya , Kiamat Akan Datang Secara Tiba-tiba
Kata baghatan (tiba-tiba) , di dalam Al Qur’an disebut sebanyak tiga belas kali yang berarti menunjukkan urgensi Kiamat yang datang secara tiba-tiba. Kiamat datang secara tiba-tiba, meskipun terdapat tanda-tanda kecil menengah dan besar yang menandakan akan terjadinya kiamat. Tanda-tanda tersebut telah terbukti sepanjang sejarah Islam, sejak Rasulullah SAW diutus.
Kiamat tidak akan datang pada saat ini, tetapi akan datang setelah generasi sekarang. Dan tanda-tanda kiamat yang paling besar akan datang sebelum kiamat terjadi . jika demikian, bagaimana mungkin kiamat datang secara tiba-tiba? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kiamat terjadi secara tiba-tiba tidak berarti menghilangkan tanda-tanda kiamat. Dengan demikian, manusia mengetahui bahwa kiamat itu pasti terjadi, tidak mungkin mundur jika waktunya telah tiba. Rasulullah SAW sebagai penutup nabi dan rasul, diutus pada waktu kiamat sudah dekat sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits bahwa beliau mengisyaratkan dengan telunjuk dan jari tengahnya yang sangat dekat.
Meskipun tanda-tanda kiamat telah diketahui , hingga kini kami yakin bahwa kiamat akan datang secara mendadak . Kami tidak mengetahui kapan, tahun berapa, bulan apa, hari apa , jam berapa dan menit ke berapa kiamat terjadi. Kiamat merupakan saat berakhirnya keberadaan dunia karena pada saat itu Allah mengizinkan Malalikat Israfil meniup sangkakala.
Kedua, kiamat hanya menimpa orang-orang yang jahat dan buruk perangainya karena Allah telah meniupkan angin sejuk dari Syam, yang mencabut nyawa semua manusia yang miliki iman hingga jika ia mendaki bukit pun, niscaya nyawanya akan dicabut oleh angin sejuk tersebut.
Diriwayatkan dari An Nuwas bin sama’an r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Ketika keberadaan masyarakat seperti itu, tiba-tiba Allah mengutus angin sejuk yang bertugas mencabut naywa orang beriman hingga yang tersisa hanya orang-orang jahat. Mereka berbuat zina secara terang-terangan, sama dengan hewan. Merekalah yang mengalami kiamat (HR Muslim)
Allah berfirman :




Apa maksud sabda Nabi Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “..hingga yang tersisa hanya orang-orang jahat .Mereka berbuat zina terang-terangan , sama dengan hewan. Merekalah yang mengalami kiamat”
Yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah laki-laki yang berhubungan badan dengan wanita yang bukan istrinya di hadapan khalayak ramai, sama persis dengan keledai dan mereka tidak risih dengan hal tersebut.
Diriwayatkan dari Mirdas Al Aslami r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Orang-orang saleh telah meninggal dunia dan tinggalah orang-orang yang jahat , sama seperti gandum atau kurma sisa . Mereka tidak mempedulikan Allah sama sekali (Hr Imam Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan “ Orang-orang rendahan sama dengan gandum yang buruk.”
Orang-orang yang mengalami hari kiamat secara tiba-tiba , tidak dapat menghindar karena mereka tidak mengerti sedikitpun tentang hari kiamat. Sebagian mereka telah mendengar tentang hari Kiamat tetapi tidak meyakini dengan terjadinya hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang jahat, kufur dan lacur. Mereka akan mengalami hari kiamat, sedangkan mereka dalam kesesatan yang nyata.
Sementara itu orang-orang yang berada pada masa Nabi Isa a.s menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah , seperti adanya Al Mahdi, turunnya Nabi Isa, munculnya dajjal, seta Yakjuj dan Makjuj. Kelompok yang sama dengan nabi Isa telah diselamatkan Allah dari api neraka karena ketaqwaan, keimanan dan budi pekerti mereka. Orang-orang yang menyaksikan tanda-tanda besar kiamat itu mengetahui bahwa hari kiamat makin dekat, tinggal dua jengkal, bahkan lebih dekat dari itu. Namun, mereka tidak mengetahui secara pasti kapan hari kiamat akan tiba, meskipun mereka mengetahui secara pasti kapan hari kiamat akan tiba, meskipun mereka mengetahi tanda-tandanya.
Itu merupakan rahasia Allah bagi semua makhlukNya, termasuk orang yang menyaksikan tanda kiamat yang paling benar sekalipun. Sedang orang yang mengalami kiamat secara tiba-tiba , tidak dapat menghindarinya karena mereka tidak mengerti sedikitpun tentang tanda-tanda kiamat. Bagaimana mungkin mereka akan mengerti tanda-tanda , sementara mereka tidak mempedulikan , sebagaimana dijelaskan oleh Rasul dalam hadis?
Mahir Ash Shufiy
www.eramuslim.com
Wednesday, 25 March 2015
Yakinlah Allah Sebagai Saksi Segala Sesuatu
Seandainya
saat ini kita sedang duduk di kursi pengadilan, berhadapan dengan
seorang hakim yang sedang mengadili kita atas kesalahan yang telah kita
lakukan sebelumnya, disertai saksi yang siap menjawab
pertanyaan-pertanyaan, maka mungkin kita pun akan bisa membayangkan
betapa menyesal dan malunya kita saat itu. Atau, mungkin saja ada di
antara kita yang justru merasa seperti tak bersalah sama sekali, hingga
bahkan tanpa ragu untuk berbohong ataupun sampai membayar saksi untuk
ikut berbohong juga, hanya demi sebuah keselamatan yang sementara. Tapi
memang demikianlah kenyataan pengadilan manusia di dunia ini, di mana
kita bisa berbohong untuk menghindari hukuman, dan bahkan sang hakim
sendiri pun juga terkadang bisa salah dalam memberikan keputusannya
meskipun kita telah berusaha untuk mengatakan kebenaran.
Namun, kelak di dalam pengadilan yang sesungguhnya pada hari yang sangat berat dan panjang, ketika Sang Maha Hakim justru sekaligus menjadi Saksi, yang mana telah menyaksikan sendiri segala perbuatan kita selama di dunia, maka ketika itulah kita tak mungkin bisa menghindar. Kita tentu tidak mungkin menutup-nutupi sesuatu dari Saksi yang justru telah melihat sendiri tingkah laku kita. Saat itu tiada lagi yang akan bisa kita sembunyikan. Dan ketika itu, amal kebaikan orang-orang yang ingkar dan enggan beriman akan diperlihatkan tanpa pahala apapun, melainkan telah cukup bagi mereka pahala di dunia saja, dan sisanya adalah pertanggungjawaban atas keingkaran dan amal kejahatan mereka. Sedangkan orang-orang yang beriman, akan ada yang amal baiknya diterima dan ada yang tidak, ada yang amal buruknya diampuni dan ada yang dibalas dengan hukuman. Dan semua itu akan menyesuaikan dengan amal perbuatan dan niat masing-masing selama di dunia ini. Sang Maha Hakim akan mengadili dengan sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun meski hanya setitik maksiat di dalam hati kita.
Pada hari yang berat tersebut, semua dari kita akan dikumpulkan setelah dibangkitkan dari kematian, lalu masing-masing dipanggil untuk diberi sebuah kitab catatan yang menceritakan dengan sangat terperinci segala amal perbuatannya selama di dunia ini. Semuanya akan diperlihatkan dengan sangat jelas di dalam kitab catatan tersebut. Di dalam al-Qur’an disebutkan ayat-ayat tentang itu semua, di antaranya adalah yang artinya berikut ini:
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan (singkirkan secara perlahan) gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu menjadi datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan satu orang pun dari mereka.” (Al-Kahfi: 47)
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris, (dan dikatakan:) sesungguhnya kalian datang kepada Kami sebagaimana Kami menciptakan kalian pada kali yang pertama; bahkan kalian mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian waktu (untuk memenuhi) perjanjian.” (Al-Kahfi: 48)
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis di dalamnya). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Al-Kahfi: 49)
Juga dalam surat lainnya yang artinya berikut ini:
“Katakanlah: ‘Allah-lah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tiada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (Al-Jaatsiyah: 26)
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari terjadinya kebangkitan, akan merugilah pada hari itu orang-orang yang mengerjakan kebatilan.” (Al-Jaatsiyah: 27)
“Dan (pada hari itu) kamu melihat tiap-tiap ummat berlutut. Tiap-tiap ummat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. (Lalu dikatakan:) ‘Pada hari ini kalian diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan (sebelumnya).’” (Al-Jaatsiyah: 28)
“(Allah berfirman): ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan tentang kalian dengan benar. Sesungguhnya Kami telah memerintahkan pencatatan atas apa yang telah kalian kerjakan.’” (Al-Jaatsiyah: 29)
Dan juga yang artinya berikut ini:
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat); dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya; dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)?”; pada hari itu bumi menceritakan beritanya; bahwa sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya; Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya (bangkit dari kematiannya) dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka; Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya; Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya pula.” (Al-Zalzalah: 1-8)
Dan di sana masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang menggambarkan tentang hari yang sangat berat tersebut. Dan ketika itulah penyesalan yang mendalam akan dialami oleh orang-orang kafir non-Muslim dan orang-orang yang tak pernah mempedulikan urusan kehidupan setelah mati tersebut, di mana amal kebaikan yang telah diusahakannya selama di dunia ternyata tidak membuahkan pahala apapun di akhirat, dan mereka bahkan sangat berharap untuk menjadi debu atau tanah yang tak perlu merasakan nikmat apapun selama di dunia. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu (ternyata) dia tidak mendapati sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nuur: 39)
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan; Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Huud: 15-16)
“Dan Kami hadapi segala amal (kebaikan) yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan (selama di dunia), lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqaan: 23)
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya; Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.’” (An-Nabaa’: 39-40)
Demikianlah Allah SWT memberitakan tentang kehidupan yang nyata setelah mati. Kesengsaraan yang kita alami di dunia ini ternyata tak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat kelak. Kebahagiaan pun juga demikian; semuanya tak akan bertahan lama dan pasti akan berakhir. Ketika kita telah dibangkitkan dari kematian kelak, maka seakan-akan waktu hidup kita selama di dunia ini hanyalah seperti waktu sore atau pagi hari saja. Dan apalah artinya sebuah waktu sore ataupun pagi yang hanya tak sampai sehari penuh atau hanya beberapa jam saja dibandingkan dengan ribuan tahun umur dunia dari awal diciptakannya hingga tiba hari kiamat nanti. Tentu akan terbayang betapa pendek dan tak berartinya dunia ini. Dan demikianlah mungkin kurang lebih perumpamaan masa hidup di dunia dibandingkan dengan masa hidup di akhirat kelak. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar) di waktu sore atau pagi hari (saja).” (An-Naazi’aat: 46)
Dan pada dasarnya, menumbuhkan rasa takut dan cemas terhadap hari yang sangat berat tersebut bukan dimaksudkan agar kita meninggalkan segala urusan duniawi, melainkan justru agar kita lebih berhati-hati dalam segala urusan tersebut dan agar justru semakin giat mengejar amal kebaikan demi akibat yang lebih kekal nantinya. Mengenal hari yang besar tersebut tidak harus menjadikan kita menghina dan mencela dunia, karena sebenarnya dunia ini pun baru akan menjadi hina dan tercela jika memang hanya digunakan untuk bersenang-senang belaka atau bahkan untuk menanam keburukan dan kejahatan. Dan dia justru akan menjadi ladang yang baik jika memang ditanami kebaikan yang didasari iman dan rasa takut kepada Allah SWT, insyaa’Allaah.
Dan dengan pemahaman yang demikian itu, maka kita pun akan dapat semakin bersemangat dalam menjalankan peran masing-masing. Apapun peran kita, selama bukan untuk maksiat, melanggar syari’at, ataupun berbuat kerusakan di muka bumi ini, insyaa’Allaah tiada yang salah ataupun perlu dipermasalahkan. Bahkan, kita justru dilarang meninggalkan beragam peran yang saling melengkapi tersebut. Kita sebagai ummat Islam diharuskan menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan, sesuai kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Mengenal kehidupan setelah mati bukan justru agar kita meninggalkan ilmu-ilmu duniawi, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, geografi, dan semacamnya, melainkan justru agar kita lebih meningkatkan ilmu-ilmu tersebut dan mengarahkannya sesuai rambu-rambu Islam, agar iman kita justru semakin bertambah dengan mendalami ayat-ayat Allah SWT yang tersebar di alam semesta ini.
Mengenal kedahsyatan akhirat tidak harus berarti memisahkan antara perkara agama (Islam) dengan perkara dunia, hingga seakan-akan yang kita sebut agama (Islam) itu pasti harus menjauh dari dunia. Padahal, justru agama (Islam) itulah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur urusan dunia, demi keselamatan manusia di akhirat kelak. Selama ini kita cenderung meyakini bahwa ummat Islam haruslah dipisahkan dari perkembangan sarana dunia seperti teknologi, media, ataupun kemajuan-kemajuan lainnya, yang mungkin itu semua adalah karena kita menyetujui istilah-istilah yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam sendiri, seperti istilah pembedaan antara Islam dan Barat misalnya, yang mana dengan menerima istilah tersebut sebagai kenyataan, maka kita pun akan lantas menjaga jarak dan bahkan menjauhi Barat yang konon adalah tempat bagi para penguasa dunia. Padahal, Timur ataupun Barat, semuanya hanyalah milik Allah SWT, dan bukan milik non-Muslim. Kita mungkin sering ketakutan sendiri dengan istilah ‘Islam versus Barat’ yang dibuat-buat oleh mereka, padahal bisa jadi itu akan justru membatasi jangkauan dakwah agama Islam itu sendiri, dan padahal istilah yang benar adalah ‘Islam versus kekafiran’, dan bukan ‘Islam versus Barat’ tersebut. Kita justru seharusnya mendekati Barat agar dapat menyerukan Islam di sana, karena Barat adalah bumi Allah SWT juga. Kita tentu juga akan justru bergembira ketika semakin banyak ummat manusia di Barat yang turut bergabung dengan kita dalam agama yang lurus ini, agar kerusakan-kerusakan aqidah dan syari’at yang telah diperbuat oleh non-Muslim di sana dapat diluruskan.
Adapun penyerupaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam, maka itu adalah penyerupaan dengan sikap orang-orang kafir, bukan dengan Barat. Karena di Barat maupun di Timur, pasti ada orang-orang yang ingkar dan kafir. Di Barat juga ada orang-orang yang beriman, sebagaimana di Timur juga ada orang-orang yang kafir. Jadi, Islam tidak seharusnya dipisah-pisah berdasarkan arah, tempat, ataupun ruang, melainkan yang menjadi pemisah adalah keimanan dan keingkaran. Bumi ini dan segala arahnya hanyalah milik Allah SWT. Teknologi memang lebih banyak berkembang di Barat, namun teknologi bukan hanya milik orang-orang di Barat, melainkan dia adalah anugerah dari Allah SWT yang diperuntukkan bagi ummat manusia, yang seharusnya juga dikuasai oleh sebagian ummat Islam agar dapat dipergunakan ke arah yang lebih sesuai dengan aturan Islam. Media pun juga demikian, jika orang kafir Yahudi menyerang kita dengan media, maka tentu kita pun harus menggunakan media juga untuk melawan mereka.
Islam tidak pernah melarang perkara-perkara dunia yang baik, melainkan yang dilarang adalah membesar-besarkan perkara dunia tersebut hingga kita mengecilkan perkara akhirat yang sebenarnya lebih besar dan lebih berat. Karena itulah, di sana memang harus ada yang sibuk mengembangkan perkara dunia, namun harus ada pula yang tetap fokus dengan urusan agama Islam ini, hingga detil-detilnya. Semuanya saling melengkapi dan mendukung. Dan jika mengembangkan perkara dunia adalah ibarat perang, maka akan tidak semestinya semua orang-orang yang beriman ikut serta dalam peperangan tersebut. Seharusnyalah ada sebagian mereka yang menempuh perjuangan dalam bentuk yang lain berupa belajar agama. Golongan inilah yang akan mempelajari agama secara detil, hingga bahkan masalah ibadah ritual yang tampak sederhana sekalipun, seperti mengalirkan air ke dalam hidung ketika berwudhu, dan seterusnya, karena jika tiada yang mengurusi hal-hal yang seperti itu, mungkin kita juga tidak akan pernah tahu seperti apakah sifat shalat Rasulullah SAW, yang mana tentunya tidak mungkin kita karang sesuka hati. Bahkan dalam hal mempelajari agama pun akan harus ada juga pembagian tugas-tugas; ada yang harus menguasai ilmu warisan dalam Islam, ilmu Tafsir, ilmu Hadits, ilmu bahasa Arab, Fiqih dan seterusnya, di mana semuanya akan saling melengkapi. Dan kita yang hanya mengerti dasar-dasar agama pun akan bisa merujuk kepada para ahlinya untuk permasalahan yang lebih detil. Semuanya akan saling menopang dan membantu.
Intinya adalah agar kita semua tidak lupa dan melupakan tujuan hidup yang sejati, yang bukan selalu tentang pembangunan duniawi dalam bentuk fisik, melainkan justru lebih cenderung tentang pembangunan ruhani yang niscaya akan juga dengan sendirinya memperbaiki sisi fisik manusia. Karena setelah dunia ini akan masih ada hari berat yang panjang dan melelahkan, yang penuh dengan keluhan dan penyesalan yang tak berujung. Maka sangat merugilah kita jika sampai meremehkan hari yang berat tersebut. Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (Islam) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
“Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (Al-Insaan: 27)
Dan dari semua itu, kita pun akan dapat lebih berhati-hati dalam berbuat sesuatu. Kita akan berusaha menghindari perbuatan buruk dan akan lebih bersemangat dalam mengejar kebaikan untuk akhirat. Kita akan menjadi semakin yakin bahwa dunia ini adalah tempat menanam yang hasil panennya akan menyesuaikan dengan apa yang kita tanam. Maka betapa banyaknya keburukan amal yang telah kita tanam di sini. Betapa banyaknya kekurangan diri kita yang tak diketahui oleh orang lain. Kita memang saat ini hanya diharuskan menyembunyikan aib masing-masing dari sesamanya. Tapi kelak pada hari yang berat tersebut, tiada lagi yang bisa disembunyikan dan ditutup-tutupi kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Pada hari itu, ketika catatan amal perbuatan ditampakkan, kita tak akan sempat mengingat orang-orang yang pernah menyakiti kita di dunia. Rakyat yang teraniaya tak akan sempat meneliti kabar para pemimpin yang menganiaya mereka. Bahkan, jika saja dengan memaafkan orang yang menyiksa dan menganiaya kita, kita lantas bisa selamat sepenuhnya ketika itu, niscaya detik ini pun kita akan lebih memilih untuk memaafkan, karena keselamatan di kampung abadi tersebut sangatlah mahal dibandingkan dengan kenikmatan semacam apapun di dunia ini. Semuanya akan sibuk memikirkan keselamatan masing-masing. Semuanya sibuk dengan catatan amal perbuatannya. Kita tak lagi sempat berkeinginan menggunjing, melainkan justru menyesali gunjingan-gunjingan yang telah kita lakukan. Kita juga tak akan sempat berprasangka buruk kepada orang lain, melainkan segala prasangka buruk yang telah menjadi tuduhan akan dimintai pertanggungjawaban bukti yang justru akan menjadi beban yang sangat disesali. Semua berita yang telah kita sebarkan tanpa kebenaran akan justru menjadi bumerang yang mempersulit diri kita sendiri. Segala ucapan yang bermuatan kata-kata mengganggu akan justru menjadi gangguan bagi diri kita sendiri. Ketika kita pernah menuduh saudara-saudara seiman kita sebagai orang-orang yang kafir, seperti menyamakannya dengan orang-orang Kristen, Yahudi, bahkan Dajjal ataupun iblis, padahal tidak demikian kenyataannya, maka ketika itulah tuduhan kita tersebut akan menjadi masalah besar bagi diri kita sendiri.
Memang, di dunia ini kita tampak lebih cenderung sibuk dengan kesalahan-kesalahan orang lain, bahkan menikmati kesibukan semacam itu hingga melupakan kesalahan-kesalahan kita sendiri. Padahal, jika saja setiap orang dari kita bersedia untuk melihat ke dalam hati, lalu menghitung setiap titik debu yang hinggap di situ, pasti kita pun akan tak sempat untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena menghitung debu yang menempel di hati kita sendiri saja juga tak akan ada habisnya. Ini bukan berarti kita harus menghentikan kegiatan saling mengingatkan kesalahan sesama, karena tentu saling menasehati itu sangat diharuskan, namun tentu antara memberi nasehat dengan meneliti aib itu pasti akan berbeda. Yang pertama akan dilandasi dengan semangat memperbaiki, sedangkan yang kedua akan dilandasi semangat negatif yang bahkan bisa jadi tak akan ada ujungnya kecuali hanya kepuasan hati yang manfaatnya sangat sementara dan fana. Nasehat akan dapat membantu mereka yang telah bersalah untuk dapat berbuat baik dan benar, sedangkan meneliti aib biasanya dimaksudkan untuk menghalang-halangi mereka dari memperoleh kebaikan, didasari oleh perasaan negatif kita. Dan hati kita sendiri pun pasti akan bisa membedakan sendiri mana yang nasehat dan mana yang bukan.
Cukuplah Allah SWT sebagai saksi atas segala perbuatan kita selama ini. Dialah pihak ketiga ketika kita hanya berdua, Dialah yang kedua ketika kita hanya sendirian. Dialah yang tak pernah salah dalam menilai. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujaadilah: 7)
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka.” (An-Nisaa’: 108)
“Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (At-Taubah: 78)
“Katakanlah: ‘Jika kalian menyembunyikan apa yang ada di dalam dada (hati) kalian atau kalian menampakkannya, pasti Allah mengetahui. Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Aali ‘Imraan: 29)
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahi kita ingatan akan kedekatan dan kebersamaan-Nya dengan kita, bahwa Dia senantiasa menyaksikan kita. Dan semoga Dia mengampuni kita atas segala kesalahan yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Kita memang terkadang tidak bermaksud berbuat salah dalam suatu sikap dan tindakan, dan tidak juga bermaksud mendzalimi orang lain, namun memang cara menilai manusia itu pasti akan beragam sesuai sudut pandang masing-masing, hingga yang telah kita usahakan benar pun bisa saja tetap salah dalam pandangan orang lain, atau bahkan tiada yang pernah benar sama sekali, hanya karena tertutup sebagian kesalahan kita yang lainnya. Dan itulah keridhaan seluruh manusia yang selamanya akan mustahil dapat berkumpul di satu titik. Maka dari itu, cukuplah Allah SWT sebagai Saksi yang tak pernah salah dalam menghukumi. Apapun amal perbuatan yang kita lakukan, setidaknya kita tidak sampai mendasarinya dengan niat berbuat kerusakan di muka bumi ini. Perkara apakah amal tersebut akan diterima ataukah tertolak, maka itu bukanlah wewenang kita. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang paling kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah, (Dialah) Saksi antara aku dan kalian.’” (Al-An’aam: 19)
“Katakanlah: ‘Cukuplah Allah menjadi Saksi antara aku dan kalian. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.’” (Al-‘Ankabuut: 52)
Dan akhirnya, kita pun sama-sama bukan Tuhan yang mengetahui isi hati orang lain ataupun nasib masa depan mereka. Kita bahkan juga tidak pernah tahu akhir hidup kita sendiri. Maka sepantasnyalah kita tak perlu terlalu berlebihan meresahkan kesalahan orang lain, semenjak kita sendiri pun juga tak pernah terlalu berlebihan meresahkan kesalahan kita sendiri. Kita hanya diperintahkan untuk menyeru sesama manusia untuk kembali kepada kebaikan dan kebenaran dengan nasehat dan cara yang benar, sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, menurut kesanggupan dan keterbatasan masing-masing. Dan tentu kita pun tak ada yang berniat untuk terjerumus ke dalam siksa neraka. Maka dari itu, semoga Allah SWT yang merupakan Saksi Nyata kehidupan kita, senantiasa menunjuki kita hidayah-Nya serta mengampuni segala kesalahan kita, terutama kesalahan yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Dan hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
Ibnu Anwar
www.eramuslim.com
Subscribe to:
Posts (Atom)