09/20/2002
Mengatakan kebenaran kepada
penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya
besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan
lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah
mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran
kepada penguasa yang menyeleweng."
Demikian sabda Tasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan
penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin
Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani
melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu
(orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang
tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan,
suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah,
melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau
meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak
seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup.
Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan
dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani
menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani
menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang
dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke
dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk
menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja,
"Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah seraya
bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus
seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja
beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat
gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam
wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci
Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan
melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu
melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku
lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun
berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu
masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga
tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku,
tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di
sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!"
jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya
lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak
marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium
tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah
berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan
istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan
salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin
lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk
berbohong."
"Aku tidak memanggilmu
dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para
kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud,
ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti
Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di
sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah
berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang
duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang
panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun
tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan
itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul
Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab
Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan
kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap
rakyatnya."
Mendengar jawaban dan nasehat
Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana
serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang
penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri.
Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan
nasehat-nasehatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi
dan Komunikasi Islam Indonesia
No comments:
Post a Comment