Thursday 11 April 2013

Yang Tua Harus Menyayangi, yang Muda Menghormati!

Selasa, 16 Oktober 2012

oleh: Shalih Hasyim

SIAPA tidak kenal Salman al Farisi? Sosok sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yang fenomenal ini pernah mengajukan ide cemerlang kepada Nabi pada saat terjadi perang Khandak. Sulit dibayangkan, bagaimana nasib kaum Muslimin, seandainya Salman tidak mengemukakan gagasannya membendung serangan musuh yang terdiri dari kaum Quraisy, Musyrikin dan Yahudi. Bisa jadi, mereka akan kocar-kacir sebagaimana yang terjadi pada perang Uhud.
Namun tengoklah, di penghujung ‘masa pensiunanya’. Suatu hari ia kembali ke kampung halamannya. Ketika masih beragama Majudi, Salman disegani di negerinya karena menjadi tangan kanan ayahnya menjaga nyala api keramat. Dalam kepercayaan Majusi, jika nyala itu berhenti sekejap saja, bakal mengundang kemurkaan dewa.
Tak berapa lama tiba di kampungnya, Salman dikunjungi dua orang sahabatnya ketika dia masih menganut agama Majusi (penyembah api).
Lantaran harumnya nama Salman, aromanya tercium hingga ke kampungnya. Lalu bertanyalah dua karibnya tadi, “Benarkah Anda sabahat Rasulullah?”
Apa jawab Salman? Dengan enteng di berkata, ”Saya tidak tahu!”

Senior dan yunior
Dalam setiap masyarakat di manapun, terdiri dari orangtua, pemuda dan anak-anak. Ada senior atau perintis dan ada pula yunior atau pelanjut.
Semual level itu diperlukan untuk membangun harmoni kehidupan. Setiap individu di dalamnya, memiliki keunikan tersendiri. Maka setiap individu harus ditempatkan pada jabatan yang sesuai, sebagai lahan aktualisasi diri secara profesional. Masing-masing level memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Wajar, sebab manusia adalah tempat salah dan lupa. Di samping memiliki nalar, juga naluri.
Untuk menciptakan suasana yang sejuk, masing-masing individu dituntut untuk tahu diri, berani berkorban, dan  bukan memperbanyak tuntutan. Itulah sebabnya dalam Islam hubungan antara yang muda dan yang tua telah diatur dengan begitu indah. Ada managemen keseimbangn di sana, yakni hormat (tauqir) dan kasih sayang (rahmah).
Rasulullah bersabda, ”Tidak termasuk golongan kami yang tidak menghormati generasi tua dan tidak menyayangi yang kecil.”

Dalam hal ini pihak orangtua lebih dahulu disebutkan, karena sebagai pendahulu mereka lebih berjasa. Merekalah yang pertama babat alas, atau menjadi pengawal amal.
Satu ungkapan Arab berbunyi:  Al Afdhalu lil  mubtadi walau ahsanal muqtadi (keutamaan itu bagi perintis, sekalipun pelanjut itu lebih baik). Pun dalam ungkapan lain disebutkan: Al Bidayatu ahsanu min kulli syaiin (perintis itu lebih baik dari setiap aspek, karena telah memulai separo perjalanan lebih).

Komunikasi
Komunikasi menjadi hal yang sangat penting untuk menjembatani pemikiran dan pengalaman antar dua generasi ini. Diperlukan seni dalam proses peralihan dan pewarisan nilai dan amal. Bagaimana agar sang senior tidak menjadi orang tua yang ingin mempertahankan status quo. Bahkan perjuangan yang telah dilakukan dapat menjadi contoh bagi generasi mendatang.
Yakni, berorientasi pada amal, bukan jabatan. Para senior harus terlebih dahulu menjadi tentara aqidah. Bukan tentara jabatan, wanita,  harta dan kepentingan.
Jadilah senior yang independen. Tambah usia tambah berbudi, makin tua makin mengabdi. Bukan sebaliknya makin tua makin sombong, dan cengeng.

Rasulullah bersabda, ”Pemuda yang terbaik adalah yang arif seperti orangtua, dan orangtua yang terjelek adalah berkarakter seperti pemuda.”
Orangtua harus menjadi marja’ (rujukan) dalam membangun orientasi kehidupan, ilmu, iman dan amal.
Hal yang selayaknya terus dipertajam untuk meluruskan niat.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِي
”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan semesta alam,” (QS: Al An’am 162).

Dalam keterangan lain Allah berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sodaqah kamu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti orang lain.” (QS: Al Baqarah: 264).

Yang Muda yang Menyadari
Bak gayung bersambut, para penerus dan pelanjut estafet kepemimpinan juga dituntut menyadari bahwa sekiranya pendahulu tidak menanam pohon kelapa, mustahil hari ini mereka bisa meminum air kelapa.
Kita telah menikmati hasil jerih payah para salafus shalih. Merekalah yang lebih dahulu  beramal, berjuang, dengan harta, nyawa tanpa berfikir besok makan apa dan menempati jabatan apa. Sepatutnya yang yunior selalu berdo’a untuk yang senior sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulunya. Lebih-lebih jika prestasi yunior tidak lebih baik dari amal senior.
Rasulullah mengajarkan adab do’a untuk menghormati mereka yang direkam dalam firman-Nya:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Hasyr: 10)
Jadi, definisi , maka orangtua macam begini bagai bayi tua. Umur semakin bertambah, tetapi sifat dan perilakunya kanak-kanak.

Sebaliknya, orangtua yang kaya ilmu dan iman semakin menarik, dan menjadi bahan referensi.
Di sinilah pentingnya terwujud suasana pergaulan yang mencerahkan dan menyejukkan. Masing-masing level yang ada harus saling komunikasi (silaturrahim). Dari silaturrahim akan saling kenal (ta’aruf), dari ta’aruf akan menjadi silatush shadr (saling berlapang dada), dari silatush shadr akan menjadi shilatul qalbi (saling menjalin ikatan hati), dari shilatul qalbi akan berujung kepada shilaatul amal (saling bekerja sama mengangkat amal shalih).
Dengan silturrahim, kita akan memahami dan mengetahui sisi kelemahan dan kelebihan. Dalam semangat ini, kelemahan akan dapat dibenahi, kecuali dia sombong. Karena kesombongan adalah perbuatan menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Penyakit ini lahir ketika ia merasa paling taat, paling berjasa, paling berperan dan seterusnya. Padahal, amal shalih yang berujung kepada kebanggaan itu lebih jahat dibandingkan dengan perbuatan keji yang berujung kepada penyesalan.

Yahya bin Muadz  memberikan peringatan keras, “Hendaknya kalian menghindari diri dari ujub. Karena ujub itu membinasakan pemiliknya dan akan memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. Maka seorang yang tertidur di malam hari kemudian bangun dalam keadaan menyesal, itu lebih baik daripada orang yang bangun di malam hari, tapi pada pagi harinya ia merasa ujub."
Rasulullah bersabda, ”Orang yang menyesal akan menunggu rahmat, sedangkan orang yang ujub menunggu kemurkaan Allah,” (Riwayat Bukhari dan Ahmad).
Ibnul Haaj berkata dalam Al Madkhal, “Siapa yang merasa bangga sedikit saja, niscaya ia tidak berharga sama sekali di hadapan Allah.”
Ada seorang yang bertanya kepada Aisyah. ”Kapan seseorang itu dikatakan berbuat buruk?” Ia menjawab, ”Yaitu ketika ia menyangka (yaz’amu) bahwa ia telah berbuat baik.“
Inilah kelemahan yang bisa menjadi sandungan kebangkitan Islam dan pertolongan Allah. Amal kita biasa-biasa saja, tetapi minta dihargai dengan harga yang selangit. Sedangkan pendahulu kita kaya amal, namun merasa belum berbuat apa-apa.
Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini agar bisa beramal, dan berilah petunjuk agar bisa menjaga kualitas, mutu dan bobot amal. Dan jauhkanlah kedengkian dalam diri kami terhadap para pendahulu kami, para mujahid dahwah yang mukhlis. Amin.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment