www.eramuslim.com
Oleh, Rachmat Morado Sugiarto, M.A*
Imam al-Ghazali adalah salah seorang
ulama klasik yang berusaha keras mematahkan hujjah ketuhanan Yesus. Melalui
bukunya yang berjudul al-Raddul Jamil li-Ilahiyati ‘Isa, al-Ghazali
membantah ketuhanan Yesus dengan mengutip teks-teks Bibel. Buku ini menarik
untuk dikaji karena diterbitkan oleh UNESCO dalam bahasa Arab.
Imam al-Ghazali adalah ulama yang
sangat terkenal di zamannya sampai zaman sekarang ini. Nama lengkapnya, Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Thusi Asy-Syafi’i
(pengikut mazhab Syafi’i). Al-Ghazali lahir 450 H/1058 M dan wafat pada tahun
505H/1111M dalam usia 55 tahun.
Karyanya tidak kurang dari 200 buku,
dan di antara karyanya yang sangat monumental adalah “Ihya ‘Ulumiddin” (Revival
of Religious Sciences). Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli tasawwuf,
ahli fikih, dan juga bisa dikatakan sebagai seorang Kristolog. Ini terbukti
lewat karyanya al-Raddul Jamil, yang ditulisnya secara serius dan
mendalam.
Dalam bukunya, Al-Ghazali memberikan
kritik-kritik terhadap kepercayaan kaum Nasrani yang bertaklid kepada akidah
pendahulunya, yang keliru. Kata al-Ghazali dalam mukaddimah bukunya: “Aku
melihat pembahasan-pembahasan orang Nasrani tentang akidah mereka memiliki
pondasi yang lemah. Orang Nasrani menganggap agama mereka adalah syariat yang
tidak bisa di takwil”
Imam al-Ghazali juga berpendapat
bahwa orang Nasrani taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya
dalam masalah al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus.
Al-Ghazali membantah teori al-ittihad kaum Nasrani. Menurutnya, anggapan bahwa
Isa a.s. mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan
badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang berbeda
dengan dua hakikat tadi, adalah keliru. Menurutnya, bergabungnya dua zat dan
dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang berbeda adalah
hal yang mustahil yang tidak diterima akal.
Dalam pandangan al-Ghazali, teori al-ittihad
ini justru membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Al-Ghazali menggunakan
analogi mantik atau logika. Ia berkata, ketika Yesus disalib, bukankah yang
disalib adalah Tuhan, apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan.
Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: ”Dan tidaklah
mereka membunuhnya (Isa a.s..) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi
disamarkan kepada mereka”.
Selain al-ittihad, masalah al-hulul
tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah
menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau
metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata “Bapa” dan ”Anak”.
Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10: “Tidak percayakah
engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Apa yang Aku katakan
kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam
Aku, Dia-lah yang melakukan pekerjaan-Nya.”
Dalam melakukan kajiannya, Imam
al-Ghazali merujuk kepada Bibel kaum Nasrani. Dalam al--Raddul Jamil,
al-Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan
Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks
yang enam tadi.
Di antara teks yang dikritisi oleh
al-Ghazali adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36, “Aku dan Bapa adalah
satu. Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata
Yesus kepada mereka: “banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-ku yang
kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah diantaranya yang menyebabkan kamu mau
melempari aku? Jawab orang-orang Yahudi itu: “bukan karena suatu pekerjaan baik
maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan
karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan dirimu dengan
Allah. Kata Yesus kepada mereka: “tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat
kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa
firman itu disampaikan, disebut Allah – sedangkan kitab suci tidak dapat
dibatalkan- masihkan kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang
telah diutus-Nya ke dalam dunia.” (Teks dikutip dari Bibel terbitan Lembaga Al-kitab
Indonesia; Jakarta 2008.)
Teks ini, menurut al-Ghazali,
menerangkan masalah al-ittihad (menyatunya Allah dengan hamba-Nya).
Orang Yahudi mengingkari perkataan Yesus “aku dan Bapa adalah satu”.
Al-Ghazali berpendapat, perkataan Yesus, Isa A.S. “..aku dan Bapa adalah
satu” adalah makna metafora. Al-Ghazali mengkiaskannya seperti yang
terdapat dalam hadits Qudsi, dimana Allah berfirman,
“Tidaklah mendekatkan kepadaKu
orang-orang yang mendekatkan diri dengan yang lebih utama dari pada melakukan
yang Aku fardhukan kepada mereka. Kemudian tidaklah seorang hamba terus
mendekatkan diri kepadaKu dengan hal-hal yang sunnah sehingga Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang ia mendengar
dengannya, penglihatan yang ia melihat dengannya, lisannya yang ia berbicara
dengannya dan tangannya yang ia memukul dengannnya.”
Menurut Al-Ghazali, adalah mustahil
Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah salah satu dari
indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika bersungguh-sungguh dalam
ta’at kepada Allah, maka Allah akan memberikannya kemampuan dan pertolongan
yang ia mampu dengan keduanya untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan
tanganNya, dan lain-lainnya Makna metafora dalam teks Bibel dan hadits Qudsi
itulah yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.
Demikianlah, di abad ke-12 M, Imam
al-Ghazali telah melalukan kajian yang serius tantang agama-agama selain Islam.
Kajian ini tentu saja sesuatu yang jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap
konsep Ketuhanan Yesus jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim,
berdasarkan penjelasan al-Quranul Karim. Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin
saat meneliti fakta tentang konsep kaum Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada
saat yang sama, dia juga tidak melepaslan posisinya sebagai Muslim saat
mengkaji agama-agama.
*Alumnus Universitas Mulay Islamil,
Meknes, Maroko
No comments:
Post a Comment