Jum'at, 17 Februari 2012
Oleh: Shalih Hasyim
ALLAH
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) menciptakan manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak
beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.
Dalam sebuah hadits disampaikan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batasan
agama yang lurus menurut arahan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى) dan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و
سلم) di atas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain
menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang
benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia
sejak di alam rahim ibu. Sebelum menjadi janin, manusia sudah
bersyahadat di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan
suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam
kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai
tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.
Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan
beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh
turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit,
Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas,
tetapi tidak ditemani oleh islam akan membuat kita kecewa seumur hidup.
Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di
rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru
disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita.
Islam dan Dinullah
Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan
pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama
yang dibuat oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه
و سلم). Yang memberi nama seseorang sebagai muslim adalah Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Allah memberi standar (ukuran),
criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi
kelayakan sebagai muslim. Tentu, muslim di sini adalah muslim hakiki,
lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan
Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
(صلى الله عليه و سلم) diutus di muka bumi ini.
Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah).
Indikator kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) kepada
hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.
Dalam tata bahasa Arab, muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan).
Dari
turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh.
Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem
ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan.
Jadi seorang muslim
adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan
perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan
merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur,
sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.
Seorang muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk
referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat,
bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh
janazah). Menyangkut system ideologi, politik, sosial budaya,
pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.
Islam, Dinul Kaun
Sudah
kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada
suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu.
Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu
peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng
darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).
Bumi
berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak
dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas
semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik).
Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang
tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati
kecuali menurut ketentuan itu.
Hingga manusia pun apabila kita
perhatikan secara cermat keadaannya, niscaya ia tunduk kepada
peraturan-peraturan (sunnah) Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)
dengan sepenuhnya. Ia tidak bernafas dan tidak merasai kebutuhannya
akan air, makanan, cahaya panas, kecuali menurut undang-undang Allah
yang mengatur kehidupannya, juga hati manusia dan gerakannya, peredaran
darah nafasnya, keluar masuknya tunduk kepada undang-undang ini jua.
Semua anggota badannya, seperti otak, perut besar, paru-paru, urat
saraf, urat daging, dua tangan, dua kaki, lidah, dua mata, hidung, dan
telinga semua berserah diri kepada-Nya.
“Hanya kepada
Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula)
bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar Ra’d (13) : 15).
Miniatur Madinah
Ketika
din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan
dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama “Madinah”.
Jadi Din itu tidak bisa dipisahkan dari Daulah (susunan kekuasaan).
Kekuasaan sebagai alat tetangga seagama dulu kemudian membangun rumah).
اَلْمَرء عَلَى ديْن خَليْله فَلْيَنْظُر الىَ مَنْ يُخاَللُ
“Seseorang itu tergantung pada din sahabatnya maka perhatikanlah kepada siapa ia menjalin teman akrab.” (HR. Ahmad).
مَثَلُ
ماَبَعَثَنيَ اللهُ به منَ الْهُدَى وَالْعلْم كَمَثَل الْغيْث الْكَثيْر
أَصاَبَ أَرْضاُ فَكَانَ منْهاَ نَقيةٌ قَبلَت الْماَءَ فأَنْبَتَتْ الْكلأ
وَالْعُشْبَ الْكَثيْرَ وَكاَنَتْ منْهاَ أَجاَدبَ أَمْسَكَت الْماءَ
فَنَفَعَ اللهُ بهاَ النَاسُ فَشَربُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ
منْهاَ طَائفَةٌ أُخْرَى انمَا هيَ قَيْعاَنٌ لاَ تَمْسكُ ماَءٌ وَلاَ
تُنْبتُ كلَأً فَدلكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فيْ ديْن الله وَنَفَعَهُ ماَ
بَعَثَنيَ اللهُ به فَعَلمَ وَعلمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بدلكَ
رَأْساً وَ لًمْ يَقْبَلْ هُدَى الله الَديْ أُرْسلْتُ به
“Perumpamaan
hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil
hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air
kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah
keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi
manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan
bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak
menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang
memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya
memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang
lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak
menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.” (HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).
Di
tempat bernama “Madinah” dihuni oleh orang-orang yang memiliki
keterikatan yang kuat dengan nilai-nilai Dinul Islam. Yakni, Sumber Daya
Insani yang mukmin (menomorsatukan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى), menjadikan al-Quran sebagai dustur (undang-undangnya), memiliki
kebersihan hati, peka terhadap penderitaan orang lain, mengidolakan
para nabi, syuhada, shiddiqun, sholihun, muttaqin, mujahid dan mushlih.
Dari komunitas tersebut, secara otomatis akan lahir kultur yang islamiyah (agamis), da-abus shalihin, berkarakter sesuai dengan aturan kalimatullah dan khalqullah, ‘ilmiyah (terdidik), ustadziyah ‘alamiyyah (kepeloporan internasional), tamaddun (maju dan bermartabat).
Dari akar kata Din dan Madinah ini, juga dibentuk akar kata baru
“madana”, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan,
memakmurkan, mensejahterahkan secara lahir dan batin, memurnikan dan
memartabatkan.
Maka, seseorang yang memeluk Islam secara benar, ia pasti akan mensucikan, memartabatkan dan memakmurkan dirinya baik secara hissiy (material) dan ma’nawiy (immaterial).
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal (8) : 24).
Kalimat ‘yuhyiikum’ dalam ayat diatas maksudnya adalah ‘yuhyin-nufus’ (menghidupkan jiwa), yuhyil-qulub (menghidupkan hati), yauhyidh-dhamir (menghidupkan suara dhamir). Jadi,
berislam adalah memberdayakan fitrah kita. Senang kepada makruf
(kebaikan yang dikenali hati) dan membenci mungkar (keburukan yang
diingkari hati). Mendorong pemeluknya untuk hidup maju secara lahir dan
batin serta bermartabat. Inilah yang dimaksud nikmat berlimpah.
Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada kerumitan
hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan memberatkan.
“Bagi
mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah
lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab)
Allah.” (QS. Ar-Ra’du (13) : 34).
“Kepada masing-masing
golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan
dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra (17) : 20).
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal (teks) berarti peradaban (civilization), berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city).
Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak
salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906.
Sejak
itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di
dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Adapun kata
hadharah digunakan oleh orang Arab sekarang untuk makna peradaban, namun
kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang
kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun.
Seorang muslim
adalah orang yang berlepas diri dari kemusyrikan (selingkuh kepada-Nya)
dan kekafiran (ingkar kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى). Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang
mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.
(QS. At Taubah (9) :10- 11).
Ayat ini menegaskan bahwa muslim
adalah orang yang telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya, selalu mengingat-Nya dan tidak
melupakan-Nya, mendekati-Nya dan tidak menjauhi-Nya, mensyukuri
nikmat-Nya dan tidak mengingkari-Nya (mu’taqodat).
Maka, Muslim yang benar adalah ia anti kemusyrikan, kekafiran, anti
hukmul jahiliyyah, dhannul jahiliyyah, syakwal jahiliyyah, hamiyyatul
jahiliyyah, tabarrujul jahiliyyah, da’wal jahiliyyah dan memproklamirkan
kalimat tauhid “ La Ilaha Illalla” dan pasti mendukung Syariat Allah
Subhanahu Wata ‘ala.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari
Abu Malik al-Asyja’i bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (صلى
الله عليه و سلم) bersabda:
مَنْ قاَلَ لاَ الَهَ الا الله وَكَفَرَ بما يعبد من دون الله حَرَم اللهُ دَمُهُ وَماَلُهُ وَحساَبُهُ عَلَى الله
“Barangsiapa
mengikrarkan laa ilaaha illallah dan dia mengingkari segala
perhitungannya terserah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى)تعالى).” (HR. Muslim).
Karenanya, jika ada orang Muslim menentang syariah
–bahkan—memusuhinya, boleh jadi dia belum paham kemuslimannya dan tidak
tahu konsekwensi syahadat yang telah dia katakan tiap saat ketika
shalat.
Marilah kita habiskan umur kita agar syariat-Nya
mendominasi kehidupan. Ini adalah amanah vertikal dan horisontal
(tugas-tugas keagamaan), wazhifah diniyyah. Agar melahirkan kehidupan individu yang bahagia secara lahir dan batin (hayatan thayyiban), keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dan qaryah mubarakah, ahlul qura (perkampungan yang diberkahi), baladan amina, ummul qura (negeri yang aman), global state, kumpulan berbagai Negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan, ummul qura wa man haulaha (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), dunia yang damai (rahmatan lil ’alamin).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Rep: Panji Islam
Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment