Rabu, 5 Apr 06
09:28 WIB
Kirim teman
Ass, ustadz yang
dirahmati Allah, saya pernah diminta seorang pria untuk menjadi istri keduanya
atas persetujuan istrinya, bahkan istrinya yang meminta saya secara langsung
via telepon. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan pria tersebut ataupun
istrinya. Jika melihat profil pria tersebut, subhanallah... sangatlah shalih
bahkan menurut saya beliau lebih cocok disebut seorang ustadz (tilawahnya saja
5 juz per hari).
Saya kemudian
memilih mundur karena tidak ada kemantapan dan pihak keluarga pun tidak setuju.
Syar'ikah alasan saya memilih mundur? Saya takut dengan sebuah hadits yang
menyatakan akan terjadi fitnah jika kita menolak laki-laki shalih yang datang
pada kita. Alhamdulillah pria tersebut sekarang sudah menikah (yang kedua) tapi
ana takut dengan ancaman hadits tersebut, apalagi mengingat usia saya (25).
Bagaimana caranya agar saya tetap ikhlas dan sabar serta tidak trauma dengan
masalah tersebut? Jazakallah.
Wass.
Sumi Resminawatisalamah_smi
at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Menerima atau
menolak pinangan dari seseorang sama-sama hak seorang wanita. Bahkan pinangan
Sa'ad bin Abi Waqqash ra. kepada janda mendiang Mutsanna bin Haritsah tidak
langsung diterima. Kecuali setelah melalui berbagai proses panjang yang tidak
mudah.
Ketika seorang
wanita merasa tidak sreg dengan keadaan laki-laki yang meminangnya, tidak ada
yang salah. Baik alasan itu bersifat syar'i, maupun bersifat pribadi. Sebab
ketika seorang wanita memutuskan untuk menerima pinangan itu, resikonya jelas.
Yaitu untuk selanjutnya, dirinya hidup di bawah suaminya. Dia harus hidup
bersamanya, taat, tunduk dan patuh kepada suaminya. Bahkan surganya ditentukan
oleh bagaimana sikapnya kepada suaminya.
Kalau seorang
wanita merasa tidak nyaman dengan seorang calon suami, tentu di masa berikutnya
akan menjadi problem berat. Dan ini adalah soal selera, di mana Islam justru
sangat memperhatikan kebebasan seorang wanita untuk memiliki selera dengan tipe
laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Di dalam syariah
Islam, seorang ayah dilarang untuk untuk memaksakan jodoh untuk anak wanitanya.
Apalagi sekedar seorang calon suami, di mana lamarannya itu sangat tergantung
dari penerimaan pihak calon istri. Maka calon istri punya hak dan wewenang
sepenuhnya untuk menerima sebuah lamaran atau menolaknya. Baik dengan alasan
yang masuk akal bagi pelamar maupun tidak. Sebab bisa saja faktor penolakannya
itu merupakan hal yang tidak ingin disebutkan secara terbuka.
Adapun hadits
yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran
laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits
itu bukan dalam posisi untuk menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang
shalih itu haram ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya.
Sebab kalau
demikian, bagaimana dengan lamaran seorang laki-laki shalih kepada seorang
puteri raja atau pembesar, di mana kedua tidak sekufu atau memang tidak saling
cocok satu dengan yang lain? Apakah puteri raja itu berdosa bila menolak
lamaran dari seorang yang tidak disukainya?
Bahkan di dalam
syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah namun merasa tidak cocok
dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi baru
sekedar lamaran dari laki-laki yang sudah punya istri pula.
Dari Ibnu Abbas
ra.: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia
berkata: Wahai Rasulullah, "Aku tidak mencelanya (Tsabit) dalam hal
akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu
menunaikan kewajibannya) dalam Islam." Maka Rasulullah SAW berkata
padanya, "Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya?" Wanita
itu menjawab, "Ya." Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit,
"Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak." (HR
Bukhori, Nasa'y dan Ibnu Majah. Nailul Authar 6/246)
Agar tidak
menjadi fitnah, tentu ada cara penolakan yang halus dan lembut, tanpa
menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa menerima intisarinya, yaitu
penolakan. Sehingga fitnah yang dikawatirkan itu tidak perlu terjadi.
Wallahu 'alam
bishshawab, wasssalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
No comments:
Post a Comment