Senin, 06 Mei 2013
Oleh: Dr. Adian Husaini
LAZIMNYA, perempuan biasanya ingin tampil cantik,
dan senang dipuji kecantikannya. Sementara laki-laki lazimnya senang
memandang kecantikan perempuan. Keinginan naluriah itu ada pada
manusia. Rasulullah saw pun memberitahukan, bahwa perempuan dikawini
karena empat hal: kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan juga agamanya.
Nabi memerintahkan untuk mengutamakan faktor agama, jika rumah tangganya
mau selamat. Toh, faktor cantik tidak dilarang untuk dijadikan sebagai
pertimbangan. Sebab, itu memang naluriah laki-laki normal.
Al-Quran juga menjelaskan, salah satu syahwat dunia adalah kecintaan
kepada perempuan, anak-anak, harta perniagaan,emas dan perak, sawah
ladang, dan peternakan. (QS 3:14).
Islam bukanlah agama yang membunuh naluri manusia, sehingga melarang
pemeluknya untuk menikah dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Tapi, Islam juga bukan agama yang memerintahkan
umatnya untuk mengumbar nafsu syahwatnya. Islam adalah agama yang
sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung tinggi prinsip
keadilan.Islam tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan dan
mengatur hawa nafsu, sesuai dengan konsep Sang Pencipta, agar manusia
meraih kebahagiaan (sa’adah); bukan sekedar meraih kepuasan syahwat
jasmaniah.
Seperti telah kita bahas dalam CAP-359, peradaban Barat yang mencengkeram pemikiran manusia modern saat ini, adalah peradaban yang secara ekstrim memuja ‘materi’.
Unsur-unsur fisik dieksploitasi untuk kepuasan syahwat secara
berlebihan. Sementara unsur “jiwa” (nafs) diabaikan, dan diserahkan
kepada kendali syahwat. Peradaban Barat modern adalah peradaban yang
memuja “kekuasaan, kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran” (power, wealth, beauty, popularity).
Dalam posisi seperti inilah, aspek kecantikan perempuan mendapatkan
tempatnya. Para desainer dan juru gambar berusaha keras bagaimana
mengeksploitasi dan mendandani tubuh perempuan agar “memuaskan”,
menarik, dan membangkitkan syahwat laki-laki. Para manajer
eksploitasi syahwat itu tahu persis, bagian-bagian mana dati tubuh
perempuan yang harus dibuka dan bagian mana yang harus ditutup, agar –
kata mereka – tampak indah, cantik, dan menarik.
Dunia industri kapitalis yang tidak peduli halal-haram pun tak lupa
memanfaatkan (mengeksploitasi) tubuh perempuan agar menjadi daya tarik
konsumen, meskipun terkadang, tak ada hubungan antara produk dan tubuh
perempuan. Misal, ditampilkannya perempuan seksi untuk mengiklankan
produk ban dan cat pengkilat mobil. Tentu, perancang iklan itu paham
betul, bahwa tampilnya perempuan cantik dengan pakaian ala kadarnya
bisa membangkitkan minat (syahwat) pembeli.
Mantan Menteri P&K, Dr.Daoed Joesoef memberikan kritik keras
terhadap kontes-kontes kecantikan, dengan menyebutkan bahwa: ”Pemilihan
ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu
penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari
makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari
meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika,
pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi
kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting
primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk
bisa hidup mewah.” (Dikutip dari buku “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Itulah sebenarnya tujuan utama kegiatan kontes kecantikan. Yakni,
eksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan bisnis tertentu. Ironisnya,
kegiatan bisnis ini dikemas dengan jargon-jargon sosial bahkan
pendidikan. Seolah-olah, kontes kecantikan perempuan adalah untuk
mengangkat harkat dan martabat perempuan. Padahal, menurut Daoed
Joesoef, semua itu adalah bohong belaka. Praktik kontes perempuan lebih
merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pakaian yang ala
kadarnya – biasanya berupa bikini dan sejenisnya – disyaratkan untuk
dikenakan pada sesi tertentu agar tubuh kontestan dapat dilihat dan
diukur dengan jelas.
Kata Daoed Joesoef: ”Namun tampil berbaju renang melenggang di
catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi
disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa
dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak
diobral untuk setiap orang… setelah dibersihkan lalu diukur badan
termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual,
tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi
perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Itu pendapat Dr. Daoed Joesoef yang dikenal sebagai salah satu tokoh
sekuler di Indonesia. Jika tokoh sekuler saja berani bersikap tegas,
seyogyanya para tokoh Islam – apalagi yang sedang memegang kendali
kekuasaan – berani bersikap lebih tegas lagi. Substansi dari kontes
kecantikan yang mengumbar dan mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan
adalah pola pikir dan kegiatan yang keliru. Dalam istilah Islam, itu
disebut hal yang batil dan mungkar.
Kata Rasulullah, jika seorang melihat kemungkaran, maka ubahlah
dengan ‘tangan’-nya; jika tidak mampu, dengan lisan (ucapannnya); dan
jika tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hatinya. Tapi, ingkar dengan
hati, tidak rela dan benci terhadap kemungkaran, adalah
selemah-lemahnya iman.
Tentu saja orang bisa melihat pada sisi yang berbeda. Tergantung pada cara pandangnya terhadap realitas (worldview).
Seorang yang berpaham materialisme dan sekulerisme tidak mempersoalkan
masalah moral terhadap kontes semacam ini. Haram-halal, berdosa atau
berpahala, ibadah atau maksiat, bukanlah hal penting bagi kaum
materialis. Bagi mereka yang terpenting adalah kelimpahan materi,
ketenaran, dan puja-pujian terhadap kecantikannya.
Cobalah
renungkan, betapa kasihannya orang yang terjangkit pemikiran semacam
ini. Ia salah. Ia tanpa sadar telah dikendalikan oleh setan untuk
mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu telah dijadikan Tuhan. Orang seperti
ini, sudah tertutup mata, telinga, dan hatinya dari kebenaran. (QS
45:23).
Al-Quran menyebutkan, bahwa orang yang merasa benar dan merasa telah
berbuat baik, padahal amalnya sesat dan salah, adalah manusia yang
paling merugi amalnya. (QS 18:103-104).
Kecantikan bagi seorang perempuan adalah karunia dan sekaligus ujian
Allah bagi si perempuan. Harusnya, kecantikannya digunakan untuk
beribadah dan dakwah. Ironisnya, biasa kita saksikan,
perempuan-perempuan yang terjebak oleh bujuk rayu setan agar
mengeksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk
menggoncang-goncang syahwat lawan jenisnya. Dan itu tentu ada imbalan
yang menggiurkan, berupa kemikmatan hidup duniawi.
Untuk tampil cantik – tepatnya untuk dikatakan cantik – sebagian
perempuan mau melakukan tindakan hina dengan membuka auratnya. Padahal,
jika dirnungkan dengan hati tulus ikhlas, jika jutaan orang sudah
memuji-muji kecantikannya, apakah si perempuan akan bahagia?
Seorang yang menggantungkan hidupnya pada pujian manusia, tidaklah
akan pernah meraih bahagia sejati. Segala puji hanya layak dipanjatkan
kepada Allah. Bukan manusia yang patut dipuji degan melupakan Allah.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Sebab. kecantikan, ketampanan,
ketenaran, kekayaan, kekuasaan, dapat diraih seseorang hanya karena atas
ijin dan karunia Allah. Jika Allah menghendaki, dalam sekejap, semua
kecantikan yang dipuja-puja itu bisa sirna.
Si empunya kecantikan sepatutnya mau berpikir, bahwa tak lama lagi,
kecantikannya akan pudar . Kecantikan yang diumbar dan ‘dijualnya’ akan
sirna. Puji-pujian itu pun akan hilang. Bersamaan dengan itu, muncullah
perempuan-perempuan yang lebih cantik dan lebih menarik dari dia.
Sungguh kasihan, jika seorang menggantungkan kebahagiannya pada pujian
orang. Sebab, itu tak kan diraihnya. Pujian manusia bisa buat puas
sementara waktu. Bukan kebahagiaan yang hakiki yang hanya bisa diraih
oleh orang taqwa.
Martabat perempuan
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 April 2013 menurunkan
laporan utama tentang martabat perempuan dalam pandangan Islam. Dalam
artikelnya, “Teologi Perempuan dalam Islam”, Fahmi Salim – Wasekjen
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) -- mengungkapkan
kisah seorang sahabat perempuan bernama Asma’ binti Yazid yang
mengajukan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah saw. Di zaman “pemaksaan
paham kesetaraan gender” saat ini, aspirasi Asma’ perlu kita renungkan.
Ketika itu, Asma’ mendatangi Rasulullah, saat beliau sedang berkumpul
dengan sejumlah sahabat laki-laki. Berikut aspirasi kepada
Rasulullah: “Demi Allah yang menjadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai
Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh muslimah. Tiada satu pun
diantara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku.
Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu
kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya,
menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengandungi anak-anak
kalian. Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat
berjamaah, shalat jumat, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa
haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji,
umrah atau berjihad, maka kami yang jaga harta kalian, menjahit baju
kalian dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai
kalian dalam semua kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian
dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari
Asma’?”
“Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat.
Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu
bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke
mana pun ia pergi pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut”. Asma’
lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah
diatas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol.22/420).
Aspirasi Asma’ berbeda secara substansial dengan aspirasi kaum pegiat
kesetaraan gender saat ini. Asma’ tidak menuntut kesetaraan secara
nominal; bahwa perempuan dan laki-laki harus sama-sama aktif di ruang
publik untuk kemajuan pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik
anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh tidak dianggap telah
berpartisipasi dalam pembangunan. Yang dituntut oleh Asma’ adalah
kesetaraan substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda.
Tapi,peluang untuk meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya.
Karena itulah, setelah Rasulullah memberitahukan bahwa istri yang
taat dan diridhai suami serta menyertai suaminya, mendapatkan pahala
yang sama dengan pahala suaminya, maka Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’
tidak menuntut peran yang sama dengan laki-laki. Yang dituntut adalah
pahala dari Allah. Sungguh berbeda tuntutan Asma’ dengan aktivis gender
yang tidak menggunakan logika pahala dan ibadah saat merumuskan paham
“kesetaraan gender” sekuler.
Akibat adanya kekeliruan dalam menggunakan tolok ukur “martabat
perempuan” maka pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menetapkan angka
minimal untuk pengurus perempuan dalam partai politik adalah 30 persen.
Peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi Kania dalam artikelnya yang berjudul
“Martabat dan Keterwakilan Perempuan”, mengupas secara tajam kekeliruan
cara pandang UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2
tahun 2011 tentang Partai Politik dalam kaitan dengan martabat
perempuan. Kedua Undang-Undang itu telah memberi mandat kepada partai
politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar
caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu.
“Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang
kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari
peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan,
dalam paham ini, tugas dan peran sebagai Ibu rumah tangga dipandang
sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen.
Apakah mereka berpikir, bahwa dengan ”memaksa” perempuan aktif di ruang
publik dan meninggalkan keluarga, maka laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrim dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam, demi
”kemajuan bangsa”? Sementara suami harus menjaga anak-anak bersama
pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di
luar kota?” tulis Dr. Dinar Kania.
Seorang Muslim pasti memiliki
cara pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang
muslim berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam
mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat
manusia tanpa memandang harta, kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt
telah menegaskan, bahwa” .... Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan
ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan
seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak dan
perbuatan-perbuatan baiknya.
Menyimak kekeliruan dan ketidakberadaban kontes-kontes kecantikan,
kita berharap tidak ada orang Muslim yang ikut-ikutan mendukung berbagai
jenis kontes kecantikan, semisal kontes Miss World. Jadi, kontes Miss World bukanlah
hanya soal baju, tapi soal penetapan dan pemberian penghargaan martabat
perempuan yang keliru. Tidaklah tepat jika ada pemimpin daerah yang
menyetujui acara semacam itu, hanya karena pada kontes kali ini tidak
lagi diperagakan parade bikini. Andaikan kontes Miss World menggunakan
mukena sekali pun, kontes semacam itu tetap keliru, sebab martabat
utama perempuan dinilai berdasarkan unsur utama kecantikan fisiknya.
Kontes semacam ini sudah salah menetapkan martabat perempuan.
Tulisan ini hanyalah sekedar bentuk taushiyah kepada sesama Muslim,
yang masih terlibat dalam acara Miss World dan sejenisnya. Semoga mereka
menyadari kekeliruannya. Cobalah bayangkan, andaikan di Hari Akhir
nanti, penyelenggara acara kontes atau pemimpin daerah yang menyetujui
acara itu, ditanya oleh Allah SWT! Apa jawab mereka? Apakah mereka
merasa telah beramal shalih, karena berhasil mendatangkan devisa? Apa
bedanya dengan meraih penghasilan dari pajak pelacuran dan perjudian?
Rasulullah bersabda: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah
saya lihat sebelumnya: para lelaki yang membawa cambuk di tangannya
seperti ekor sapi yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan
perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan
menyesatkan. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak
akan masuk surga, bahkan tidak mencium baunya.” (HR Muslim).
Sebagai pengemban perjuangan risalah kenabian, tugas kita hanyalah
menyampaikan titah baginda Rasul saw tersebut kepada umat manusia, apa
pun agamanya. Semoga bermanfaat bagi yang mau mengikuti petunjuk-Nya.*
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn
Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio
Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Red: Cholis Akbar
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment