Wednesday 10 April 2013

Mengapa Syariat Sulit Ditegakkan?


Senin, 20 Agu 07 07:05 WIB

Kirim teman

Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc. Yang dirahmati oleh Allah swt.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Mengapa hukum/syariat sosial Islam sangat sulit ditegakkan di negara ini? Bukankah mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam? Atau jika diibaratkan sebuah perusahaan, Islam adalah pemilik saham yang yang suaranya mutlak!?

Memang... Kita bukan bermaksud ingin mendirikan negara Islam, jika ada pertanyaan seperti itu. Namun tolong diingat, bukankah kita juga bukan negara kapitalis atau liberalis, seperti yang sengaja ataupun tidak sengaja saat ini berlaku di Indonesia.

Jadi selain umat "merapatkan barisan", upaya bijaksana apa lagi yang semestinya dilaksanakan oleh umat untuk menyatakan Kebenaran Islam dan melaksanakan Hukum yang jelas-jelas dibuat oleh Allah Azza wa Jalla Sang MAHA Adil lagi Bijaksana?

Alhamdulillah, terima kasih Ustad,

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Drs. Dive Novio Mba.cjdive_peduli@yahoo.com
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Secara historis Islam memang punya saham besar dalam terbentuknya negara ini. Tetapi mau ke mana arah dan sistem kebijakan negara ini, tidak selalu ditentukan oleh pemilik saham mayoritas. Juga bukan ditentukan oleh agama mayoritas penduduknya. Dan tentu saja bukan dengan bentuk negara yang kita katakansebagai negara kapitalis atau bukan kapitalis.

Semua kebijakan ekonomi di negara kita, atau mungkin malah di semua negara lebih ditentukan oleh 'the man behind the gun', yaitu orang yang sedang memerintah saat ini. Istilah mudahnya, ditentukan oleh parapejabat.

Termasuk dalam masalah kebijakan ekonomi, semua ditentukan oleh para pejabat, bukan oleh sejarah masa lalu yang kini nyaris sudah dilupakan orang. Siapa yang menjabat di bidang ekonomi, monenter, perbankan, dan sejenisnya, maka mereka adalah orang-orang yang menentukan arah kebijakan ekonomi negara ini.

Di zaman penguasa orde baru, Soeharto menyebut bahwa ekonomi negara kita adalah ekonomi Pancasila. Lalu ekonomi Pancasila itu apa dan bagaimana? Jawabnya kembali kepada kebijakan subjektif para pejabat yang berkuasa saat itu, tentunya di bawah kemauan Soeharto.

Di zaman pasca reformasi, istilah mungkin bukan ekonomi Pancasila lagi, entah apa namanya. Tetapi seperti apa kebijakannya? Ya tergantung siapa yang sedang jadi penguasa.

Secara agama ritual, para penguasa dan pejabat itumungkin beragama Islam, ikut shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan dan kalau lebaran pakai baju baru ikut makan ketupat. Akan tetapi, pola ekonomi apa yang ditanamkan oleh sekolah atau kampusdi mana mereka belajar dulu? Apakah sistem ekonomi Islam? Apakah hukum-hukum syariah? Rasanya tidak.

Kampus tempat para pejabat ekonomi kita tidak mengajarkan Quran sebagai dasar hidup, apalagi sebagai sistem ekonomi, maka wajar sekali kalau tidak ada sistem Islam di otak mereka. Baik sebagai sistem hidup apalagi sebagai sistem ekonomi.

Sistem hidup dan sistem ekonomi yang ada di kepala mereka, suka atau tidak suka, adalah sistem ekonomi sekuleris kapitalis. Maka apapun kebijakan yang lahir dari mulut mereka, tidak akan jauh-jauh dari induknya. Lalu bagaimana dengan ekonomi syariah? Jawab mereka, "Ah, ke laut aja."

Maka kalau kita ingin melihat syariat Islam ditegakkan di Indonesia, wabil khusus dalam bidang ekonomi, maka kita harus lahirkan dulu seribu orang doktor di bidang ekonomi syariah, yang 'melek' hukum Islam, paham dan mengerti ilmu-ilmu syariah serta cakap dalam memimpin ekonomi sebuah negara. Ini faktor terpenting sebelum segalanya.

Langkah berikutnya, mereka harus bisa kita antarkan untuk bisa duduk menjadi menteri keuangan, gubernur BI, dan jabatan-jabatan yang terkait dengan kebijakan ekonomi moneter. Sehingga kekuasaan dan wewenang memang berada di tangan orang yang tepat. "The right man on the right place."

Sayangnya, sekarang ini umatkita miskin dari orang-orang berilmu di bidangnya secara profesional. Jangankan doktor di bidang ekonomi syariah, sekedar doktor di bidang syariah secara umum pun kita masih tidak punya dalam jumlah yang cukup. Kita miskin sarjana, miskin kiyai, miskin orang pandai, miskin di bidang SDM. Kalau pun kita punya orang pintar, ternyata 'pintar menyantet, pintar meramal kode buntut, pintar jadi dukun', bukan pintar di bidang keilmuan.

Para pejabat negara di bidang ekonomi itu memang muslim, tetapi ilmu yang bersarang di kepala mereka bukan ilmu Islam, melainkan ilmu kapitalis. Jadinya sama saja. Solusi-solusi dari mereka, nyaris tidak sesuai dengan syariah. Jasadnya muslim tetapi fikrahnya buatan luar. Inilah ironi kita sebagai muslim.

Wallahu a'lam bishshawbab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment