Rabu, 25 Januari 2012
Oleh: Shalih Hasyim
SUATU kali, pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew, mengingatkan generasi mudanya; “Hidup
bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit
Singapura. Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam
hidup ini.”
Ungkapan arif demi melihat kembali keluhuran
tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang kita melihat generasi muda
bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi jangka pendek (mata’).
Pertanyaan
umum klasik para calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang
berkisar tentang kebimbangan/ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana
saya harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa?”
Tapi
sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja
dunia seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman
ini ketika setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada
anak-anak bangsa untuk menjadi “mesin pembuat uang”.
Di seberang
lain, perguruan tinggi harus merespon permintaan pasar sehingga
berurusan dengan tujuan karir dan penambahan income belaka.
Pada
saat yang sama, para guru bangsa --mereka yang berada di koridor
kekuasaan, kelas menengah bangsa-- merasakan ketiadaan makna hidup
semacam itu. Tidak sedikit yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini
untuk apa, ketika sudah di puncak? Ketika semuanya sudah diperoleh dan
sangat berlebih? Tetapi mengapa seperti terus saja terasa ada yang belum
tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ? Seperti ada yang belum
terselesaikan? Pesona gemerlapan material, prestise, terbukti membuat
pemburunya kecewa?
Kata orang, itulah salah satu fenomena “sakit
jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi
karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan
hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi.
Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk
sesama itu sebagai kehilangan, bukan mendapatkan.
Padahal,
Islam, 13 abad telah mengingatkan banyak orang, sesungguhnya jika hidup
hanya ditujukan mencari dunia, hanyalah fatamorgana dan tipuan belaka.
Layaknya harta yang diberikan pada kaum kafir. Nampak ada, namun
sesungguhnya tipuan.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ
بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ
شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ
الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka
seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.” (QS. An-Nur (24) : 39).
Karena
pemuasan kebutuhan psikologis, membuat orang yang mempercayakan
kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah karakternya. Mereka
cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Wajah sipil tapi
bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa yang
bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan
kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan
makna hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta.
Siklus hidupnya tak lain; berebut pengaruh, posisi, nasi dan kursi.
Sekalipun harus menghalalkan segala cara. Persetan dengan aturan halal
dan haram.
Dari kecil, anak-anak bangsa di dunia, diajarkan
kecanduan pada bendawi. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas
konsumen dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh
pemenuhan sesaat. “Besuk besak jadi apa? Dokter, ya,” bagitu para guru
dan orangtua mendikte.
Karenanya, anak-anak tak lagi diajarkan dari mana kita ini lahir dan hidup, untuk apa dan mau kemana kita semua hidup?
Alhasil,
materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan
masyarakat makin longgar. Kita lebih suka berikirim SMS daripada datang
langsung untuk bersalaman dengan sahabat, saudara bahkan tetangga
sebelah rumah.Banyak waktu, tapi seolah sibuk dan kekurangan waktu. Kita
terasing di tengah keramaian dan kerumunan manusia. Kita berdekatan
dengan anak, istri, saudara dan handai tolan, tetapi sesungguhnya hati
terasa jauh.
“Industri hati yang sepi,” itulah tema
dunia yang kini banyak diminati masyarakat modern. Mereka merasakan
kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa nihilistik.
Dalam
sebuah media, dicerikan, bagaimana generasi muda Jepang sekarang
membenci orangtua mereka sendiri yang pandangan hidupnya cuma untuk
kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan orangtua yang telah membuat
hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang sekarang mengisi
kehidupannya di mall dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang politik,
free seks, narkoba, dan entah apa lagi. Tetapi sayang, mereka tidak
menemukan yang dicarinya di sana. Karena kebahagiaan bukan berbentuk
barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa yang diidamkan
terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan. Mirip dengan
hati sanubari yang menyelimuti orang-orang kafir. Allah mengibaratkan
padanya seperti gelap tapi masih diliputi awan berlapis-lapis. Itulah
hati dan jiwa orang yang tak pernah merasakan “cahaya” iman.
أَوْ
كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ
مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ
يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُوراً
فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ
“Atau (keadaan orang-orang kafir)
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang,
di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang
berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat
melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka
dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun." (QS. An-Nur (24) : 40).”
Sebut
saja Negara Amerika Serikat (AS), tercatat sudah menjadi mall terbesar
di dunia. Lebih banyak mall dibangun di dunia dibanding dengan sekolah
atau gereja. Lebih banyak alat elektronik canggih diciptakan. Semua
untuk pemuas kehidupan manusia. Hanya saja, tidak bisa menolong orang
dengan krisis spiritual dalam kehidupan yang glamor. Kelaparan orang
modern berbentuk miskin orientasi dan sikap hidup.
Pendiri
Sightline dan peneliti senior di Institut Worldwatch di Washington, DC,
Alan Thein Durning pernah mengatakan, gaya hidup konsumerisme Barat tak
membuat kebahagiaan orang meningkat. Peningkatan gizi, minim sekali
sumbangannya bagi kebahagiaan orang seorang di Amerika Serikat, dari
tahun 1957 sampai sekarang tetap saja sepertiganya. Padahal selama lebih
dari tiga dasawarsa, pola hidup konsumerisme telah berlipat kali lebih
besar.
Akibatnya, banyak anak di dunia harus menggendong
cita-cita, ambisi, dan falsafah hidup yang keliru yang bukan miliknya
sendiri. Mereka memikul ambisi orangtua, kemauan politik, dan kesalahan
sistem pendidikan bangsanya. Mereka disetting agar siap sukses dan
berprestasi di mata dunia (dalam ukuran-ukuran materi dan finansial).
Mereka dipilihkan jalan hidup yang terbukti salah.
Kita, rupanya
ikut terlanjur mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi “nomor satu”,
seperti dilazimkan dalam kredo bangsa Amerika. Semua anak digiring
bercita-cita agar menjadi dokter, insinyur, atau apa saja karena profesi
semacam itu dinilai orang potensial meraup uang. Karenanya, Mohammad
Iqbal pernah mengatakan, ”Pendidikan modern tidak mengajarkan air mata pada mata, dan kekhusuan di hati”, serta karakter.”
Saatnya
kita dan anak-anak kita memerlukan logoterapi, bentuk terapi agar hidup
yang pecah menjadi utuh dan bernilai. Sekarang kita membutuhkan kembali
ilmu kehidupan itu bagi semua anak bangsa agar tahu bahwa menemukan
cara hidupnya yang indah sama baiknya dengan cara matinya yang
mempesona. Kematian yang berkesan dihati banyak orang. “‘isy kariiman au mut syahiidan.”
Adalah
Ibrahim Al A’zham, seorang putra mahkota yang akhirnya memilik keluar
dari istana dan menyukai tinggal di luar kekuasaan. Dalam sebuah doa di
shalat tahajjutnya, ia memanjatkan doa. “Kami merasakan kelezatan
spiritual, sekiranya para raja mengetahui bahwa sumber kebahagiaan
bersumber dari sini, mereka akan menguliti kami karena dengki.” Inilah iqamatul haq (panggilan kebenaran) dan iqamatud din (panggilan agama) yang harus kita ajarkan pada anak-cucu kita.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Red: Cholis Akbar
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment