Senin, 20 Agu 07
07:05 WIB
Kirim teman
Ust. H. Ahmad
Sarwat, Lc. Yang dirahmati oleh Allah swt.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Mengapa hukum/syariat sosial Islam sangat sulit ditegakkan
di negara ini? Bukankah mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam? Atau
jika diibaratkan sebuah perusahaan, Islam adalah pemilik saham yang yang
suaranya mutlak!?
Memang... Kita bukan bermaksud ingin mendirikan negara
Islam, jika ada pertanyaan seperti itu. Namun tolong diingat, bukankah kita
juga bukan negara kapitalis atau liberalis, seperti yang sengaja ataupun tidak
sengaja saat ini berlaku di Indonesia.
Jadi selain umat "merapatkan barisan", upaya
bijaksana apa lagi yang semestinya dilaksanakan oleh umat untuk menyatakan
Kebenaran Islam dan melaksanakan Hukum yang jelas-jelas dibuat oleh Allah Azza
wa Jalla Sang MAHA Adil lagi Bijaksana?
Alhamdulillah, terima kasih Ustad,
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Drs. Dive Novio Mba.cjdive_peduli@yahoo.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Secara historis Islam memang punya saham besar dalam
terbentuknya negara ini. Tetapi mau ke mana arah dan sistem kebijakan negara
ini, tidak selalu ditentukan oleh pemilik saham mayoritas. Juga bukan
ditentukan oleh agama mayoritas penduduknya. Dan tentu saja bukan dengan bentuk
negara yang kita katakansebagai negara kapitalis atau bukan kapitalis.
Semua kebijakan ekonomi di negara kita, atau mungkin malah
di semua negara lebih ditentukan oleh 'the man behind the gun', yaitu orang
yang sedang memerintah saat ini. Istilah mudahnya, ditentukan oleh parapejabat.
Termasuk dalam masalah kebijakan ekonomi, semua ditentukan
oleh para pejabat, bukan oleh sejarah masa lalu yang kini nyaris sudah
dilupakan orang. Siapa yang menjabat di bidang ekonomi, monenter, perbankan,
dan sejenisnya, maka mereka adalah orang-orang yang menentukan arah kebijakan
ekonomi negara ini.
Di zaman penguasa orde baru, Soeharto menyebut bahwa ekonomi
negara kita adalah ekonomi Pancasila. Lalu ekonomi Pancasila itu apa dan bagaimana?
Jawabnya kembali kepada kebijakan subjektif para pejabat yang berkuasa saat
itu, tentunya di bawah kemauan Soeharto.
Di zaman pasca reformasi, istilah mungkin bukan ekonomi
Pancasila lagi, entah apa namanya. Tetapi seperti apa kebijakannya? Ya tergantung
siapa yang sedang jadi penguasa.
Secara agama ritual, para penguasa dan pejabat itumungkin
beragama Islam, ikut shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan dan kalau
lebaran pakai baju baru ikut makan ketupat. Akan tetapi, pola ekonomi apa yang ditanamkan
oleh sekolah atau kampusdi mana mereka belajar dulu? Apakah sistem ekonomi
Islam? Apakah hukum-hukum syariah? Rasanya tidak.
Kampus tempat para pejabat ekonomi kita tidak mengajarkan
Quran sebagai dasar hidup, apalagi sebagai sistem ekonomi, maka wajar sekali
kalau tidak ada sistem Islam di otak mereka. Baik sebagai sistem hidup apalagi
sebagai sistem ekonomi.
Sistem hidup dan sistem ekonomi yang ada di kepala mereka,
suka atau tidak suka, adalah sistem ekonomi sekuleris kapitalis. Maka apapun kebijakan
yang lahir dari mulut mereka, tidak akan jauh-jauh dari induknya. Lalu
bagaimana dengan ekonomi syariah? Jawab mereka, "Ah, ke laut aja."
Maka kalau kita ingin melihat syariat Islam ditegakkan di
Indonesia, wabil khusus dalam bidang ekonomi, maka kita harus lahirkan dulu
seribu orang doktor di bidang ekonomi syariah, yang 'melek' hukum Islam, paham
dan mengerti ilmu-ilmu syariah serta cakap dalam memimpin ekonomi sebuah
negara. Ini faktor terpenting sebelum segalanya.
Langkah berikutnya, mereka harus bisa kita antarkan untuk
bisa duduk menjadi menteri keuangan, gubernur BI, dan jabatan-jabatan yang
terkait dengan kebijakan ekonomi moneter. Sehingga kekuasaan dan wewenang
memang berada di tangan orang yang tepat. "The right man on the right
place."
Sayangnya, sekarang ini umatkita miskin dari orang-orang
berilmu di bidangnya secara profesional. Jangankan doktor di bidang ekonomi
syariah, sekedar doktor di bidang syariah secara umum pun kita masih tidak
punya dalam jumlah yang cukup. Kita miskin sarjana, miskin kiyai, miskin orang
pandai, miskin di bidang SDM. Kalau pun kita punya orang pintar, ternyata
'pintar menyantet, pintar meramal kode buntut, pintar jadi dukun', bukan pintar
di bidang keilmuan.
Para pejabat negara di bidang ekonomi itu memang muslim,
tetapi ilmu yang bersarang di kepala mereka bukan ilmu Islam, melainkan ilmu
kapitalis. Jadinya sama saja. Solusi-solusi dari mereka, nyaris tidak sesuai
dengan syariah. Jasadnya muslim tetapi fikrahnya buatan luar. Inilah ironi kita
sebagai muslim.
Wallahu a'lam bishshawbab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment