Thursday 11 April 2013

Bila Syahwat Dunia Merasuki Juru Dakwah

Rabu, 20 Maret 2013

Oleh: Shalih Hasyim

SETELAH berkesempatan melakukan muhibah dan beberapa kali tour dakwah ke daerah-daerah, dapatlah kami simpulkan  mengapa kadangkala semangat dan dorongan dakwah seseorang mengendur. Di antaranya karena faktor internal (motivasi intrinstik, indifa’ dzati), fikrah (pemikiran), tashawwur (cara pandang), syu’ur (perasaan), dan ittijah wal wijhah (orientasi).

Sekalipun penilaian ini masih  dibatasi subyektifitas pribadi, setidaknya, hampir rata-rata penyakit seperti ini dirasakan sosok/pribadi Muslim yang sedang berada di jalur dakwah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda: “Nahnu nahkumu bizh Zhowahir wallahu yatawallas sarair.” (Kami dapat menghukumi dari sisi lahiriyah, sedangkan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’ala mengetahui yang tersembunyi). (al Hadits).

Sungguh  jika kami boleh bernostalgia saat itu, kita senang dengan kebaikan yang dikenali hati (makruf), kejujuran, keadilan, kebenaran dan kelapangan dada. Dan kita membenci kejelekan yang diingkari hati, kebohongan, kezaliman, kedengkian, kesempitan dada, kesombongan, egoisme, jiwa yang kerdil, dll. Karena fitrah kita adalah makhluk religius. Jika aspek itu kita singkirkan, kita akan mengalami kehampaan dan ketidak bermaknaan kehidupan. Bukankah dalam pengalaman kehidupan kita, tidak saja kita membutuhkan kebutuhan jasmani, pula kita memerlukan asupan ruhani. Bukankah akhir-akhir ini kita menyaksikan manusia yang tersiksa di puncak kesuksesan karir materinya?

Kasus seperti ini seperti pengalangan pasangan suami-istri di awal melewati masa-masa pertama.

“Istriku, mahan maaf, engkau bukan cinta pertama untukku. Engkau hanya cinta kedua.” Siapapun wanita mungkin tersinggung dengan ungkapan seperti ini. Paling tidak, akan menimbulkan perang mulut, membuat wajahnya juga pucat, kecewa dan cemberut.

Ia baru memahami, ketika kita jelaskan  bahwa jalan dakwah adalah ‘cinta pertama’ sedang istri adalah ‘cinta kedua’. Penjelasan dan semua kesepahaman yang baru (susulan, red)  harus kita klarifikasi terlebih dahulu dengan istri. Sekalipun kesepakatan yang baru itu menghasilkan keuntungan finansial yang cukup.

Fir’aun yang terkenal diktator saja, terbukti dalam sejarah, masih memiliki fitrah yang lurus dan benar.

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS: Yunus [10]: 90-92)

Allah Subhanahu Wata’ala kemudian menjawabnya;
 آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS: Yunus [10]: 91)

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu  supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami,” ujar Allah

Tsunami Akidah
Adapun karena dinamika, perkembangan (pasang surut, fluktuasi) personal, keluarga, masyarakat, organisasi dan tantangan eksternal kita, serta lingkungan strategis yang melingkupi kita, bahkan ketika mulai muncul perbedaan yang bersifat fariatif (ikhtilaf tanawwu’) ataupun perbedaan yang mengarah kepada ikhtilaf tadhad (kontra produktif),  hal itu tergantung kultur (lingkungan sosial), struktur (kekuasaan yang dominan) dan pendekatan yang digunakan dalam merespon dan mengelola berkembangnya struktur kejiwaan (ruhani) manusia itu sendiri.

Realitas sosial kembali membuktikan, sekaligus menghentakkan kita bahwa lingkungan sosial yang dominan memproses kehidupan manusia modern adalah kultur sekuler (menceraikan manusia dari Rabb-nya) dan materilalisme (mencintai dunia secara berlebih-lebihan).

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَّمّاً
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبّاً جَمّاً
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS: Al Fajr [89]: 15-20)

Maksudnya ialah Allah Subhanahu Wata’alamenyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Ini juga dikuatkan dengan ayat Allah Subhanahu Wata’ala di Ali Imran 14.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan ah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia (mata’), dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS: Ali Imran (3) : 14).

Bertolak dari sinilah cikal bakal (embrio) kelahiran perpecahan, ketidakadilan, kebohongan, dan perilaku negatif di luar standar kemanusiaan (dehumanisasi),  yang menjadi tren sosial. Manusia memandang orang lain bukan sebagai mitra dan anugrah, tetapi ancaman yang membahayakan status quo dan rivalitas.
Fenomena ini pulalalah yang hinggap pada umat bahkan juga para juru dakwah.

Anak-anak didiikan materialisme ini terbelah kejiwaannya. Kelihatan sehat secara fisik, tetapi ruhaninya sakit. Batinnya menderita. Masyarakat sipil yang berwatak militer. Masyarakat modern yang berpola pikir primitif. Fasih berbicara dunia, tetapi bodoh tentang urusan akhirat. Otaknya cerdas, tetapi moralnya terpuruk.
Secara serimonial rajin melakukan ibadah ritual formal, tetapi miskin aplikasi. Mereka tekun berdoa di masjid, ketika keluar dari masjid melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi doanya. Mereka merasa sepi di dunia yang ramai, merasa gelap di dunia yang terang, merasa sempit di dunia yang terhampar luas. Semakin banyak ilmu, harta, posisi, tetapi tidak sebagai wasilatut taqarrub ilallah, tetapi sebagai wasilatut taba’ud ‘anillah.

Ini pulah yang menghinggapi para juru dakwah. Setelah puluhan tahun bersama-sama menapaki jalan dakwah yang terjal, ujungnya hanya pecah, saling menjatuhkan dan dengki antar sesame saudaranya hanya karena urusan dunia.

Karenanya, jika tidak dikembalikan pada wahyu, tugas kenabian  yang kita warisi ini hanya akan menjauhkan hati-hati yang lurus itu menjadi semakin jauh dan rusak. Maka, jika ada perselisihan di antara para juru dakwah, kembalikanlah semua pada al-Quran dan niat pertama kali kita berada di jalan dakwah.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS:Al Isra (17) : 82).
Dalam mewarisi tugas kerasulan ini ada beban berat yang harus dipikul sebagai konsekwensi pewaris nubuwwah (pejuang). Dan predikat sebagi pelanjut dan penerus perjuangan para Nabiyyullah perlu dipahami dan disadari dengan baik. Sebab, seringkali orang yang mengklaim dirinya sebagai pejuang dakwah, namun pola pikir, perasaan, dan perilakunya tidak mencerminkan sosok qurani. Dirinya tidak lagi sebagai alat peraga al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  yang berjalan di dunia realita. Al-Quran tidak akan berbicara, karena hanya berupa tulisan, tetapi yang melantangkannya adalah lelaki qurani (al-Quran laa yanthiqu walakin yunthiquhur rijal).
Orang yang terinveksi dengan kelemahan jiwa,  sehingga menyediakan diri untuk dijajah peradaban materialisme (qabiliyyatun littaghallub), perlu lebih meningkatkan daya serap, daya analisa, dan daya cipta terhadap kitab suci, bukan sekedar konstitusi. Agar tumbuh energi dan gelora perjuangan yang baru bagaikan bumi yang gersang, kering kerontang, tandus, kemudian disiram dengan air hujan yang deras. Sehingga tanah tersebut menjadi hidup dan subur untuk ditanami .
Kembali pada Wahyu
Kesadaran untuk menegakkan pandangan hidup dan ideologi (keyakinan) adalah fitrah dasar manusia. Sebab, naluri keagamaan (gharizah tadayyun) adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam menikmati dan memaknai kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini akan membuat pemburunya kecewa jika tidak ditemani oleh keyakinan (aqidah). Manusia akan mengorbankan semua fasilitas kehidupan yang dimilikinya (wasilatul hayah), bahkan tetesan darah sekalipun untuk menegakkan ideologi.
   
Mengurus dan memperjuangkan agama adalah nilai paling tinggi dalam level keimanan. Karena mewarisi tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Seorang pelanjut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  menjadikan jihad sebagai jalan kehidupannya (al Jihadu sabiluna). Persoalan-persoalan aktual, kondisi masyarakat yang rusak, bahkan negara yang tidak menentu, tidak menjadi kendala (batu sandungan) bagi kelincahan gerakannya. Inilah salah satu indikator seorang pejuang yang benar orientasi dan cara pandangnya terhadap wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Terjadi garis demarkasi antara kehidupan lalu yang belum berwahyu dan kehidupan sekarang yang telah berwahyu.
Oleh karena itu, pentingnya manusia kembali melakukan penataan ulang pola pikir dan orientasi (rekonstruksi dan reorientasi) terhadap wahyu Al-Quran. Dimulai dengan membangun landasan pola pikir qurani. Sebab, dalam proses turunnya Al-Quran terjadi pencerahan dan penyadaran. Wahyu ini apabila diserap, dianalisa secara terus-menerus hingga terinternalisasi ke dalam jiwa, akan melahirkan daya cipta dan daya gerak. Gerakan yang melahirkan amal shalih (karya). Inilah yang paling mahal dimiliki oleh manusia. Kualitas kita ditentukan oleh iman dan amal shalih kita. Amal shalih yang tidak berpijak dari keimanan, sama jeleknya dengan iman yang tidak membuahkan amal shalih.
Nilai-nilai idealisme, perjuangan, sebagai tafsir dan implementasi dari interaksi kita yang intensif dengan Al-Quran jangan sampai selesai pada generasi level pertama. Kita harus memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai immaterial ini kepada generasi pelanjut kita. Agar jangan sampai terjadi, mereka menuding telunjuk kegagalan pendahulunya dalam mentransformasikan (mewariskan) nilai yang amat mahal ini.

Memang, mewariskan nilai-nilai perjuangan ini berat dipikul secara pisik dan berat pula di ruhani.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (QS: Al Ahzab [33]: 72).
Bagi yang sudah tercerahkan akan pilihan dan penunjukan Allah di atas terhadap dirinya untuk memikul amanah perjuangan, sejatinya ia selalu memelihara dan menegakkannya. Sebab, kelak akan dimintai pertanggungjawaban kepada Allahpara Rasul-Nya dan kepada kaum muslimin dan kepada umat manusia. Jika demikian, ia tidak sekedar memperoleh mata’ud du-nya, tetapi nikmat di Akhirat.

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,  mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Subhanahu Wata’alaMaha melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS:Ali Imran [3]: 15)
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah 

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment