Sunday 26 May 2013

Jeritan Wanita Barat dan Kekagumannya Kepada Wanita Muslimah…


Jeritan wanita barat dan kekagumannya kepada wanita Muslimah…
Joana Francis adalah seorang penulis dan wartawan asal AS. Dalam situs Crescent and the Cross, perempuan yang menganut agama Kristen itu menuliskan ungkapan hatinya tentang kekagumannya pada perempuan-perempuan Muslim di Libanon .
Apa yang ditulis Francis, meski ditujukan pada para Muslimah di Libanon, bisa menjadi cermin dan semangat bagi para Muslimah dimanapun untuk bangga akan identitasnya menjadi seorang perempuan Muslim, apalagi di tengah kehidupan modern dan derasnya pengaruh budaya Barat yang bisa melemahkan keyakinan dan keteguhan seorang Muslimah untuk tetap mengikuti cara-cara hidup yang diajarkan Islam.
Karena di luar sana, banyak kaum perempuan lain yang iri melihat kehidupan dan kepribadian para perempuan Muslim yang masih teguh memegang ajaran-ajaran agamanya. Inilah ungkapan kekaguman Francis sekaligus pesan yang disampaikannya untuk perempuan-perempuan Muslim dalam tulisannya bertajuk
“Kepada Saudariku Para Muslimah”;.
Aku menyaksikan perempuan-perempuan yang membawa bayi atau anak-anak yang mengelilingi mereka. Aku menyaksikan bahwa meski mereka mengenakan pakaian yang sederhana, kecantikan mereka tetap terpancar dan kecantikan itu bukan sekedar kecantikan fisik semata.
Tapi aku tidak bisa memungkiri kekagumanku melihat ketegaran, kecantikan, kesopanan dan yang paling penting kebahagiaan yang tetap terpancar dari wajah kalian.
Kelihatannya aneh, tapi itulah yang terjadi padaku, kalian tetap terlihat lebih bahagia dari kami ( perempuan AS) di sini karena kalian menjalani kehidupan yang alamiah sebagai perempuan. Di Barat, kaum perempuan juga menjalami kehidupan seperti itu sampai era tahun 1960-an, lalu kami juga dibombardir dengan musuh yang sama. Hanya saja, kami tidak dibombardir dengan amunisi, tapi oleh tipu muslihat dan korupsi moral.
Perangkap Setan
Mereka membombardir kami, rakyat Amerika dari Hollywood dan bukan dari jet-jet tempur atau tank-tank buatan Amerika.
Mereka juga ingin membombardir kalian dengan cara yang sama, setelah mereka menghancurkan infrastruktur negara kalian. Aku tidak ingin ini terjadi pada kalian. Kalian akan direndahkan seperti yang kami alami. Kalian dapat menghinda dari bombardir semacam itu jika kalian mau mendengarkan sebagian dari kami yang telah menjadi korban serius dari pengaruh jahat mereka.
Apa yang kalian lihat dan keluar dari Hollywood adalah sebuah paket kebohongan dan penyimpangan realitas.
Hollywood menampilkan seks bebas sebagai sebuah bentuk rekreasi yang tidak berbahaya karena tujuan mereka sebenarnya adalah menghancurkan nilai-nilai moral di masyarakat melalui program-program beracun mereka. Aku mohon kalian untuk tidak minum racun mereka.
Karena begitu kalian mengkonsumsi racun-racun itu, tidak ada obat penawarnya. Kalian mungkin bisa sembuh sebagian, tapi kalian tidak akan pernah menjadi orang yang sama. Jadi, lebih baik kalian menghindarinya sama sekali daripada nanti harus menyembuhkan kerusakan yang diakibatkan oleh racun-racun itu.
Mereka akan menggoda kalian dengan film dan video-video musik yang merangsang, memberi gambaran palsu bahwa kaum perempuan di AS senang, puas dan bangga berpakaian seperti pelacur serta nyaman hidup tanpa keluarga.
Percayalah, sebagian besar dari kami tidak bahagia.
Jutaan kaum perempuan Barat bergantung pada obat-obatan anti-depresi, membenci pekerjaan mereka dan menangis sepanjang malam karena perilaku kaum lelaki yang mengungkapkan cinta, tapi kemudian dengan rakus memanfaatkan mereka lalu pergi begitu saja.
Orang-orang seperti di Hollywood hanya ingin menghancurkan keluarga dan
meyakinkan kaum perempuan agar mau tidak punya banyak anak.
Mereka mempengaruhi dengan cara menampilkan perkawinan sebagai bentuk perbudakan, menjadi seorang ibu adalah sebuah kutukan, menjalani kehidupan yang fitri dan sederhana adalah sesuatu yang usang. Orang-orang seperti itu menginginkan kalian merendahkan diri kalian sendiri dan kehilangan imam. Ibarat ular yang menggoda Adam dan Hawa agar memakan buah terlarang. Mereka tidak menggigit tapi mempengaruhi pikiran kalian.
Aku melihat para Muslimah seperti batu permata yang berharga, emas murni dan mutiara yang tak ternilai harganya. Alkitab juga sebenarnya mengajarkan agar kaum perempuan menjaga kesuciannya, tapi banyak kaum perempuan di Barat yang telah tertipu.
Model pakaian yang dibuat para perancang Barat dibuat untuk mencoba meyakinkan kalian bahwa asset kalian yang paling berharga adalah seksualitas. Tapi gaun dan kerudung yang dikenakan para perempuan Muslim lebih “seksi” daripada model pakaian Barat, karena busana itu menyelubungi kalian sehingga terlihat seperti sebuah “misteri” dan menunjukkan harga diri serta kepercayaan diri para muslimah.
Seksualiatas seorang perempuan harus dijaga dari mata orang-orang yang tidak layak, karena hal itu hanya akan diberikan pada laki-laki yang mencintai dan menghormati perempuan, dan cukup pantas untuk menikah dengan kalian. Dan karena lelaki di kalangan Muslim adalah lelaki yang bersikap jantan, mereka berhak mendapatkan yang terbaik dari kaum perempuannya.
Tidak seperti lelaki kami di Barat, mereka tidak kenal nilai sebuah mutiara yang berharga, mereka lebih memilih kilau berlian imitasi sebagai gantinya dan pada akhirnya bertujuan untuk membuangnya juga.
Modal yang paling berharga dari para muslimah adalah kecantikan batin kalian, keluguan dan segala sesuatu yang membentuk diri kalian. Tapi saya perhatikan banyak juga muslimah yang mencoba mendobrak batas dan berusaha menjadi seperti kaum perempuan di Barat, meski mereka mengenakan kerudung.
Mengapa kalian ingin meniru perempuan-perempuan yang telah menyesal atau akan menyesal, yang telah kehilangan hal-hal paling berharga dalam hidupnya? Tidak ada kompensasi atas kehilangan itu. Perempuan-perempuan Muslim adalah berlian tanpa cacat. Jangan biarkan hal demikian menipu kalian, untuk menjadi berlian imitasi. Karena semua yang kalian lihat di majalah mode dan televisi Barat adalah dusta, perangkap setan, emas palsu.
Kami Butuh Kalian, Wahai Para Muslimah !
Aku akan memberitahukan sebuah rahasia kecil, sekiranya kalian masih penasaran; bahwa seks sebelum menikah sama sekali tidak ada hebatnya.
Kami menyerahkan tubuh kami pada orang kami cintai, percaya bahwa itu adalah cara untuk membuat orang itu mencintai kami dan akan menikah dengan kami, seperti yang sering kalian lihat di televisi
. Tapi sesungguhnya hal itu sangat tidak menyenangkan, karena tidak ada jaminan akan adanya perkawinan atau orang itu akan selalu bersama kita.
Itu adalah sebuah Ironi! Sampah dan hanya akan membuat kita menyesal.
Karena hanya perempuan yang mampu memahami hati perempuan. Sesungguhnya perempuan dimana saja sama, tidak peduli apa latar belakang ras, kebangsaan atau agamanya.
Perasaan seorang perempuan dimana-mana sama. Ingin memiliki sebuah keluarga dan memberikan kenyamanan serta kekuatan pada orang-orang yang mereka cintai.
Tapi kami, perempuan Amerika, sudah tertipu dan percaya bahwa kebahagiaan itu ketika kami memiliki karir dalam pekerjaan, memiliki rumah sendiri dan hidup sendirian, bebas bercinta dengan siapa saja yang disukai.
Sejatinya, itu bukanlah kebebasan, bukan cinta. Hanya dalam sebuah ikatan perkawinan yang bahagialah, hati dan tubuh seorang perempuan merasa aman untuk mencintai.
Dosa tidak akan memberikan kenikmatan, tapi akan selalu menipu kalian. Meski saya sudah memulihkan kehormatan saya, tetap tidak tergantikan seperti kehormatan saya semula.
Kami, perempuan di Barat telah dicuci otak dan masuk dalam pemikiran bahwa kalian, perempuan Muslim adalah kaum perempuan yang tertindas. Padahal kamilah yang benar-benar tertindas, menjadi budak mode yang merendahkan diri kami, terlalu resah dengan berat badan kami, mengemis cinta dari orang-orang yang tidak bersikap dewasa.
Jauh di dalam lubuk hati kami, kami sadar telah tertipu dan diam-diam kami mengagumi para perempuan Muslim meski sebagian dari kami tidak mau mengakuinya. Tolong, jangan memandang rendah kami atau berpikir bahwa kami menyukai semua itu. Karena hal itu tidak sepenuhnya kesalahan kami.
Sebagian besar anak-anak di Barat, hidup tanpa orang tua atau hanya satu punya orang tua saja ketika mereka masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang.
Keuarga-keluarga di Barat banyak yang hancur dan kalian tahu siapa dibalik semua kehancuran ini. Oleh sebab itu, jangan sampai tertipu saudari muslimahku, jangan biarkan budaya semacam itu mempengaruhi kalian.
Tetaplah menjaga kesucian dan kemurnian. Kami kaum perempuan Kristiani perlu melihat bagaimana kehidupan seorang perempuan seharusnya. Kami membutuhkan kalian, para Muslimah, sebagai contoh bagi kehidupan kami, karena kami telah tersesat. Berpegang teguhlah pada kemurnian kalian sebagai Muslimah dan berhati-hatilah !.
sumber :
note seorang sahabat
Ahmad Come- Mahlili Yusup
www.eramuslim.com

Monday 20 May 2013

Bertemu dengan Dajjal


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Salah satu tanda hari kiamat adalah munculnya Dajjal.
Ombak besar tiba-tiba menggulung dengan dahsyatnya. Langit amat suram karena awan mendung menutupinya. Angin bertiup amat kencang hingga para pelaut kewalahan menangani layar kapal mereka. Jika mereka selamat, itu takdir Tuhan. Begitulah mereka hanya bisa pasrah meski terus mencoba bertahan untuk tetap hidup. Mereka berjumlah 30 orang dari Bangsa Arab, tepatnya dari Kabilah Lakhm dan Judzam. Tamim Ad-Dari, nama pemimpin mereka.

Saat sinar mentari menerpa, betapa tak terkira kebahagian yang mereka dapat. Kapal masih utuh meski banyak kayu yang rompal. Layar pun tetap berkibar meski telah banyak robekan. Yang paling membahagiakan, mereka semua selamat. Namun, kebahagiaan itu hanya sekejap ketika mereka menyadari bahwa di sekeliling mereka sejauh mata memandang hanyalah air, air, dan air.

Setelah satu bulan terombang ambing di tengah lautan, betapa girang hati mereka melihat sebuah pulau. Mereka pun segera merapat ke satu-satunya daratan di luasnya samudra biru. Saat senja mulai tenggelam ditelan laut, mereka pun telah mencapai daratan tersebut. Mengejutkan, Tamim dan kawan-kawan disambut binatang mengerikan yang bulunya sangat lebat. Kepala dan ekornya tak jelas karena saking lebatnya bulu yag menutupi seluruh tubuh binatang itu. “Binatang apa kamu ini?” tanya Tamim ketakutan.

Binatang itu pun ternyata mampu berbicara, “Aku adalah al-Jassasah,” jawabnya. Semakin ngerilah Tamim dan kawanannya. Mereka pun berbisik-bisik apa itu al-Jassasah. Belum terjawab pertanyaan itu, binatang tersebut berkata lagi. “Kalian pergilah ke kuil di sana, temuilah seorang pria karena sungguh ia sangat menanti berita dari kalian,” ujar al-Jassasah sembari menunjukkan arah.

Rombongan Tamim pun tak kuasa menolak. Meski bulu kuduk mereka berdiri, mereka tetap melangkahkan kaki menuju kuil yang dimaksud. “Bagaimana jika yang akan kita temui adalah setan?” ujar seorang rombongan. Namun, Tamim tetap menuju kuil itu.

Betapa terkejut mereka, ternyata di dalamnya terdapat seorang laki-laki super besar yang dibelenggu. Kedua tangannya diikat dengan lehernya, lutut dan pergelangan kakinya juga diikat. Bukan ikatan biasa, ikatan itu terbuat dari besi yang sangat kuat, mustahil menghancurkannya, kecuali atas izin Allah. Laki-laki raksasa itu berambut keriting dengan mata kiri buta. Di dahinya tertulis abjad arab “kaf”, “fa”, dan “ra”, atau jika disambung menjadi “kafir”.

“Sungguh betapa celaka kamu, makhluk macam apakah kamu ini?” tanya Tamim. Laki-laki bertubuh sangat besar itu pun menjawab, “Kalian sesungguhnya telah tahu tentang aku maka beritakanlah kepadaku siapa kalian ini?” ujarnya.

“Kami adalah orang-orang Arab, kami menaiki kapal, namun mendapati gelombang luar biasa sehingga kami terdampar di pulaumu ini. Kami pun bertemu Al-Jassasah, lalu hewan itu meminta kami menuju kemari,” kata Tamim secara ringkas.

Pria itu pun kembali bertanya, “Kabarkan kepadaku mengenai pohon-pohon kurma di Baisan!”

Tamim dan rombongan pun bertanya tak mengerti, “Tentang apa kau bertanya pohon di sana?”

Pria terbelenggu itu menjawab, “Tentang pohon kurmanya, apakah masih berbuah?”

Mereka pun menjawab, “Ya.”

Pria itu pun menjawab, “Sungguh sebentar lagi pohon-pohon itu tak akan lagi berbuah. Lalu, kabarkanlah kepadaku tentang Danau Thabariyyah (Tiberia)!”

Mereka pun kembali bertanya, “Tentang apa kau bertanya danau itu?”

Pria buta sebelah itu menjawab, “Apakah danau itu masih berair?”

Tamim dan kawan-kawan menjawab, “Ya, danau itu memiliki banyak air.

Lagi-lagi si pria menjawab tentang masa depan. “Sungguh sebentar lagi danau itu akan kering. Lalu, kabarkanlah kepadaku tentang mata air Zugharl!”

Mereka bertanya lagi rinciannya, “Tentang apa kau bertanya mata air Zugharl?”

Pria besar namun pendek itu menjawab, “Apakah mata air itu masih mengalirkan air? Dan, apakah penduduknya masih bertani dengan memanfaatkan air itu?”

Rombongan Tamim menjawab, “Ya, mata air itu sangat deras dan penduduk bertani dengannya.”

Tiga pertanyaan belum membuat pria itu puas. Rupanya, ia telah terbelenggu ratusan tahun sehingga tak tahu lagi kabar perkembangan zaman. Ia pun melanjutkan pertanyaan meminta kabar dari Tamim dan pengikutnya. “Kabarkan kepadaku tentang nabi yang ummi, apa yang ia lakukan?” tanya pria besar jelek itu.

Mereka pun memahami bahwa yang ditanyakannya adalah perihal Nabi Muhammad yang saat itu tengah diutus. Tamim merupakan seorang Nasrani. Saat itu, ia belum mendapatkan hidayah menuju Islam. Ia pun menjawab, “Ia telah muncul dari Makkah dan tinggal di Yatsrib (Madinah),” ujarnya.

“Apakah orang-orang Arab memeranginya?” tanya laki-laki raksasa tanpa daya dengan tangan kaki terikat kencang.

“Ya,” jawab Tamim dan teman-temannya.

“Apa yang ia (Muhammad) lakukan terhadap orang Arab? Apakah ia telah menang atas mereka dan membuat mereka taat? Apakah itu telah terjadi?” tanya pria “kafir” itu lagi.

“Ya,” ujar mereka.

Pria besar itu pun mengakhiri pertanyaan. Ia kemudian memberikan kabar mengejutkan, “Sungguh baik bagi mereka yang taat kepadanya (Rasulullah). Aku beritakan kepada kalian siapa aku. Aku adalah al-Masih (ad-Dajjal). Sebentar lagi aku akan mendapat izin keluar dan berjalan di muka bumi. Tidak akan kutinggalkan satu negeri pun, kecuali aku lewati dalam waktu 40 malam, kecuali Makkah dan Tha’ibah (Madinah), dua kota itu haram bagiku memasukinya. Setiap kali aku ingin memasuki dua kota itu, malaikat menghadangku dengan pedang terhunus. Mereka menghalangiku masuk ke dua kota itu. Sungguh di setiap celah dua kota tersebut ada para malaikat yang menjaganya,” ujar pria besar yang ternyata Dajjal ini.

Usailah pertemuan rombongan Tamim dengan Dajjal. Mereka tak percaya bertemu dengan pria mengerikan itu. Apalagi, telah banyak berita Rasulullah yang mengabarkan bahwa salah satu tanda hari kiamat, yakni munculnya Dajjal.

Sepulang di tanah Arab, Tamim segera bertemu Rasulullah dan mengisahkan perjalanannya. Ia pun segera menyatakan diri memeluk Islam. Rasulullah sangat gembira mendengar pengalaman Tamim yang luar biasa. Pengalaman itu pun segera dikabarkan Rasulullah. Ia mengumpulkan umatnya di dalam masjid. Rasulullah kemudian mengisahkan perjalanan Tamim.
Redaktur : Heri Ruslan

Bersegera dalam Lima Perkara


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Itt
 Senin, 20 Mei 2013, 18:42 WIB

Allah Swt mengaruniakan hamba-hambaNya berbagai macam nikmat yang tidak akan pernah dapat dihitung. Nikmat-nikmat itu tak hanya bersifat materi, namun juga immateri.
Kategori nikmat dalam bentuk harta (maal), akan habis jika kita tidak pandai dalam pengelolaan rezeki Allah. Dengan kata lain, ada ni’mat dari Allah yang kasat mata, namun bernilai ibadah tiada hingga, yakni semanagat (ghirah) ibadah.

Dalam satu tahun, Allah Swt pula yang menyediakan beberapa bulan khusus, termasuk di dalamnya rajab, yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Selain rajab, Allah juga menjadikan sya’ban, sebagai bulannya Rasulullah (syahru ar-rasuul).

Selain dua bulan tersebut, satu bulan mulia yang jika kita beribadah maka akan dilipatgandakan pahalanya ialah ramadhan. Oleh karenanya, ramadhan disebut-sebut sebagai bulannya umat Nabi Muhammad, sebab di dalamnyass terdapat banyak ganjaran pahala yang Allah berikan, jika kita ikhlas beribadah pada-Nya.

Dalam Qs Ali Imran, Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Qs Ali Imran: 133)

Allah membuka surah Ali Imran ayat 133 ini dengan anjuran untuk ‘bersegera’. Bersegera berarti menyegerakan hal-hal baik untuk segera dilaksanakan—yang dalam konteks di atas ialah menyegerakan diri meraih ampunan untuk memperoleh surgaNya Allah. Tentu saja, bersegera berbeda dengan ‘cepat-cepat’ atau ‘tergesa-gesa’ yang datangnya cenderung dari setan.

Sedangkan yang dimaksud dengan takwa dalam surah di atas, dijawab Allah pada ayat berikutnya, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs Ali Imran: 134-135)

Ada lima kategori yang harus disegerakan dalam konteks ayat di atas, yaitu pertama, menafkahkan harta. Kedua, menahan amarah. Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Keempat, bertobat saat melakukan perbuatan keji. Kelima, bertobat saat menganiaya diri sendiri. Kelima hal tersebut, Allah anjurkan untuk ‘disegerakan’ terlebih dua hal terakhir di atas, yakni ‘tobat’.

Allah sediakan bulan rajab ini sebagai bulanNya, dalam arti bahwa kita selaku hamba-hambaNya yang mungkin, lebih banyak dosa ketimbang pahala, untuk bersegera datang memohon dan mengharap ampunanNya. Bersegera dalam taubat juga mengandung makna bahwa timbul kesadaran penuh bahwa ‘usia adalah rahasia Allah’.

Saat kita memutuskan untuk ‘menunda’ pertobatan, maka yang ada hanyalah penyelesaian, ketika ternyata, Allah ‘selesaikan’ usia hidup di dunia dalam kondisi belum bertaubat. Dengan kata lain, Allah mengajak hamba-hambaNya untuk segera bertaubat di bulan ini, agar ramadhan mendatang, hati ini sudah diliputi kesucian lahir batin.

Selain kesucian lahir maupun batin, orang-orang yang bersegera mengharap ampunannya, maka akan diganjar surga olehnya. Ganjaran ini dipertegas melalui ayat setelahnya, yaitu, “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Qs Ali Imran: 136)
Redaktur : Heri Ruslan

Allah Tak Menyapa


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
Imam An-Nawawi dalam Riyadhus-Shalihin (hal. 616). menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw  berpesan kepada para sahabatnya: “Tsalaatsatun laa yukallimuhumullahu yaumal qiyamah wa laa yuzakkihim wa laa yandzuru ilaihim wa lahum ‘azabun aliim”. (Ada tiga golongan manusia pada Hari Kiamat tidak disapa, tidak disucikan, tidak ditatap dan akan ditimpakan azam pedih). (HR. Muslim).
 
Pertama ; Syaikhun zaanin (orang tua yang berzina). Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina.

Kenapa? Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub ilallah.

Sama halnya dengan seorang tua yang menikah (poligami) lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. (QS. 17:32, 24:2).

Kedua ; Malikun kadzdzaabun (penguasa yang berdusta). Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta (baik kata maupun laku), tapi  lebih benci lagi kepada penguasa pendusta. Kenapa? Karena ia akan merugikan orang banyak (rakyat).

Ia mengambil hak mereka (zhalim) dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kelaparan dan kebodohan.

Kalau orang biasa yang dusta, dampaknya hanya untuk diri dan keluarganya. Allah tidak suka kepada dusta (kemunafikan). (QS. 39:32,29:3,16:116).

Ketiga ; ‘Aailun mustakbirun (orang miskin yang sombong). Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong. Kenapa? Karena tidak ada yang patut disombongkan.

Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti. Meskipun, hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah.

Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri. (QS. 4:36,31:18, 57:23, 29:39,17:37).

Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala (muflis),  karena seluruh pahala ritualnya  terkuras untuk membayar dosa sosialnya.

Bahkan, jika pahala  ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim).

Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan: Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11).

Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah (HR. an-Nasa’i).

Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya. (HR. Jamaah). Ketiga, kalau ibadah ritual cacat,  dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial.

Misalnya melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin.  Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual.

Misalnya, durhaka kepada orang tua dan dzalim kepada tetangga tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an.

Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual.

Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan.
Jika dosa individual, ampunannya hanya berkaitan dengan Sang Khalik. Tapi, dosa sosial tidak terampuni jika orang-orang yang telah dianiaya (al-madzlum) belum memaafkan.

Oleh karena itu, patutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan. Naudzubillahi mindzalik.   Allahu a’lam bish-shawab.



Redaktur : Damanhuri Zuhri

Pesona Wanita


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Bukan kali pertama sketsa politik dan kuasa melibatkan wanita. Pesona wanita sungguh berdaya magnet luar biasa. Ada orang yang sanggup melampaui godaan harta dan takhta, tetapi lumpuh menghadapi bujuk rayu wanita. Boleh jadi banyak pria mampu meretas berbagai masalah, tetapi tidak berkutik di bawah ketiak wanita.

Kecintaan kepada wanita memang merupakan fitrah manusia. “Dijadikan indah untuk manusia kecintaan pada segala yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran: 14).

Sejarah juga mencatat, wanita kerap digunakan sebagai umpan. Inilah yang dilakukan kaum kafir Makkah ketika hendak menghalangi dakwah Nabi Muhammad. Namun, manusia mulia itu tegas menolak seraya berkata, “Demi Allah, andaikan matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, niscaya aku tidak akan berhenti dari dakwah sampai Allah memenangkan agama ini di atas selainnya.”

Kendati begitu, tidak mudah berlepas diri dari pesona kaum Hawa. Itulah yang pernah dirasakan manusia sekaliber Nabi Yusuf. Semata karena pertolongan Allah, Nabi Yusuf dapat selamat dari rayuan Zulaikha, istri Raja Mesir itu. “Sungguh wanita itu telah menginginkan Yusuf, dan Yusuf juga menginginkan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan Yusuf dari kemungkaran dan kekejian. Sungguh Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS Yusuf: 24).

Bahkan, muasal teguran Allah kepada Nabi Dawud adalah karena menikahi Sabigh binti Syaigh, wanita pinangan Uria bin Hannan (QS Shad: 21-26). Tepatlah kenapa Nabi Muhammad mewanti-wanti kita agar senantiasa bersikap ekstrawaspada terhadap wanita.

“Sungguh dunia itu manis dan menghijau. Dan sungguh Allah menjadikanmu sebagai khalifah di dalamnya. Maka Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka takutlah kepada dunia dan wanita. Karena sungguh fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita” (HR Muslim).

Dalam hadis lain juga dinyatakan secara tegas, “Tidak aku tinggalkan pada manusia godaan yang lebih dahsyat bahayanya bagi kaum pria kecuali godaan kaum wanita” (HR Tirmidzi). Dan fakta membuktikan, tidak sedikit orang besar terjatuh dalam kehinaan akibat tidak berdaya menghadapi wanita. Hasrat memiliki harta dan takhta belum dirasakan sempurna tanpa aroma wanita. Berhasil menggenggam ketiganya akan memunculkan kepuasaan tiada tara.

Lihatlah para penggenggam harta dan takhta. Mereka yang mulanya tampak arif dan setia pada keluarga, tiba-tiba terjerembab dalam perkara wanita. Karier yang moncer habis tiada sisa untuk ‘membeli’ wanita yang secara fisik menggoda dan mempesona. Karier Bill Clinton digoyang oleh kedekatannya dengan Monica Lewinsky. Direktur CIA Jendral Petraeus jatuh dari tampuk kuasa gara-gara terlibat perselingkuhan dengan Paula Broadwell, seorang penulis biografi.

Pengalaman negeri ini tidak jauh berbeda. Ironis. Tidak seharusnya wanita menjadi alat komoditi dan eksploitasi. Islam telah mendudukkan wanita dalam posisi yang sangat mulia. Martabatnya sebagai ibu bangsa. Pada pundak wanita, terletak masa depan tunas-tunas bangsa. Kisah perselingkuhan, gratifikasi, dan semacamnya yang melibatkan wanita jelas mencederai martabat ibu bangsa sekaligus bertentangan dengan Islam.

Tidak kalah penting, perlu adanya kesadaran dalam diri wanita. Kehendak menjadi ‘alat umpan’ kerap bermotif ingin meraup dunia tanpa bekerja. Saatnya wanita jangan menghinakan dirinya. Wanita adalah bunga dan perhiasan yang menjadi tempat berlabuh kebahagiaan keluarga. Itulah wanita shalihah. Yaitu wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak berada di tempat (QS An-Nisa: 34).

Redaktur : Heri Ruslan  

Halalkah Pekerjaan Calo atau Makelar?

Selasa, 11 Rajab 1434 H / 21 Mei 2013

Assalamu alaikum Ustadz,          
Para Calo atau makelar banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat, mereka mampu meraup pundi-pundi kekayaan lewat profesi ini. Selama ini, terkesan di masyarakat bahwa calo ketika bekerja hanya mengejar keuntungan pribadi, walau kadang harus berbohong kepada konsumen. Bagaimana sebenarnya Islam memandang pekerjaan ini, halal atau haram?  bagaimana cara menentukan upah bagi mereka? Dan apa saja yang dilarang dalam dunia percaloaan tersebut?
Wa alaikum salam Wr Wb

Pengertian Calo
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Sedangkan makelar adalah perantara perdagangan antara pembeli dan penjual, atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli. Bisa juga diartikan sebagai orang atau badan hukum yang berjual beli sekuritas atau barang untuk orang lain atas dasar komisi.  Dalam bahasa Arab, calo sering disebut dengan simsarah.

Dalil Kebolehannya
Calo dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad ( janji-janji) kalian “ (Qs. al-Maidah : 1)
Pada ayat di atas, Allah  memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan akad –akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan perjanjian seorang pedagang dengan calo.
      Kedua : Hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata  :
كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : ” يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
     “Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa Rasulullahshallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.
     
 Ketiga: Calo adalah pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan calo untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara menjualnya, maka dia membutuhkan calo untuk memasarkan dan menjualkan barangnya.

Cara Menentukan Upah Calo
Para ulama membolehkan seorang calo untuk mengambil upah dari pedagang atau pembeli atau dari keduanya. Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa upah calo diambil dari pedagang, dan ini berdasarkan kebiasaan di pasar pada waktu itu. Berkata Imam Nawawi : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya.”
  
   Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berdasarkan perbedaan mereka dalam memandang status upah calo ini apakah termasuk dalam akad Ju’alah (semacam sayembara berhadiah), atau akad ijarah (sewa-menyewa) dalam hal ini menyewa tenaga calo, atau akad wakalah(perwakilan)?
Pendapat Pertama : Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,-  dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.
Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya.  Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)

Pendapat Kedua : Madzhab Hanabilah membolehkan seseorang memberikan upah kepada calo dalam bentuk prosentase. Berkata al-Bahuti di dalam Kasyaf al-Qina’ (11/ 382) :
“ Kalau seseorang memberikan hamba sahayanya atau kendaraannya  kepada orang yang bisa mempekerjakannya dengan imbalan upah dari sebagian hasilnya, maka dibolehkan. Begitu juga dibolehkan  jika dia memberikan baju kepada yang bisa menjahitnya, atau  kain kepada yang bisa menenunnya dengan imbalan upah dari sebagian keuntungannya.”
Mereka berdalil dengan hadist Amru bin ‘Auf bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalambersabda :
  الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan berkata Tirmidzi : Hadist ini hasan shohih)
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas : “Tidak mengapa seseorang berkata kepada temannya,: “Jual-lah baju ini, bila kamu bisa menjual dengan harga lebih dari sekian dan sekian, maka itu untukmu”
Begitu juga dikuatkan dengan perkataan Ibnu Sirrin : “Bila seseorang berkata kepada temannya : “Jual-lah barang ini dengan harga sekian, jika ada keuntungan, maka itu untukmu atau untuk kita berdua, maka hal itu dibolehkan.”

Calo Yang Dilarang
Adapun calo yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut :

Pertama : Jika dia berbuat sewenang-wenang kepada konsumen dengan cara menindas, mengancam, dan mengintimidasi. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian calo tanah yang akan dibebaskan dan ticket bis pada musim lebaran.

Kedua : Berbuat curang dan tidak jujur, umpamanya dengan tidak memberikan informasi yang sesungguhnya baik kepada penjual maupun pembeli yang menggunakan jasanya.

Ketiga : Calo yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari harga aslinya, seperti  yang dilakukan oleh calo-calo ticket kereta api pada musim liburan dan lebaran.

Keempat : Pegawai negeri maupun swasta yang sudah mendapatkan gaji tetap dari kantornya, kemudian mendapatkan tugas melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk suatu proyek   dan mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut haram dan termasuk uang grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum positif di Indonesia.

Kelima : Para pengusaha kota yang mendatangi pedagang dan petani di desa-desa dan membeli barang mereka dengan harga murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka terhadap harga-harga di kota, dan kadang disertai dengan tekanan dan pemberian informasi yang menyesatkan.  Wallahu A’lam
DR Ahmad Zain
www.eramuslim.com

Bolehkah Wanita Bepergian Tanpa Muhrim? dan Apa Batasannya Menurut Islam

Selasa, 11 Rajab 1434 H / 21 Mei 2013

Assalamu Alaikum Ustadz,
Baru baru ini saya membaca fatwa dari  internet mengenai fatwa Saudi mengenai dilarangnya wanita bepergian tanpa didampingi muhrimnya…apakah benar begitu Ustadz? dan menurut Islam bagaimana yang benarnya, apalagi saya seorang wanita karir yang sering bepergian ke luar negeri…
Mohon bantuan jawabannya…
Tsara

Wa alaikum salam Wr Wb,

Pengertian Safar
Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian  karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. (Ibnu mandhur, Lisan al-Arab).
Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).
Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:
“Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (al-Qur’an dan sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.“

Pengertian Mahram
Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar as-Shihah: 1/ 56)
Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.“

Bentuk-bentuk Safar Wanita
Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.

Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahim.
Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“
Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.

Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua.
Jika seorang wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama   berselisih pendapat tentang status hukumnya:

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadist yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadist Ibnu Abbas: radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabdas :
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram.  Dan mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Dhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau. (al-Majmu’: 8/382, al-Furu’: 3/ 177)
Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki :
“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)
Dalil mereka sebagai berikut :

Dalil Pertama: Hadist Adi bin Hatim, bahwa Nabi shollallahu alahi wassalam bersabda :
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah”.  (HR. Bukhari)
Hadit di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan  kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari : 16 /148)

Dalil Kedua: Atsar Ibnu Umar.
Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla)

Dalil Ketiga: Atsar Aisyah.
“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)

Dalil Keempat: Kaidah Fiqhiyah.
“ Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahaan ) ”
Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman.

Dalil Kelima: Kaidah Fiqhiyah
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.“
Berdasarkan kaidah di atassebagian ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrozaq Afifi(Fatawa wa Rasail: 1/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang.  Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.

Dalil Keenam: Kaidah Fiqhiyah.
“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan ( kemaksiatan ), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan “
Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya, maka hal itu menjadi dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan jalan aman.
Pendapat Yang Kuat:
            Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar di atas. Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
Adapun hadist Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H, dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.
Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar wajib, tentunya dalam safar mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi.  Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang dibutuhkan sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial disaat tidak ada pilihan lain. Wallahu A’lam.
Dr. Ahmad Zain , MA
www.eramuslim.com

Sunday 19 May 2013

Misteri Haikal Sulaiman

Senin, 10 Rajab 1434 H / 20 Mei 2013
Assalamu’alaikum Wr. Wb. pak usatdz…

Pak saya mau tanya tentang mitos kuil Sulaiman, apakah lokasinya berada pada lokasi yang sama dengan Masjidil Aqso skr ini?
Mengapa kira2 Zionist Israel begitu “ngotot” utk mempercayai bahwa di lokasi Masjidil Aqsa sekarang ini memang benar benar lokasi kuil Sulaiman dan juga mereka ingin menghancurkannya? Untuk apa?
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Rhine yang dimuliakan Allah swt
Mungkin yang anda maksudkan dengan kuil Sulaiman adalah Haekal Sulaiman.
Tentang Haekal ini telah saya singgung dalam pembahasan sebelumnya yang berjudul  Tabut Yahudi yang menurut Ibnu Khaldun bahwa di situlah disimpan Tabut Yahudi hingga waktu yang hanya Allah saja yang mengetahui.
Pada abad 17 SM orang-orang Bani Israel ditimpa kelaparan dan kekeringan sehingga mereka bersama dengan Ya’qub berhijrah dari Palestina ke Mesir menemui Yusuf as yang saat itu menjadi mentri di pemerintahan Fir’aun.
Pada abad 14 – 13 SM Allah swt mengutus Musa as kepada mereka dan sedikit dari mereka yang tidak mengimaninya dan di sinilah dimulai agama Yahudi sehingga menjadikan mereka bertentangan dengan Fir’aun dan kaumnya. Peretentangan itu mejadikan orang-orang Bani Israel keluar dari Mesir, sebagaimana firman Allah swt :
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم بَلاء مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ ﴿٤٩﴾
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ ﴿٥٠﴾
Artinya : “Dan (Ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), ketika kami belah laut untukmu, lalu kami selamatkan kamu dan kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al Baqoroh : 49 – 50)
Hijrah tersebut terjadi pada abad 1280 SM pada masa pemerintahan Ramses II. Setelah itu mereka (orang-orang Yahudi) berada dibawah pimpinan Yusa’ yang menggantikan Musa as dan menetap di Kan’an (Palestina)

Daud as berhasil mendirikan pemerintahannya di Yerusalem pada tahun 990 SM dan disinilah Daud mendapatkan perintah untuk membangun Baitul Maqdis akan tetapi dikarenakan kesibukannya berperang maka itu semua tidak sempat dilakukannya sehingga Allah swt mewahyukan kepadanya agar memerintahkan anaknya yang bernama Sulaiman as untuk membangun Baitul Maqdis dan ditengah pembangunannya itu beliau as membangun Haekal sebagai tempat peribadahan lengkap dengan altar penyembelihan kurbannya.
Setelah Sulaiman as wafat pada tahun 922 SM, pemerintahan Daud terpecah menjadi dua : kerajaan Isarel di sebelah utara dan kerajaan Yahudza di sebelah selatan. Diantara keduany sering terlibat peperangan panjang hingga masa mereka dihancurkan oleh Bukhtanshar Raja Babilonia pada tahun 587 SM. Pada penyerangan ini terjadi penghancuran terhadap Yerusalem termasuk terhadap Haekal Sulaiman.
Mereka berhasil menawan dan membawa banyak orang-orang Yahudi ke Babilonia dan menetap di sana selama 50 tahun yang dikenal dalam sejarah Yahudi dengan Para Tawanan Orang-orang Babilonia.
Ketika Babilonia berhasil ditaklukan oleh Kirusy Raja Parsia pada tahun 538 SM maka para tawanan tersebut dibebaskan dan dikembalikan ke Palestina akan tetapi mereka tidak memiliki Negara namun tetap berada dibawah kekuasaan Parsia.
Didalam Majallah at Tarikh al Arabi disebutkan bahwa setelah orang-orang Bani Israel dipulangkan kembali ke kampung halamannya di Palestina maka mereka membangun kembali tempat peribadahan mereka yang telah dihancurka oleh Bukhtanshar.

Ketika gemintang Parsia telah redup maka kekuasaan mereka pun jatuh ketangan Aleksander Al Maqduni sehingga orang-orang Yahudi menampakkan loayalitas, ketundukan dan penyambutan mereka kepada Aleksander al Maqduni tatkala menguasai Yerusalem tahun 332 SM. Dan sejak saati itu mereka berada dibawah kekuasaan Yunani.

Setelah Aleksander al Maqduni wafat maka kekuasaannya terpecah diantara mereka, Mesir berada di tangan Ptolomeus sedangkan Negara-negara utara diserahkan ketangan Selecus. Namun pada tahun 199 SM terjadi peperangan antara Ptolomeus dan Selecus yang kemudian dimenangkan Ptolomeus..
Pada tahun 198 SM Yerusalem jatuh ketangan Raja Suria yang bernama Antiochus dan sejak saat itu terjadi berbagai fitnah, pemberontakan dan peperangan berdarah di Yeusalem hingga masa kedatangan pemimpin Romawi yang bernama Pompy tahun 63 SM yang kemudian berhasil menguasai Yerusalem.
Sejak saat itu Yerusalem berada ditangan kekuasaan orang-orang Romawi dan menjadikannya sebagai Negara Romawi. Pada saat inilah Isa bin Maryam dilahirkan di kota Betlehem di akhir pemerintahan Herodes pada tahun 37 – 40 M.

Dan sejak saat itu Yerusalem menjadi tempat yang memberikan kabar gembira tentang da’wah tauhid dan menjadi kota suci bagi orang-orang Nasrani.
Ketika orang-orang Yahudi melakukan pembangkangan dan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi di Yerusalem maka Penguasa Romawi, Fasbasyan mengutus anaknya yang bernama Titus untuk menghentikan pemberontakan tersebut. Titus pun melakukan penyerangan terhadap Yerusalem pada tahun 70 M dan berhasil membunuh banyak orang-orang Yahudi sehingga menyisakan Yerusalem menjadi kota yang hancur lebur dan porak poranda untuk waktu yang sangat panjang bahkan tidak dihuni kecuali oleh para penjaga dari para tentara Romawi.

Kemudian orang-orang Yahudi mengadakan pemberontakan untuk yang kedua kalinya di Yerusalem antara tahun 132 M dan 135 M yang dikenal dengan “Pemberontakan Barkukhi” akan tetapi penguasa Romawi berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan menghapus Eksistensi Yerusalem dan membangun diatasmya sebuah kota baru yang dinamakan dengan Aeilia Capitolina. Bahkan mereka tidak mengidzinkan orang-orang Yahudi untuk menginjakkan kakinya di mota Aeilia sejak tahun 135 M.
Ketika Pemerintahan Romawi terpecah menjadi dua dan Palestina masuk dalam kekuasaan Romawi Timur (Bizantyum) maka Aeilia berada dibawah kekuasaan Bizantyum sejak abad 4 M hingga tahun 614 M tatkala dikuasai oleh Sasani (Kisra Eberwiz) hingga kembali dikuasai oleh Penguasa Bizantyum yang bernama Heraklius tahun 627 M.

Kekuasaan Heraklius ini tidaklah berlangsung lama sehingga kaum muslimin berhasil membebaskan kota Aeilia pada tahun 15 H / 636 M pada zaman Umar bin Khottob dan sejak saat itu kaum muslimin memperbolehkan orang-orang Yahudi untuk kembali ke al Quds. (Majallah at Tarikh al Arabi juz I hal 5114 – 5126)

Dari penuturan diatas tampaklah bahwa Haekal tersebut didirikan pada masa Sulaiman as. Dan setelah sempurna pembangunan Haekal tersebut oleh Sulaiman as, ia mengalami kehancuran sebanyak tiga kali. yaitu ketika penyerbuan pasukan Bukhtanshar Raja Babilonia pada tahun 587 SM lalu berhasil dibangun kembali oleh orang-orang Yahudi setelah mereka dibebaskan oleh Kirusy Raja Parsia.
Haekal kembali dihancurkan untuk kedua kalinya oleh Antiochus Raja Suria tatkala upayanya memadamkan fitnah yang dilakukan orang-orang Yahudi pada tahun 198 SM. Lalu kembali direnovasi untuk ketiga kalinya oleh Herodeus pada tahun 40 M.

Lagi-lagi Haekal dihancurkan oleh Titus pemimpin Romawi tatkala menyerang Yerusalem dan menjadikan kota itu hancur lebur bahkan tidak didiami kecuali oleh para penjaganya dari tentara-tentara Romawi.
Adapun tentang letak Haekal itu sendiri, sesungguhnya tidaklah terdapat dalil yang menunjukkan tempat didirikannya bangunan itu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa bangunan itu terletak diluar pekarangan Masjidil Aqsha smentara yang lainnya menyebutkan bahwa tempatnya adalah dibawa Kubah Kuning. Sementara itu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkeyakinan bahwa tempat Haekal Sulaiman itu berada di Puncak al Haekal atau al Haram asy Syarif atau berada di bawah Baitul Maqdis. Karena itulah orang-orang Yahudi sejak beberapa tahun terakhir ini berusaha merobohkan Masjidil Aqsha untuk mencari Haekal Sulaiman dibawahnya. (http://ar.wikipedia.org)

Akan tetapi itu semua hanyalah akal-akalan yang dicari-cari oleh orang-oang Yahudi saja untuk menghancurkan al Quds dengan mengatakan bahwa mereka akan mengembalikan Haekal Sulaiman kepangkuan mereka.

Sebagaimana disebutkan didalam berbagai sejarah kota Yerusalem maka sebetulnya Haekal tersebut sudah betul-betul hancur dan porak poranda tak berbekas saat terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Romawi dibawah pimpinan Titus pada tahun 70 M. sebelum pada akhirnya Yerusalem berhasil dibebaskan oleh kaum muslimin pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khottob pada tahun 15 H / 636 M.
Wallahu A’lam
www.eramuslim.com

Jika Nafas Masih Ada, Tanda Masih Terbuka Kesempatan Bertaubat


Ahad, 12 Mei 2013

وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
[QS: Al-Furqan, 25: 71]
SESUNGGUHNYA tidak ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil telah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, jika manusia ingin melaksanakan syari’at agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya diamalkan.

Masalahnya, ajakan dan perintah yang cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama manusia tidak sempat untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi serius dengan kesibukan tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan perintah itu.

Di sisi lain, agama ini memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah garis yang tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam tidak memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan aturan hidup.

Sering kali ungkapan yang diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada lagi yang menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi mengatakan bahwa saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih banyak yang ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan baru, taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi pertaubatan. Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
Salah dan Dosa

Menurut pandangan Islam, dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفّر عنكم سيّئاتكم وندخلكم مدخلا كريما
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS:An-Nisa’, 4: 31)
Dalam ayat lain disebutkan:
الذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش إلا اللّمم إنّ ربّك واسع المغفرة
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya.” (QS: An-Najm, 53: 32)

Perbuatan dosa, baik besar maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu berdampak negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya kesehatan, akal, dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa persatuan, keguncangan maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan oleh mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan, mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik. Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.

Terdapat sebuah analogi bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk dapat mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Rasulullah Muhammad pernah bersabda “Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” Hadits inilah yang dijadikan landasan untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan, sehingga orang yang berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang membawa kehancuran.
Argumen Itu

Selalu orang bertanya tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang berpikir tentang maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak ada suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang Allah Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan bertaubat sering dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang bermasalah. Mendengar tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin bisa saja mendengar, tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.

Jika nafas masih ada, itu tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang merasa kotor, terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan untuk membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor, berlumur lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur, itu berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang sesungguhnya.
Pertanyaanya, “mengapa harus bertaubat?”.
Adalah awal yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan bahayanya. Kesadaran untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting dalam perubahan seseorang yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid, dalam Hatta Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat, di antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki, penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah, merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram, terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain, kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.

Argumen yang sahih ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah dalam firman Allah:
إنّما التوبة على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم وكان الله عليما حكيما
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’, 4: 17).

Pada ayat di atas, yang dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Saatnya Kembali

Dalam Al-Khathaya fi Nadzril Islam disebutkan bahwa taubat mencakup tiga syarat: (a) meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c) bertekad tidak akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat adalah adanya rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.

Manusia lahir dalam keadaan suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa nafsu yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat, maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda, mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.

Jika panggilan taubat tidak lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja dan dimana saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya instruksi Sang Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).

Upaya untuk kembali ke jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan untuk taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i) bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Di sinilah pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Ta’ala.*/Moh. In’ami, peneliti pada Lembaga Kajian Agama Sosial Budaya & Filsafat "eLKASYF" Kudus


Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Beginilah Seharusnya Seorang Muslim yang Kaya dan Berkuasa dalam Melihat Harta


Jum'at, 12 April 2013


KALAU ada orang berperkara karena rebutan harta itu biasa. Tetapi kisah ini sangat luar biasa. Ada dua orang berperkara soal harta tapi bukan untuk saling rebut, tetapi saling memberikan, karena merasa bukan haknya.
Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan termaktub dalam Kitab Shahih Imam Muslim.

“Ada seseorang membeli ladang dari orang lain. Kemudian orang itu menemukan sebuah pundi-pundi berisi emas dari ladang tersebut. Pembeli itu mengembalikan pundi-pundi itu ke si penjual. Sedang si penjual menolak karena merasa bukan miliknya. Katanya: “Ambillah! Tapi pembeli itupun menolak dengan berkata: ‘Aku hanya membeli ladang. Bukan membeli emas itu.”

Keduanya tetap tak mau menerima harta itu. Karena si penjual pun menyatakan bahwa dia menjual ladang dengan segala isinya. Akhirnya mereka pergi kepada seorang yang sholeh untuk membantu memecahkan persoalan ini.
Hakim yang ditunjuk mereka itu kemudian bertanya pada masing-masing, apakah mereka mempunyai anak. Ternyata ada. Yang satu mempunyai anak laki-laki, sedang yang lain mempunyai anak perempuan. Hakim kemudian berkata: “Kawinkan keduanya. Pakailah pundi itu sebagai biaya untuk menyelenggarakan pernikahan itu.”
Kisah tersebut benar-benar luar biasa. Keduanya tidak mau menerima harta yang bukan haknya, bukan hasil jerih payah mereka. Keduanya justru takut jika itu malah menggoyahkan, mengancam akhlak dan moral, serta mengganggu ketentraman jiwanya, yang merupakan inti dan hakikat kebahagiaan hidup.
Demikianlah seharusnya seorang Muslim melihat harta. Tiak asal dapat, tapi diperhatikan dulu, apakah harta itu hak atau tidak. Sebab jika bukan hak, harta itu malah akan merusak kekayaan sejati kita berupa iman dan ketentraman jiwa. Lihatlah para koruptor, sekalipun uang mereka banyak, tapi mereka tak tenang bahkan kelak akan disiksa karena makan harta yang bukan haknya.
Tauladan Sahabat Nabi yang Kaya

Ada dua sahabat Nabi yang kaya raya, yakni Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Keduanya tidak menjadi sombong karena harta, apalagi serakah untuk terus menambah koleksi hartanya. Malah gelisah, jika harta yang berlebihan itu yang sejatinya amanah Allah tidak dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, keduanya selalu memanfaatkan harta yang dimiliki untuk kepentingan Islam dan kebahagiaan umatnya. Menjadi sesama Muslim agar menjadi orang-orang yang mandiri dan terhormat, sehingga umat Islam menjadi unggul di atas umat-umat yang lain.
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu pernah meringankan kesulitan penduduk Madinah. Saat itu musim kemarau melanda. Kebutuhan air meningkat sementara tidak ada persediaan air lagi. Satu-satunya cara untuk bisa mendapat air adalah dengan membeli sumur dari seorang Yahudi yang kejam.
Melihat situasi tersebut Rasulullah bersabda, “Siapa kiranya yang sudi membantu meringankan beban kaum Muslimin ini?”

Mendengar demikian, spontan Utsman bin Affan membeli sumur itu dari tangan si Yahudi dengan harga yang sangat mahal. Utsman tidak pernah merasa rugi dengan keputusan tersebut. Karena dalam pemahamannya, harta bukan untuk disimpan tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Demikian pula halnya dengan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak pernah tanggung dalam memberikan harta untuk kemaslahatan umat. Pernah ia memberikan 700 ekor unta yang dimilikinya beserta segala muatannya untuk kepentingan umat Islam. Setiap hari Abdurrahman bin Auf memikirkan hartanya jangan sampai ada yang tidak termanfaatkan di jalan Allah.

Jadi, seorang hartawan tidak seharusnya jatuh dalam kenistaan karena menganggap harta yang disimpan lebih membahagiakan daripada dibelanjakan di jalan Allah. Sungguh tercela seorang hartawan yang dalam hidupnya memilih meribakan uang, memonopoli perdagangan, dan mempermainkan harga serta tenaga kaum lemah yang menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi memeras tenaga buruh, hingga mereka tidak dapat menunaikan kewajiban agamanya.

Keteladanan Umar bin Abdul Aziz
Selain orang kaya, penguasa termasuk orang yang memiliki kelapangan harta. Tetapi lain halnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia tak pernah memanfaatkan harta yang bukan haknya untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Suatu hari khalifah meminta pelayannya untuk memanaskan air untuknya, supaya ia bisa berwudhu di hari yang sangat dingin, dengan cepat si pelayan kembali setelah memanaskan airnya, lalu khalifah bertanya, “Di mana kamu panaskan air secepat itu?
Pelayannya pun menjawab, “Aku memanaskannya di dapur umum”. Dapur umum didirikan Umar untuk memenuhi hajat kaum Muslimin yang dibiayai dari Baitul Mal. Khalifah Umar pun memarahi pelayannya atas perbuatannya itu.
Khalifah pun tak menyentuh sedikitpun air panas itu sampai pelayan itu pergi untuk membayar harga dari sekedar menumpang memanaskan air.
Jadi, tidak seharusnya seorang penguasa memanfaatkan jabatannya sebagai alat memperkaya diri dan keluarga. Bergaya hidup mewah, boros dan kikir. Karena bagaimanapun, kewenangan yang dimiliki untuk memanfaatkan harta rakyat sekalipun tidak diperiksa oleh pengadilan, kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala.

Oleh karena itu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Imam Ghazali berpesan agar seorang penguasa atau pejabat negara harus berhati-hati dengan harta yang bersumber dari kas negara yang dikumpulkan dari pajak dan hasil ekspor. Karena hakikatnya harta itu adalah untuk kepentingan rakyat bukan penguasa.
Keutamaan Dermawan dan Tercelanya Kekikiran
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Ketahuilah bahwa jika kamu tidak memiliki harta, maka sikapilah dengna qana’ah. Sedangkan jika kamu memilikinya, maka sikapilah dengan mendahulukan orang lain, dermawan dan tidak pelit.

Kemudian Imam Ghazali mengutip hadits Nabi, “Sifat dermawan adalah salah satu pohon dari pepohonan surga yang dahannya terjuntai hingga ke tanah. Barangsiapa yang mengambil sehelai dahannya, maka dahan itu akan menuntunnya ke surga”.
Artinya, Muslim yang mendapat anugerah harta berlebih semestinya membagikan hartanya untuk kepentingan umat Islam. Bukan malah menyimpan dan terus menerus berusaha menambahnya tanpa peduli terhadap sesama alias kikir atau bakhil.
Siapa yang kikir tentu keberuntungan akan menjauh darinya.

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS: Al Hasyr [59]: 9).
Dan, siapa yang tetap bakhil, kelak akan merasakan siksa yang memberatkan.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS: Ali Imron [3]: 180).
Sifat kikir orang kaya dan penguasa akan berakibat pada kekacauan atau kerusuhan sosial. Rasulullah bersabda, “Waspadalah dari sifat kikir. Sesungguhnya orang-orang sebelummu binasa karenanya. Sifat kikir membuat mereka saling membunuh dan menghalalkan apa yang diharamkan bagi mereka.” (HR. Ahmad).*/Imam Nawawi



Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Bisnis yang Tak Akan Pernah Merugi, Berbisnis dengan Allah


Senin, 22 April 2013


SEBAGAI orang beriman tentu kita tahu dan sadar bahwa diri kita dan apapun yang ada di dunia ini milik Allah. Apalagi Allah telah menegaskan hal ini dalam kitab sucinya:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.  (Al-Baqarah [2]: 284)

Karena itu, sesungguhnya Allah memiliki kuasa penuh atas semua yang dimilikinya, termasuk terhadap diri kita. Apakah Allah mau menghidupkan, mematikan, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberi nikmat atau mengazab; semuanya terserah Dia.

Dengan demikian sesungguhnya manusia sangat tergantung kepada kehendak Allah. Seandainya ada banyak orang hendak membunuh si fulan, tapi kalau Allah berkehendak menghidupkan dia, maka dia akan tetap hidup, sebagaimana Allah telah menyelamatkan dan membiarkan Nabi Ibrahim tetap hidup meskipun dia dihukum bakar oleh rezim Raja Namruz.

Begitu pula sebaliknya, meskipun si fulan dijaga kesehatannya oleh sebuah tim yang terdiri dari puluhan dokter yang sangat ahli, namun kalau Allah berkehendak mematikannya, maka tak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Karena begitu mutlaknya kekuasaan Allah terhadap manusia, maka sepatutnya manusia takluk dan menyerah kepada Allah. Seharusnya dia tunduk dan patuh atas apa saja yang Allah perintahkan kepada-Nya. Kalau ada sepasukan tentara yang menyerah kalah kepada lawannya lalu menjadi tawanannya, maka di bawah todongan senjata, tentara itu akan mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh musuhnya. Begitu pula para budak kerajaan, akan selalu mematuhi apa saja perintah raja, meskipun raja tidak memberikan upah sepeser pun kepada mereka.

Kita sadari, Allah jauh lebih berkuasa daripada raja ataupun musuh tentara itu. Allah tidak hanya dapat mematikan sepasukan tentara manusia, tetapi Dia dapat mematikan semua tentara yang ada di muka bumi secara serentak. Semua itu mudah bagi Allah. Karena itu seharusnya perintah Allah lebih dipatuhi daripada perintah siapapun yang ada di bumi ini.

Menariknya, meskipun kekuasaannya begitu mutlak, meski kita semua adalah ciptaan-Nya dan budak-Nya, namun karena Allah memiliki sifat asy-Syakur  (Maha Balas Jasa) dan  al-Haliim (Maha Penyantun), Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali Dia akan memberikan balas jasa kepada hamba yang Dia perintahkan. Perintah-Nya tidak gratis, tapi ada bayaran-Nya.

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Baqarah [2]: 281)
Yang lebih menarik lagi, bayaran yang Allah tawarkan bukan dalam kerangka kesepakatan kerja majikan-buruh, karena biasanya buruh digaji lebih kecil daripada jerih payahnya. Yang Allah tawarkan dalam al-Qur`an adalah kerangka kesepakatan bisnis, berupa pinjam-meminjam dengan bunga pinjaman yang berlipat ganda serta jual-beli dengan nilai tukar yang sangat tidak sebanding; ibarat meminjam seekor nyamuk lalu mengembalikan dalam bentuk seekor kuda atau membeli seekor lalat dengan bayaran seekor unta.

Berikut ini transaksi pinjam meminjam yang Allah tawarkan:
إِن تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.“ (QS: At-Taghabun [64]:17).

Adapun transaksi kedua yang Allah tawarkan adalah transaksi jual-beli atau perdagangan:
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah [9]: 111)
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS Faathir [35]: 29)

Jadi setiap orang yang sudah baligh (mencapai usia kesempurnaan akal) adalah pebisnis yang bertransaksi dengan Allah.

Semua modal bisnisnya (kehidupannya, kesempurnaan tubuhnya, kesempurnaan akalnya, kesehatannya, kepandaiannya, perasaannya, intuisinya, dan lain-lain) berasal dari Allah. Dia tinggal memutar roda usahanya dengan modal tersebut.

Transaksi bisnisnya adalah semua perbuatan dirinya sejak dia baligh sampai malaikat maut datang menjemputnya. Dan semua transaksi itu tercatat rapi serta detil. Tak ada secuil pun, bahkan tak ada sebesar dzarrah (atom) pun yang terluput oleh malaikat sang juru catat.
 وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ
وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ

“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS Al-Qamar [54]: 52-53)

Begitu detilnya buku catatan itu, sehingga kelak para pendosa terperanjat kaget ketika menerima rapor mereka yang kebakaran itu.

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun". (Al-Kahfi [18]:49)

Setelah itu seluruh manusia dikumpulkan pada sebuah forum pengadilan yang dipimpin oleh Sang Pemilik Modal sendiri selaku Ahkamil Hakimin (Sang Hakim Yang Maha Adil) di suatu hari yang dinamakan Yaumul Hisab (Hari Penghitungan rugi/laba).
 وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)-nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al-Anbiya [21]: 47)


Berapa banyak manusia yang berhasil membukukan laba? Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Sang Pemilik Modal Yang Maha Kaya—sekaligus Sang Hakim Maha Adil—itu telah menyebarkan bocoran informasi bahwa hampir semua “mitra bisnisnya” gagal membukukan laba. Hasil auditing terhadap terhadap neraca keuangannya menunjukkan hasil bahwa bisnis mereka membukukan kerugian.

Tapi ada juga yang membukukan keuntungan dalam berbisnis dengan Allah.  Siapa mereka? Simak saja bocoran di bawah ini:

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (gagal membukukan laba dalam bertransaksi dengan Allah), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103]: 1-3).
Selamat bertransaksi dengan Allah. Semoga transaksi kita membukukan laba.*/Saiful Hamiwanto 

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Persiapkan Sebelum Melewati Shirath Hari Esok!

Kamis, 16 Mei 2013

UMUMNYA orang memahami masa depan hanya sebatas usia tua. Tidak heran jika banyak orang mati-matian mengumpulkan uang sejak muda dengan harapan hidup berlimpah harta di masa tuanya. Bahkan, kalau perlu kekuasaan tetap berada di tangan keturunannya.
Sekiranya, cara mendapatkannya halal, tentu tidak mengapa. Persoalannya adalah ketika pengumpulan harta itu dilakukan dengan cara-cara curang dan haram. Tentu ini suatu kecelakaan besar. Jangankan di akhirat, di masa tua di dunia pun pasti akan sengsara. Lihatlah nasib Fir’aun, Haman, Qarun, Namrudz dan yang lainnya.
Seperti jamak diketahui, sekarang ini demi sebuah posisi atau jabatan, sebagian orang sangat mudah berjanji dan sering tidak menepatinya tanpa sedikitpun ada penyesalan. Lain di bibir lain di hati.
Di depan orang bertindak seperti orang baik, di belakang sering mengabaikan perintah agama. Gemar sekali bermaksiat, menipu, menggunjing, dan menebar berita yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk tidak segan-segan memfitnah saudara sendiri jika dianggap menghambat perjalanan karir atau mengancam posisinya. Sementara itu, tradisi yang dibangun setiap hari dan malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem, dan pesta-pesta tiada henti. “Semua itu demi masa depan,” dalihnya.
Padahal, mengacu pada sumber hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap manusia harus melintasi yang namanya shirath (jembatan) yang menjadi penentu nasib setiap jiwa bisa masuk surga atau terjun ke neraka. Oleh karena itu, Ibn Athaillah sangat heran kepada tingkah laku kebanyakan manusia yang heboh mengejar dunia dan tertawa-tawa seolah telah peroleh kebahagiaan akhirat. Di depan manusia bertingkah laku baik, di belakang sering melupakan aturan Allah.
Melintasi Shirath
Dalam kitabnya Tajul Arus, Ibn Athaillah berkata, “Kau tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah melewati jembatan (shirath) dan menyeberangi neraka. Jika kau tidak menjaga sikap wara’ kepada Allah yang bisa mencegah dari maksiat ketika sendiri, taburkan tanah ke atas kepala sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sikap wara’ yang bisa mencegahnya dari maksiat ketika sendiri, Allah sama sekali tidak akan memedulikan amalnya.” (HR. Al-Daylami).

Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi adalah jembatan di atas Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan, “Jembatan Jahannam dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya. Doa para rasul ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!’
Pada jembatan itu terdapat jangkar-jangkar seperti duri sa’dan. Tahukah kalian, apakah duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya.
Beliau melanjutkan, “Ia bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui besarnya kecuali Allah. Ia akan menarik manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka. ada yang selamat ada pula yang merangkak kemudian selamat.” (HR. Bukhari).
Jadi, satu hal yang mestinya menjadi perhatian setiap orang beriman adalah bagaimana kira-kira nasibnya di akhirat nanti, terutama ketika harus melewati shirath. Karena shirath ini adalah media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam neraka.
Sungguh, kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi memastikan, apakah amal yang kita lakukan termasuk amal yang diterima, jiwa kita adalah jiwa yang takwa, atau justru masuk kelompok manusia yang celaka.
Oleh karena itu, kita patut bertanya dalam diri, sebagaimana Hasan bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku takut ketika sebagian dosaku terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak diampuni.”

Masa depan manusia yang harus menyeberangi shirath itulah yang kemudian mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR. Bukhari).
Artinya, kita harus benar-benar mengimani hari akhir, dengan bersegera melakukan segala amal sholeh dan menjauhi perbuatan yang merusak. Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa menuju Allah agar kelak mendapat rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas shirath dengan selamat hingga ke surga.
Firman-Nya tentang Hari Esok

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr [59]: 20).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menyebutkan riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir bin Jabir, yang secara inti memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar yang sangat miskin, hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.

Melihat hal tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu (sampai akhir ayat). Lau beliau membaca ayat tersebut hingga tuntas, kemudian menambahkan, ‘…meskipun hanya dengan satu belah kurma.
Mendengar khutbah itu, seorang sahabat Anshar datang membawa satu kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berseri-seri bagaikan disepuh emas.

Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan itu hanya tepat jika kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh, bersegera membantu saudara yang lain yang sangat berhajat terhadap kebutuhan hidup, walau hanya dengan separuh biji kurma. Kemudian menjauhi seluruh bentuk larangan-Nya.
Dengan demikian perbanyaklah intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah apa yang telah kita tabung untuk akhirat kita sendiri utamanya ketika bertemu dengan Rabb kita semua. Jangan sampai kita lupakan hal yang sebenarnya tidak lama lagi akan kita jumpai dalam perjalanan panjang kehidupan akhirat.
Mulai sekarang, berhentilah bergantung pada harta, jabatan, dan kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa iman, takwa dan amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya sangat berpotensi mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik, asalkan, senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan banyak melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama.*/Imam Nawawi


Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

Maksimalkan Pendidikan Shalat Anakmu!

www.hidayatullah.com
Senin, 20 Mei 2013


Oleh: Abdullah al-Mustofa
“NANTI  kan shalat sendiri kalau sudah baligh, bu, ” jawab seorang ibu muda – sebut saja namanya Faizah - yang berprofesi sebagai seorang guru di Sekolah Dasar (SD) menjawab orangtuanya yang menasehati agar Faizah menyuruh dua anaknya yang berusia tujuh dan sepuluh tahun untuk segera melaksanakan shalat saat terdengar adzan Maghrib.
Setiap hari ketika dikumandangkan adzan Maghrib dan Isya’ anak-anaknya tetap asyik menatap layar TV dan atau menatap layar laptop untuk bermain game. TV tidak dimatikan, bahkan suaranya nyaring bersaing dengan suara adzan dari musholla yang letaknya berdekatan dengan rumah mereka. Faizah tidak menyuruh mereka untuk sekadar mengecilkan suara TV apalagi mematikan TV dan atau Laptop. Dia juga tidak melakukannya sendiri. Lebih dari itu, dia tidak menyuruh mereka shalat.
Faizah sendiri melakukan shalat, tapi lebih sering menunda-nunda hingga hampir habis waktunya. Selain karena tidur, juga karena asyik menonton acara-acara TV kesukaannya. Tak ketinggalan juga karena asyik bermain Facebook.
Suaminya, yang mengaku sebagai guru juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan istrinya terhadap anak-anak mereka. Lebih dari itu, setiap shalat lima waktu berjamaah di musholla dia pergi sendiri tidak mengajak anak-anaknya ikut.
   
Kadang ketika telah adzan Maghrib dan Isya’ dia menyuruh anak-anaknya mematikan TV dan segera shalat. Bahkan mengajak anak-anaknya shalat berjamaah bersamanya di rumah. Tapi mereka tidak segera melaksanakannya perintah.
Setiap waktu Subuh dia dan suaminya seringkali tidak membangunkan anak-anaknya untuk shalat. Lebih-lebih di hari libur,  anak-anaknya seharian berada di rumah untuk bercengkrama dengan acara TV sampai lupa shalat. Kegiatan ini berlangsung hingga bertahun-tahun hingga anak sulungnya mencapai umur baligh dan duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah.
Sekadar Memberi Teladan Tidaklah Cukup
Kedua orangtua dari anak-anak di atas telah memberi teladan dengan melaksanakan shalat terlebih dahulu. Namun memberi teladan tidaklah cukup, tapi juga harus diiringi dengan kata-kata verbal berupa perintah sejak anak berumur tujuh tahun, juga hukuman fisik sesuai dengan aturan menghukum anak yang diajarkan Nabi saw jika anak telah berumur sepuluh tahun dan tidak melaksanakan shalat.
Anak juga manusia yang cenderung lebih tertarik, mudah dan senang melakukan aktivitas-aktivitas yang memuaskan kesenangan duniawi daripada kesenangan ukhrawi. Untuk melakukan aktivitas kesenangan duniawi, tanpa didorong, disuruh dan dipaksa, siapapun mau, mampu, ringan dan senang melakukan. Sedangkan untuk melakukan aktivitas kesenangan ukhrowi siapapun termasuk anak cenderung berat dan malas.
Apalagi keadaan zaman modern sekarang ini yang tersedia begitu banyak jumlah dan jenis sarana pemuas kesenangan duniawi seperti TV dengan segala programnya, serta handphone, komputer, dan internet dengan segala kontennya yang menggoda siapapun apalagi anak sehingga lupa pada kewajiban-kewajibannya termasuk kewajiban agama seperti shalat. Oleh karena itu, agar anak mau dan terbiasa melakukan shalat anak perlu diperintah. Jika tidak diperintah alias dibiarkan atau diberi kebebasan dan pilihan, anak cenderung menuruti kehendak hatinya atau memilih melakukan kegiatan yang diinginkannya atau yang disenanginya.
“Suruhlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud)
Demikian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam  menyuruh anak shalat harus sudah dilakukan orangtua ketika anak mencapai umur tujuh tahun.
Menyuruh anak shalat tidak berhenti ketika anak memasuki umur delapan tahun. Pada prakteknya, meskipun hampir atau bahkan telah baligh bisa saja anak tetap harus disuruh shalat. Perbedaannya, jika telah mencapai umur sepuluh tahun dan tidak mau melaksanakan shalat, orangtua boleh menghukumnya

Hadits tersebut bisa menjadi pembenar bagi orangtua untuk memukul anak-anaknya yang telah berusia sepuluh tahun jika tidak melaksanakan shalat.
Tapi apakah memang dibenarkan dan diperbolehkan bagi orangtua untuk memukul anak jika tidak melaksanakan shalat? Memukul anak dalam pengertian ini pasti berbeda dengan memukulnya dua orang dewasa dalam sebuah perkelahian. Lebih tepatnya “memukul” di sini dimaksukkan sebagai sarana pendidikan dan shock terapy.
Meskipun menurut Islam orangtua diperbolehkan menghukum anaknya yang sudah berusia sepuluh tahun yang tidak melaksanakan shalat tapi pada zaman ini tidak setiap orangtua Muslim melaksanakannya.
Memberi Teladan dan Melatih Anak Sabar Mendirikan Shalat
Menyuruh anak sebagai anggota keluarga untuk melaksanakan shalat merupakan kewajiban bagi orangtua terutama ayah. Perintah Allah kepada orangtua untuk memerintah anaknya malaksanakan shalat tidaklah mudah, sederhana, sekadar memerintah dan membutuhkan waktu yang pendek. Di dalamnya tersirat banyak perintah lainnya yang berkaitan dengan proses pendidikan anak yang tidak sepi dari rintangan dan tantangan, serta membutuhkan waktu yang panjang. 

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa [20]:132)

Melalui ayat tersebut di atas, Allah selain memberi perintah kepada orangtua terutama ayah sebagai pemimpin rumah tangga untuk menyuruh anak-anaknya sebagai anggota keluarganya untuk mendirikan shalat, juga memerintah mereka berdua untuk bersabar dalam mendirikannya. Dengan menjalankan perintah bersabar mendirikan shalat, orangtua terutama ayah berarti telah memberi teladan kepada anak-anaknya. Keteladanan adalah faktor utama dan pertama penentu keberhasilan pendidikan. Dengan demikian tidaklah mengherankan, orangtua yang sabar mendirikan shalat mempunyai peluang lebih besar memiliki anak-anak yang sabar mendirikan shalat dibandingkan orangtua yang tidak sabar mendirikan shalat.

Menjadi tanggung jawab orangtua terutama ayah tidak cukup mencetak anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi penegak shalat, namun juga mencetak mereka menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat sabar dalam mendirikan shalat dan sabar meninggalkan aktivitas dan urusan lain untuk mengutamakan shalat.  Untuk itu memberi nasehat, pengetahuan, keteladanan, pelatihan dan pengalaman adalah langkah-langkah yang tidak boleh diabaikan orangtua.  

Melakukan semua proses pendidikan shalat pada anak seperti yang telah disebutkan di atas merupakan upaya yang bisa dilakukan orangtua sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, serta tidak mempunyai daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah Subhanahu Wata'ala. Allah Maha Segalanya. Oleh karena itu orangtua mesti sering dan banyak memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar anak-anaknya menjadi penegak-penegak shalat yang sabar dalam mendirikannya dan dalam mengutamakan shalat daripada aktivitas lainnya.*
Penulis peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur Malaysia, pengelola Fanspage SBQ (Sukses Bersama Qur’an)

Red: Cholis Akbar