Jum'at, 31 Mei 2013
TIDAK BANYAK yang
mengupas atau setidaknya mengingatkan kita, mengapa pernikahan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan Sayyidah Khadijah
Radhiyallahu Anha bertahan lama, mesra, penuh kenangan dan kebahagiaan.
Bahkan, karena begitu indahnya pernikahan tersebut, Rasulullah tak
sanggup melupakan kenangannya bersama Khadijah meski telah didampingi
Aisyah yang cantik jelita.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, kekuatan cinta bukan terletak pada
fisik atau atribut keduniawian. Kekuatan cinta itu hanya ada di dalam
hati, lebih-lebih yang dilandasi iman dan ketakwaan. Itulah yang
dimiliki Rasulullah dan Khadijah. Jauh sebelum menjadi Nabi, keluarga
bahagia ini sudah memiliki tradisi saling percaya, saling menghormati,
dan saling menjaga.
Saling memahami, juga menjadi kunci kesuksesan keluarga bahagia ini.
Kita bisa saksikan betapa Khadijah tidak pernah keberatan melihat
suaminya bolak-balik antara rumah dan Gua Hira. Malah Khadijah mendukung
sepenuh hati, melayani kebutuhan suami bahkan tak pernah terlambat
memberikan bekal sebelum meninggalkan rumah.
Tidak berhenti di situ. Tatkala datang keraguan pada diri Rasulullah,
Khadijah bersegera memotivasi suaminya dengan ungkapan yang indah,
mesra, dan penuh ketulusan, hingga mampu membangkitkan semangat
Rasulullah untuk terus yakin dengan usahanya untuk menemukan solusi bagi
kehidupan umat manusia.
Kesetiaan dan pelayanan yang begitu istimewa itu, menjadikan
Rasulullah tak enggan untuk bersikap seperti anak manja di hadapan
istrinya. Pernah suatu kali Rasulullah pulang dengan perasaan bingung
dan takut, begitu sampai di rumah dengan tubuh bergetar beliau langsung
berkata, “Wahai istriku, selimutilah aku, selimutilah aku”. Wah, betapa
indahnya keluarga ini.
Dengan penuh kelembutan, Sayyidah Khadijah pun menyelimuti suaminya
seraya membisikkan kata-kata indah yang meneguhkan hatinya. “Wahai
suamiku, engkau adalah orang yang lurus, engkau orang yang suka
menyambung tali persaudaraan, tidak mungkin engkau didatangi setan. Saya
yakin, engkau pasti seorang Nabi, utusan Allah untuk umat akhir zaman.
Berbahagialah wahai suamiku, aku akan selalu di sampingmu, menemanimu
mengarungi perjuangan ini”.
Tulus Mencintai dan Saling Memotivasi
Tulus mencintai dan saling memotivasi ini sangat penting bagi sebuah
rumah tangga. Tanpa itu, kekuatan iman akan terganggu dan ketajaman visi
akan tumpul. Setidaknya hal itulah yang dapat kita saksikan pada kisah
rumah tangga Nabi Ibrahim Alayhissalam dengan Sayyidah Hajar.
Nabi Ibrahim benar-benar melihat Hajar sebagai media yang dapat
meningkatkan iman dan takwanya kepada Allah. Untuk itu, Nabi Ibrahim
senantiasa mendidik istrinya itu untuk iman dan takwa kepada Allah.
Karena hanya dengan cara seperti itu, anak-anak yang lahir nanti akan
mengikuti spirit dari sang ibu.
Sayyidah Hajar pun demikian. Ia menerima setulus hati apa yang
disampaikan sang suami. Mengikuti segala perintah dan larangannya,
termasuk mematuhi segala hal yang memberatkan hati. Tapi karena iman
telah dominan, Hajar tetap tegar meski harus menghadapi tantangan
kehidupan yang sangat menantang dan menggetarkan hati.
Hasilnya jelas. Kekuatan cinta dan motivasi antara keduanya,
menjadikan Ismail, putra semata wayangnya tumbuh menjadi anak yang
sholeh, sabar dan membahagiakan. Jadi, kunci kebahagiaan rumah tangga,
ada pada kekuatan hati yang selalu tulus mencintai dan ikhlas
memotivasi.
Cerdas Bergaul dengan Pasangan
Kemesraan, mungkin juga romantisme adalah bagian tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Maka dari itu Islam juga mengatur masalah ini, tentu
dengan bahasa yang perlu dimaknai sesuai dengan frekuensi cinta
sepasang suami istri sendiri, yang sangat menentukan kualitas interaksi
atau pergaulan dalam keluarga.
Menurut Imam Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya Ulumuddin disebutkan
bahwa seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan baik (penuh
kelembutan, kemesraan, kecintaan dan ketulusan kasih sayang) dan
bijaksana. Selain itu, seorang suami juga harus memiliki strategi yang
baik dalam mengatur, mengajar, membagi dan membimbing istri yang mungkin
masih perlu pembinaan lebih.
Sementara itu, seorang istri wajib taat (siap melayani suami seikhlas
hati dengan rasa penuh antusiasme dalam segala kondisi) kepada
suaminya. Mengasihi suami dengan penuh kasih sayang, memelihara
hartanya, dan bersikap ramah terhadap kerabat suaminya.
Artinya, semua ini adalah bukti betapa Islam sangat memperhatikan
aspek dasar manusia yang sangat berkebutuhan terhadap kemesraan dengan
pasangan. Istri wajib taat kepada suami, dan suami wajib memperlakukan
istrinya bak ratu dunia yang tiada duanya.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana bersama
istri-istrinya.Rasulullah juga mengajarkan kita untuk memperlakukan
istri dengan istimewa. Hal itu ditunjukan ketika Nabi ketika beliau
tidak sungkan mandi dari sisa air istrinya.
Dari Ibnu Abbas, “Bahwa Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah." (HR Muslim).
Nabi juga dikenal memanjakan wanita (istri-istrinya). Dari Anas, dia berkata: “Kemudian
kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Sallallahu
‘Alaihi Wa Sallam menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di
belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping
untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya
di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)
Sepiring berdua, gurauan dan ciuman Rasulullah membiasakan mencium istri ketika hendak bepergian atau baru pulang.
Dari ‘Aisyah radhiallahu anhu, "bahwa Nabi SAW biasa mencium istrinya setelah wudhu’, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhu’nya.” (HR ‘Abdurrazaq)
Dari Imam Al-Bukhari meriwayatkan: ُﻞِﺴَﺘْﻏَﺃ ُﺖْﻨُﻛ ْﺖَﻟﺎَﻗ
َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍَﻭ ﺎَﻧَﺃ ُﻒِﻠَﺘْﺨَﺗ
ٍﺪِﺣﺍَﻭ ٍﺀﺎَﻧِﺇ ْﻦِﻣ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪﻴِﻓ ﺎَﻨﻳِﺪْﻳَﺃ Artinya: Daripada Aisyah
Ra berkata; “Aku sentiasa mandi bersama dengan Nabi daripada satu
bekas. tangan kami sama-sama berselisih (ketika menggunakan air dalam
bekas itu).” (Sahih Al-Bukhari : hadis no : 253).
Tidak saja dianjurkan mandi bersama, tetapi selalu bersama-sama
membaca al-Qur’an, tahajjud bersama, puasa bersama, buka dan sahur
bersama dan sebagainya. Tidakkah kita sangat mendambakan hal ini?
Sekiranya hal ini dipahami dengan baik, tentu tak satu pun orang mau
berpacaran, karena kemesraan tanpa pernikahan hakikatnya hanyalah
kepalsuan.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment