www.eramuslim.com
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ
رَجُلاً لِّمِيقَاتِنَا فَلَمَّا أَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ
شِئْتَ أَهْلَكْتَهُم مِّن قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ
السُّفَهَاء مِنَّا إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَن تَشَاء
وَتَهْدِي مَن تَشَاء أَنتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنتَ
خَيْرُ الْغَافِرِينَ ﴿١٥٥﴾
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٥٦﴾
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٥٦﴾
"Dan Musa memilih tujuh puluh
orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya
Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku
sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang
kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan
dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada
siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami
dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya".
"Dan tetapkanlah untuk kami
kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat)
kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa
yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". (QS. Al-A’raaf: 155-156)
**
Ada bermacam-macam riwayat mengenai
sebab ditetapkannya waktu untuk bertemu Allah itu. Boleh jadi untuk menyatakan
taubat dan memintakan ampunan bagi Bani Israil dari kekufuran dan dosa-dosa
yang telah mereka lakukan.
Di dalam surah Al-Baqarah,
diterangkan bahwa penebusan dosa yang diwajibkan atas Bani Israil itu adalah
dengan membunuh diri mereka. Caranya, orang yang taat membunuh orang yang telah
berbuat maksiat. Hal itu mereka lakukan sehingga Allah mengizinkan mereka untuk
menghentikannya dan diterima-Nya kafarat mereka.
Ketujuh puluh orang ini adalah
tokoh-tokoh dan orang-orang baik mereka, atau sebagai perwakilan mereka. Maka,
redaksi kalimat, “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan,”
menjadikan mereka sebagai pengganti (mewakili) Bani Israil secara keseluruhan.
Di samping itu, apakah yang pernah
terjadi pada orang-orang pilihan ini? Mereka pernah ditimpa peristiwa dengan
suara yang menggelegar (gempa atau petir) hingga pingsan. Pasalnya, mereka
sebagaimana diceritakan dalam surah lain, meminta kepada Musa agar mereka dapat
melihat Allah secara transparan. Dengan demikian, mereka dapat membenarkan Musa
mengenai kewajiban-kewajiban yang dibawanya dalam alwah ‘kepingan-kepingan
papan’.
Peristiwa ini menjadi saksi mengenai
karakter Bani Israil yang meliputi orang baik-baik mereka dan orang-orang yang
jahat. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini kecuali sedikit saja.
Dan yang sangat mengherankan ialah mereka mengucapkan perkataan ini (minta
dapat melihat Allah secara transparan) padahal mereka dalam suasana sedang
menjalankan pertaubatan dan meminta ampun.
Musa a.s. menghadapkan diri kepada
Tuhannya, merajuk kepada-Nya, meminta ampunan dan rahmat, menyatakan ketundukan
dan mengakui kekuasaan Allah.
“…Maka ketika mereka digoncang gempa
bumi, Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau
membinasakan mereka dan aku sebelum ini….”
Ini adalah penyerahan mutlak kepada
kekuasaan yang mutlak sebelum dan sesudah semua itu. Musa menyatakan hal ini
sebelum menyampaikan permohonan kepada Tuhannya supaya meredakan kemurkaan-Nya
dari kaumnya.
Permohonannya dimaksudkan agar
menjauhkan mereka dari cobaan, dan tidak membinasakan mereka karena tindakan
orang-orang yang kurang akal di antara mereka.
“…Apakah Engkau membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami….?”
Harapan ini dikemukakan dengan
kalimat tanya, untuk mengintensitaskan permohonannya agar dijauhkan dari
kebinasaan. Yakni, “Ya Tuhan, sesungguhnya jauh sekali rahmat-Mu hingga
menyebabkan Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang
akal di antara kami.”
“…..Itu hanyalah cobaan dari-Mu.
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri
petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki……”
Musa a.s. menyatakan pengetahuannya
terhadap sifat sesuatu yang terjadi itu. Ia mengerti bahwa itu adalah cobaan
dan ujian belaka. Maka, Musa tidak pernah lupa kepada kehendak dan perbuatan
Tuhannya sebagai halnya orang-orang yang lalai.
Inilah kondisi setiap cobaan. Yaitu,
Allah memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang mengerti tabiat
peristiwa itu. Juga yang mengetahui bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari
Tuhan mereka yang harus mereka lalui dengan sehat dan penuh pengertian.
Allah sesatkan dengan cobaan itu
orang-orang yang tidak mengerti hakikat ini. Juga yang melewatinya dengan
begitu saja, dan keluar darinya dalam keadaan tersesat.
Musa a.s. menyampaikan prinsip
sebagai pengantar untuk memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengarungi
ujian ini.
“….Engkaulah yang memimpin kami………”
Karena itu, berikanlah bantuan dan
pertolongan-Mu kepada kami untuk menghadapi ujian-Mu ini serta mendapatkan
ampunan dan rahmat-Mu.
“…Maka, ampunilah kami dan berilah
kami rahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya….” (QS. Al-A’raaf:
155)
“….Tetapkanlah untuk kami kebajikan
di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu…”
(QS. Al-A’raaf: 156)
Kami kembali kepada-Mu, kami
berlindung di bawah perlindungan-Mu, dan kami memohon pertolongan-Mu.
Demikianlah Musa a.s. mengajukan
permohonan ampunan dan rahmat, dengan menyerahkan diri kepada Allah dan
mengakui hikmah cobaan-Nya. Dia mengakhiri permohonannya dengan menyatakan kembali
kepada Allah dan berlindung di bawah lindungan-Nya.
Maka, doa Musa ini merupakan contoh
mengenai adab atau sopan santun seorang hamba yang saleh kepada Tuhan Yang
Mahamulia. Juga merupakan contoh adab bagaimana memulai dan mengakhiri doa.
Kemudian datanglah jawaban kepada
Musa.
“…Allah berfirman, ‘Siksa-Ku akan
Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu….”
Suatu ketetapan tentang kehendak
yang mutlak, yang membuat peraturan secara bebas dan memberlakukannya secara
bebas, meskipun tidak memberlakukannya kecuali dengan adil dan benar. Itu pun
dengan kehendak-Nya pula.
Karena, adil merupakan salah satu
sifat Allah Yang Mahaluhur. Sifat itu tidak pernah berganti di dalam
menjalankan semua kehendak-Nya, karena demikianlah yang dikehendaki-Nya. Maka,
siksaan itu akan ditimpakan kepada orang yang menurut-Nya layak mendapatkan
siksa. Dengan demikian, berlakulan kehendak-Nya.
Ada pun rahmat-Nya, maka ia meliputi
segala sesuatu. Mengenai orang yang menurut-Nya layak mendapatkannya, maka
berlaku pulalah kehendak-Nya. Tidak pernah dan tidak akan pernah kehendak Allah
menimpakan azab atau memberikan rahmat secara kebetulan. Mahasuci dan
Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari yang demikian itu.
No comments:
Post a Comment