09/27/2002
Pada suatu hari Ibrahim bin
Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki
tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia
dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, "Ya Aba
Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan
aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah merenung sejenak,
Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan,
aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa
ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu,
ya Aba Ishak?"
"Syarat pertama, jika
engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki
Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya
lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang
berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab
Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah
engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan
melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab
Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat
kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih tegas
lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar
lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus
tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai hamba
Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan
rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?"
tanya Ibrahim.
"Kau benar Aba
Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya
Jahdar dengan penasaran.
"Kalau kau masih
bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di
bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat lelaki itu
terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah
tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau kau yakin
Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal
di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan
semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan
terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan
membenarkannya.
"Baiklah, ya Aba Ishak,
lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat maut
hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati
sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung. Tampaknya
ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian
berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."
"Wahai hamba Allah, bila
kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat
menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak komentar lagi,
ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin
Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang terakhir, bila
malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti,
janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu nampaknya tidak
sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah
penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan
lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku
akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."
Jahdar memang menepati
janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah.
Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan
khusyu'.
Ibrahim bin Adham yang
sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa
di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi
pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena
ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny, Ibrahim bin Adham
memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun
berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya
bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan
engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah
kekuasaanku."
Mendengar perkataan Ibrahim
bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak, sungguh suatu
anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk
umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang
diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu
terjadi?"
Ibrahim bin Adham menjawab,
"Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya,
maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya Jahdaar
mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, "Ya Allah,
ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah
wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan
gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan.
Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."
Kemudian, berangkatlah Jahdar
bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas
kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia
berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga
akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi
dan Komunikasi Islam Indonesia
No comments:
Post a Comment