Rabu, 20 Maret 2013
Oleh: Shalih Hasyim
SETELAH berkesempatan
melakukan muhibah dan beberapa kali tour dakwah ke daerah-daerah,
dapatlah kami simpulkan mengapa kadangkala semangat dan dorongan dakwah
seseorang mengendur. Di antaranya karena faktor internal (motivasi
intrinstik, indifa’ dzati), fikrah (pemikiran), tashawwur (cara pandang), syu’ur (perasaan), dan ittijah wal wijhah (orientasi).
Sekalipun
penilaian ini masih dibatasi subyektifitas pribadi, setidaknya, hampir
rata-rata penyakit seperti ini dirasakan sosok/pribadi Muslim yang
sedang berada di jalur dakwah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda: “Nahnu nahkumu bizh Zhowahir wallahu yatawallas sarair.”
(Kami dapat menghukumi dari sisi lahiriyah, sedangkan Allah Subhanahu
Wata’alaSubhanahu Wata’ala mengetahui yang tersembunyi). (al Hadits).
Sungguh
jika kami boleh bernostalgia saat itu, kita senang dengan kebaikan yang
dikenali hati (makruf), kejujuran, keadilan, kebenaran dan kelapangan
dada. Dan kita membenci kejelekan yang diingkari hati, kebohongan,
kezaliman, kedengkian, kesempitan dada, kesombongan, egoisme, jiwa yang
kerdil, dll. Karena fitrah kita adalah makhluk religius. Jika aspek itu
kita singkirkan, kita akan mengalami kehampaan dan ketidak bermaknaan
kehidupan. Bukankah dalam pengalaman kehidupan kita, tidak saja kita
membutuhkan kebutuhan jasmani, pula kita memerlukan asupan ruhani.
Bukankah akhir-akhir ini kita menyaksikan manusia yang tersiksa di
puncak kesuksesan karir materinya?
Kasus seperti ini seperti pengalangan pasangan suami-istri di awal melewati masa-masa pertama.
“Istriku,
mahan maaf, engkau bukan cinta pertama untukku. Engkau hanya cinta
kedua.” Siapapun wanita mungkin tersinggung dengan ungkapan seperti ini.
Paling tidak, akan menimbulkan perang mulut, membuat wajahnya juga
pucat, kecewa dan cemberut.
Ia baru memahami, ketika kita
jelaskan bahwa jalan dakwah adalah ‘cinta pertama’ sedang istri adalah
‘cinta kedua’. Penjelasan dan semua kesepahaman yang baru (susulan,
red) harus kita klarifikasi terlebih dahulu dengan istri. Sekalipun
kesepakatan yang baru itu menghasilkan keuntungan finansial yang cukup.
Fir’aun yang terkenal diktator saja, terbukti dalam sejarah, masih memiliki fitrah yang lurus dan benar.
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ
بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ
لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka
diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam
berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)". (QS: Yunus [10]: 90-92)
Allah Subhanahu Wata’ala kemudian menjawabnya;
آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu
telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS: Yunus [10]: 91)
“Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah
dari tanda-tanda kekuasaan kami,” ujar Allah
Tsunami Akidah
Adapun
karena dinamika, perkembangan (pasang surut, fluktuasi) personal,
keluarga, masyarakat, organisasi dan tantangan eksternal kita, serta
lingkungan strategis yang melingkupi kita, bahkan ketika mulai muncul
perbedaan yang bersifat fariatif (ikhtilaf tanawwu’) ataupun
perbedaan yang mengarah kepada ikhtilaf tadhad (kontra produktif), hal
itu tergantung kultur (lingkungan sosial), struktur (kekuasaan yang
dominan) dan pendekatan yang digunakan dalam merespon dan mengelola
berkembangnya struktur kejiwaan (ruhani) manusia itu sendiri.
Realitas
sosial kembali membuktikan, sekaligus menghentakkan kita bahwa
lingkungan sosial yang dominan memproses kehidupan manusia modern adalah
kultur sekuler (menceraikan manusia dari Rabb-nya) dan materilalisme
(mencintai dunia secara berlebih-lebihan).
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَّمّاً
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبّاً جَمّاً
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata:
"Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu
membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak
yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan
yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan.” (QS: Al Fajr [89]: 15-20)
Maksudnya ialah Allah
Subhanahu Wata’alamenyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa
kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan
seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan
dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Ini juga dikuatkan dengan ayat Allah Subhanahu Wata’ala di Ali Imran 14.
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan ah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia (mata’), dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).” (QS: Ali Imran (3) : 14).
Bertolak dari
sinilah cikal bakal (embrio) kelahiran perpecahan, ketidakadilan,
kebohongan, dan perilaku negatif di luar standar kemanusiaan
(dehumanisasi), yang menjadi tren sosial. Manusia memandang orang lain
bukan sebagai mitra dan anugrah, tetapi ancaman yang membahayakan status
quo dan rivalitas.
Fenomena ini pulalalah yang hinggap pada umat bahkan juga para juru dakwah.
Anak-anak
didiikan materialisme ini terbelah kejiwaannya. Kelihatan sehat secara
fisik, tetapi ruhaninya sakit. Batinnya menderita. Masyarakat sipil yang
berwatak militer. Masyarakat modern yang berpola pikir primitif. Fasih
berbicara dunia, tetapi bodoh tentang urusan akhirat. Otaknya cerdas,
tetapi moralnya terpuruk.
Secara serimonial rajin melakukan ibadah ritual formal, tetapi miskin
aplikasi. Mereka tekun berdoa di masjid, ketika keluar dari masjid
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi doanya. Mereka merasa
sepi di dunia yang ramai, merasa gelap di dunia yang terang, merasa
sempit di dunia yang terhampar luas. Semakin banyak ilmu, harta, posisi,
tetapi tidak sebagai wasilatut taqarrub ilallah, tetapi sebagai
wasilatut taba’ud ‘anillah.
Ini pulah yang menghinggapi para juru
dakwah. Setelah puluhan tahun bersama-sama menapaki jalan dakwah yang
terjal, ujungnya hanya pecah, saling menjatuhkan dan dengki antar sesame
saudaranya hanya karena urusan dunia.
Karenanya, jika tidak
dikembalikan pada wahyu, tugas kenabian yang kita warisi ini hanya akan
menjauhkan hati-hati yang lurus itu menjadi semakin jauh dan rusak.
Maka, jika ada perselisihan di antara para juru dakwah, kembalikanlah
semua pada al-Quran dan niat pertama kali kita berada di jalan dakwah.
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS:Al Isra (17) : 82).
Dalam mewarisi tugas kerasulan ini ada beban berat yang harus dipikul
sebagai konsekwensi pewaris nubuwwah (pejuang). Dan predikat sebagi
pelanjut dan penerus perjuangan para Nabiyyullah perlu dipahami dan
disadari dengan baik. Sebab, seringkali orang yang mengklaim dirinya
sebagai pejuang dakwah, namun pola pikir, perasaan, dan perilakunya
tidak mencerminkan sosok qurani. Dirinya tidak lagi sebagai alat peraga
al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang
berjalan di dunia realita. Al-Quran tidak akan berbicara, karena hanya
berupa tulisan, tetapi yang melantangkannya adalah lelaki qurani (al-Quran laa yanthiqu walakin yunthiquhur rijal).
Orang yang terinveksi dengan kelemahan jiwa, sehingga menyediakan diri untuk dijajah peradaban materialisme (qabiliyyatun littaghallub),
perlu lebih meningkatkan daya serap, daya analisa, dan daya cipta
terhadap kitab suci, bukan sekedar konstitusi. Agar tumbuh energi dan
gelora perjuangan yang baru bagaikan bumi yang gersang, kering
kerontang, tandus, kemudian disiram dengan air hujan yang deras.
Sehingga tanah tersebut menjadi hidup dan subur untuk ditanami .
Kembali pada Wahyu
Kesadaran untuk menegakkan pandangan hidup dan ideologi (keyakinan) adalah fitrah dasar manusia. Sebab, naluri keagamaan (gharizah tadayyun)
adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam menikmati dan memaknai
kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini akan membuat pemburunya kecewa jika
tidak ditemani oleh keyakinan (aqidah). Manusia akan mengorbankan semua
fasilitas kehidupan yang dimilikinya (wasilatul hayah), bahkan tetesan darah sekalipun untuk menegakkan ideologi.
Mengurus
dan memperjuangkan agama adalah nilai paling tinggi dalam level
keimanan. Karena mewarisi tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Seorang pelanjut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjadikan
jihad sebagai jalan kehidupannya (al Jihadu sabiluna).
Persoalan-persoalan aktual, kondisi masyarakat yang rusak, bahkan negara
yang tidak menentu, tidak menjadi kendala (batu sandungan) bagi
kelincahan gerakannya. Inilah salah satu indikator seorang pejuang yang
benar orientasi dan cara pandangnya terhadap wahyu Allah Subhanahu
Wata’ala. Terjadi garis demarkasi antara kehidupan lalu yang belum
berwahyu dan kehidupan sekarang yang telah berwahyu.
Oleh karena itu, pentingnya manusia kembali melakukan penataan ulang
pola pikir dan orientasi (rekonstruksi dan reorientasi) terhadap wahyu
Al-Quran. Dimulai dengan membangun landasan pola pikir qurani. Sebab,
dalam proses turunnya Al-Quran terjadi pencerahan dan penyadaran. Wahyu
ini apabila diserap, dianalisa secara terus-menerus hingga
terinternalisasi ke dalam jiwa, akan melahirkan daya cipta dan daya
gerak. Gerakan yang melahirkan amal shalih (karya). Inilah yang paling
mahal dimiliki oleh manusia. Kualitas kita ditentukan oleh iman dan amal
shalih kita. Amal shalih yang tidak berpijak dari keimanan, sama
jeleknya dengan iman yang tidak membuahkan amal shalih.
Nilai-nilai idealisme, perjuangan, sebagai tafsir dan implementasi
dari interaksi kita yang intensif dengan Al-Quran jangan sampai selesai
pada generasi level pertama. Kita harus memperkenalkan dan menanamkan
nilai-nilai immaterial ini kepada generasi pelanjut kita. Agar jangan
sampai terjadi, mereka menuding telunjuk kegagalan pendahulunya dalam
mentransformasikan (mewariskan) nilai yang amat mahal ini.
Memang, mewariskan nilai-nilai perjuangan ini berat dipikul secara pisik dan berat pula di ruhani.
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas
keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim
dan Amat bodoh.” (QS: Al Ahzab [33]: 72).
Bagi yang sudah tercerahkan akan pilihan dan penunjukan Allah di atas
terhadap dirinya untuk memikul amanah perjuangan, sejatinya ia selalu
memelihara dan menegakkannya. Sebab, kelak akan dimintai
pertanggungjawaban kepada Allahpara Rasul-Nya dan kepada kaum muslimin
dan kepada umat manusia. Jika demikian, ia tidak sekedar memperoleh mata’ud du-nya, tetapi nikmat di Akhirat.
Katakanlah:
"Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian
itu". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan
mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal
didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta
keridhaan Allah. dan Allah Subhanahu Wata’alaMaha melihat akan
hamba-hamba-Nya." (QS:Ali Imran [3]: 15)
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment