Kamis, 02 Mei 2013
oleh: Shalih Hasyim
BERBEDA dengan masyarakat biasa, ia lahir langsung
menjadi rakyat tanpa melewati sejumlah seleksi. Sedangkan menjadi
seorang pemimpin, tidak mudah dan sederhana. Ia diakui menjadi pemimpin
melalui proses yang panjang dan alami (natural). Terlebih dahulu ia
diuji keunggulannya dalam sebuah komunitas yang ia berada di dalamnya.
Amanah kepemimpinan ini telah ditawarkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semuanya tidak
menyanggupinya khawatir mengkhianatinya. Maka manusia siap memikulnya.
Kemudian manusia berlaku zhalim karena miskin iman dan berbuat jahil
karena kurang ilmu.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas
keagamaan, wadzifah diniyyah] kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab (33) : 72).
Memang, tidak sederhana menjadi pemimpin. Disamping mendapatkan SK
langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala , pemimpin juga bertanggungjawab
terhadap yang dipimpinnya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah (2) : 30).
Bahkan, kemampuan kepemimpinan Nabi Adam as setelah dibimbing langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala .
عَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى
الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!." (QS: Al Baqarah (2) : 31).
Jadi,
ada dua dimensi tanggungjawab yang dipikul di atas pundak seorang
pemimpin. Yaitu, mengadakan kontrak vertikal dan kontrak horizontal.
Jika seorang pemimpin khilaf terhadap Allah Subhanahu Wata’ala maka Ia
adalah Maha Pengampun. Sedangkan manusia, pada umumnya pendendam. Jika
terjadi haqqul adami (hak-hak anak Adam) yang dirampas, maka ia
menanggung dosa yang manggantung. Allah Subhanahu Wata’ala tidak
menghapus dosanya sebelum ia menyelesaikan dengan yang dipimpinnya.
Seorang yang lemah dalam kompetensi dan komiteman dalam memikul jabatan pemimpin akan berakhir dengan penyesalan.
Pernah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam mengingatkan kepada
sahabat Abu Dzar Al Ghiffari untuk berambisi menjadi pemimpin, karena
menurut beliau ia adalah seorang yang lemah. Kelemahan itulah yang
menjadi kendala untuk menjalankan roda kepemimpinan.
Setidaknya ada
dua persyaratan pokok yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin. Di
antara dua kode etik komitmen, sebagaimana sifat yang melekat dalam diri
para utusan-Nya, yakni shiddiq (jujur antara perkataan dan perbuatan) dan amanah (dapat dipercaya).
Kemudian dua kode etik kompentensi adalah Tabligh (memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan yang dipimpin) dan Fathonah (cerdas
dan cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya). Dua kode
etik tersebut sudah menggambarkan sosok pemimpin yang ideal.
Keberhasilan dalam memikul amanat kepemimpinan, faktor keberuntungan dan keselamatannya di akhirat kelak.
ماَمِنْ عَشِيْرَةٍ اِلاَّ أَنْ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِياَمَةِ
مَغْلُوْلَةٌ يَدَهُ اِلَى عُنُقِهِ اِماَّ أَطْلَقَهُ عَدْلُهُ أَوْ
أُوْبَقَهُ جُوْرُه
“Tidak ada satu pun penguasa yang menanggung keperluan rakyat
melainkan pada hari keadilannya atau dibinasakan oleh kezhalimannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
اَلْمُقْسِطَوْنَ عَلَى مَناَبِرِ مِنْ نُوْرٍ الذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِيْ حُكْمِهِمْ وَماَ وَلُّوْ
"Para pemimpin yang adil akan tinggal di atas panggung-panggung
yang terbuat dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam
memutuskan perkara dan mengurus ahli-ahlinya serta segala sesuatu yang
diserahkan kepadanya.” (HR. Muslim, Nasai dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Agar sukses melaksanakan kode etik tersebut, seorang pemimpin
dituntut melaksanakan fungsi yang diembannya sebagaimana gelar yang
disematkan pada seorang pemimpin dalam sejarah Islam. Gelar yang
disematkan dalam diri pemimpin adalah Imam, Khalifah, Amir, Ra’in
(khadim), dan Waliyyul Amr. Kelima gelar tersebut sekaligus
menggambarkan fungsi yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin.*
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment