Sunday 2 June 2013

Mesra dengan Pasangan: Ya Mandi Bersama, Ya Ibadah Bersama!

Jum'at, 31 Mei 2013


TIDAK BANYAK yang mengupas atau setidaknya mengingatkan kita, mengapa pernikahan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan Sayyidah Khadijah Radhiyallahu Anha bertahan lama, mesra, penuh kenangan dan kebahagiaan. Bahkan, karena begitu indahnya pernikahan tersebut, Rasulullah tak sanggup melupakan kenangannya bersama Khadijah meski telah didampingi Aisyah yang cantik jelita.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, kekuatan cinta bukan terletak pada fisik atau atribut keduniawian. Kekuatan cinta itu hanya ada di dalam hati, lebih-lebih yang dilandasi iman dan ketakwaan. Itulah yang dimiliki Rasulullah dan Khadijah. Jauh sebelum menjadi Nabi, keluarga bahagia ini sudah memiliki tradisi saling percaya, saling menghormati, dan saling menjaga.

Saling memahami, juga menjadi kunci kesuksesan keluarga bahagia ini. Kita bisa saksikan betapa Khadijah tidak pernah keberatan melihat suaminya bolak-balik antara rumah dan Gua Hira. Malah Khadijah mendukung sepenuh hati, melayani kebutuhan suami bahkan tak pernah terlambat memberikan bekal sebelum meninggalkan rumah.
Tidak berhenti di situ. Tatkala datang keraguan pada diri Rasulullah, Khadijah bersegera memotivasi suaminya dengan ungkapan yang indah, mesra, dan penuh ketulusan, hingga mampu membangkitkan semangat Rasulullah untuk terus yakin dengan usahanya untuk menemukan solusi bagi kehidupan umat manusia.
Kesetiaan dan pelayanan yang begitu istimewa itu, menjadikan Rasulullah tak enggan untuk bersikap seperti anak manja di hadapan istrinya. Pernah suatu kali Rasulullah pulang dengan perasaan bingung dan takut, begitu sampai di rumah dengan tubuh bergetar beliau langsung berkata, “Wahai istriku, selimutilah aku, selimutilah aku”. Wah, betapa indahnya keluarga ini.

Dengan penuh kelembutan, Sayyidah Khadijah pun menyelimuti suaminya seraya membisikkan kata-kata indah yang meneguhkan hatinya. “Wahai suamiku, engkau adalah orang yang lurus, engkau orang yang suka menyambung tali persaudaraan, tidak mungkin engkau didatangi setan. Saya yakin, engkau pasti seorang Nabi, utusan Allah untuk umat akhir zaman. Berbahagialah wahai suamiku, aku akan selalu di sampingmu, menemanimu mengarungi perjuangan ini”.

Tulus Mencintai dan Saling Memotivasi

Tulus mencintai dan saling memotivasi ini sangat penting bagi sebuah rumah tangga. Tanpa itu, kekuatan iman akan terganggu dan ketajaman visi akan tumpul. Setidaknya hal itulah yang dapat kita saksikan pada kisah rumah tangga Nabi Ibrahim Alayhissalam dengan Sayyidah Hajar.
Nabi Ibrahim benar-benar melihat Hajar sebagai media yang dapat meningkatkan iman dan takwanya kepada Allah. Untuk itu, Nabi Ibrahim senantiasa mendidik istrinya itu untuk iman dan takwa kepada Allah. Karena hanya dengan cara seperti itu, anak-anak yang lahir nanti akan mengikuti spirit dari sang ibu.
Sayyidah Hajar pun demikian. Ia menerima setulus hati apa yang disampaikan sang suami. Mengikuti segala perintah dan larangannya, termasuk mematuhi segala hal yang memberatkan hati. Tapi karena iman telah dominan, Hajar tetap tegar meski harus menghadapi tantangan kehidupan yang sangat menantang dan menggetarkan hati.
Hasilnya jelas. Kekuatan cinta dan motivasi antara keduanya, menjadikan Ismail, putra semata wayangnya tumbuh menjadi anak yang sholeh, sabar dan membahagiakan. Jadi, kunci kebahagiaan rumah tangga, ada pada kekuatan hati yang selalu tulus mencintai dan ikhlas memotivasi.

Cerdas Bergaul dengan Pasangan
Kemesraan, mungkin juga romantisme adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Maka dari itu Islam juga mengatur masalah ini, tentu dengan bahasa yang perlu dimaknai sesuai dengan frekuensi cinta sepasang suami istri sendiri, yang sangat menentukan kualitas interaksi atau pergaulan dalam keluarga.
Menurut Imam Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan baik (penuh kelembutan, kemesraan, kecintaan dan ketulusan kasih sayang) dan bijaksana. Selain itu, seorang suami juga harus memiliki strategi yang baik dalam mengatur, mengajar, membagi dan membimbing istri yang mungkin masih perlu pembinaan lebih.
Sementara itu, seorang istri wajib taat (siap melayani suami seikhlas hati dengan rasa penuh antusiasme dalam segala kondisi) kepada suaminya. Mengasihi suami dengan penuh kasih sayang, memelihara hartanya, dan bersikap ramah terhadap kerabat suaminya.
Artinya, semua ini adalah bukti betapa Islam sangat memperhatikan aspek dasar manusia yang sangat berkebutuhan terhadap kemesraan dengan pasangan. Istri wajib taat kepada suami, dan suami wajib memperlakukan istrinya bak ratu dunia yang tiada duanya.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana bersama istri-istrinya.Rasulullah juga mengajarkan kita untuk memperlakukan istri dengan istimewa. Hal itu ditunjukan ketika Nabi ketika beliau tidak sungkan mandi dari sisa air istrinya.

Dari Ibnu Abbas, “Bahwa Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah." (HR Muslim).
Nabi juga dikenal memanjakan wanita (istri-istrinya). Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)
Sepiring berdua, gurauan dan ciuman Rasulullah membiasakan mencium istri ketika hendak bepergian atau baru pulang.

Dari ‘Aisyah radhiallahu anhu, "bahwa Nabi SAW biasa mencium istrinya setelah wudhu’, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhu’nya.” (HR ‘Abdurrazaq)

Dari Imam Al-Bukhari meriwayatkan: ُﻞِﺴَﺘْﻏَﺃ ُﺖْﻨُﻛ ْﺖَﻟﺎَﻗ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍَﻭ ﺎَﻧَﺃ ُﻒِﻠَﺘْﺨَﺗ ٍﺪِﺣﺍَﻭ ٍﺀﺎَﻧِﺇ ْﻦِﻣ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪﻴِﻓ ﺎَﻨﻳِﺪْﻳَﺃ Artinya: Daripada Aisyah Ra berkata; “Aku sentiasa mandi bersama dengan Nabi daripada satu bekas. tangan kami sama-sama berselisih (ketika menggunakan air dalam bekas itu).” (Sahih Al-Bukhari : hadis no : 253).

Tidak saja dianjurkan mandi bersama, tetapi selalu bersama-sama membaca al-Qur’an, tahajjud bersama, puasa bersama, buka dan sahur bersama dan sebagainya. Tidakkah kita sangat mendambakan hal ini?
Sekiranya hal ini dipahami dengan baik, tentu tak satu pun orang mau berpacaran, karena kemesraan tanpa pernikahan hakikatnya hanyalah kepalsuan.*/Imam Nawawi

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment