Thursday 11 April 2013

Jadikan Shalat sebagai Madrasah

Kamis, 03 Januari 2013


Oleh: Sholih Hasyim

SETIAP momentum bulan Rajab, biasanya  seorang muslim disegarkan ingatannya oleh peristiwa  monumental, yaitu Isra dan Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam . Beliau diperjalankan  oleh Allah Subhanahu Wata’ala setelah mengalami tahun kesedihan (‘amul huzni). Disebabkan oleh kematian istri tercintanya dan paman yang dihurmatinya, yang selama ini keduanya selalu mensupport beliau dalam suka dan duka merintis jalan dakwah.
Perjalanan beliau menembus dimensi ruang dan waktu, memberikan pelajaran mendasar bahwa kerumitan apapun yang dihadapi seorang pejuang kebenaran dan keadilan akan ditemukan solusinya dengan media menegakkan shalat. Dengan shalat, kesulitan apapun yang dihadapi akan menjadi mudah, karena  mengundang intervensi dan keterlibatan Allah Subhanahu Wata’ala (tadakhul rabbani).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[*], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah (2) : 153).
Ada pula yang mengartikan : mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar (keteguhan dan ketegaran jiwa) dan shalat. Ash Shalatu mi’rajul mukmin (shalat adalah mi’raj - media untuk berinteraksi ke langit  -  seorang mukmin) (al-Hadits).

Selain itu, peristiwa Isra dan Mi’raj menjadi bukti yang sangat valid  alangkah agungnya perintah ibadah shalat. Berbeda dengan perintah yang lain, perintah shalat diterima oleh Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam secara langsung menghadap-Nya di Sidratul Muntaha, tanpa melalui perantara malaikat Jibril.
Peristiwa bersejarah tersebut, seharusnya memberikan pelajaran berharga bagi seorang muslim untuk mengadakan evaluasi secara total dan radikal (fundamental) mutu pelaksanaan shalat kita. Dengan harapan ibadah mahdhah tersebut mampu memberikan pengaruh yang signifikan (atsarun fa’aal) dalam membentuk kepribadian muslim secara utuh baik dari sisi mujahadah (kecerdasan spiritual), ijtihad (kecerdasan intlektual) dan jihad (kesedian untuk berkurban di jalan Allah Subhanahu Wata’ala).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Munafiqun (63) : 9)

Dengan dievaluasi secara berkesinambungan,  semoga kelak hisab shalat lebih ringan. Juga ada peningkatan mutu baik pisik dan dimensi ruhani. Shalat yang kita lakukan tidak sebatas kaya ritus formal serimonial yang menjemukan, tetapi miskin aplikasi. Kita berharap shalat yang kita lakukan fungsional memberikan maknawiyah (spirit), yang dapat mengantarkan kita menjadi sholih linafsihi (sholih untuk dirinya) dan shalih lighoirihi (shalih kepada orang lain). Dan menjaga keseimbangan dimensi hablun minallah (hubungan vertical) dan hablun minannas (hubungan horizontal).

Nilai-Nilai Tarbiyah dalam Shalat
Secara empiris mengajarkan, setidaknya ada sembilan pelajaran penting (hikmah)  yang diserap  dalam ibadah shalat.

Pertama: Tazkiyatun Nafs (mensucikan jiwa). Shalat mendidik pelakunya untuk mensucikan dirinya dari virus ruhani yang menjadi pemicu pelanggaran/penyimpangan dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia dahulu sampai sekarang. Yaitu, penyakit serakah (thama’), yang diwariskan oleh Adam as. Yang berefek pada terusirnya dari surge, takabur (sombong) yang ditularkan oleh Iblis, berakibat sebagai penghalang masuk surga dan hasud (dengki) yang dipusakakan oleh Qabil, pemicu terjadinya pembunuhan pertama kali di dunia ini.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al Ankabut (29) : 45)

Kedua: Tarbiyatul Wahdah Al Islamiyah (pendidikan persatuan umat Islam). Orang yang shalat menghadap ke tempat/arah yang sama (kiblat), yaitu Baitullah (Ka’bah). Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan yang diikat oleh nilai-nilai prinsip (jamaah), bukan sekedar bergerombol (majmu’ah), berkumpul karena ikatan kerja (materi). Jamaah akan terwujud jika didorong oleh kebersihan hati individunya dari berbagai kepentingan kecuali menomorsatukan Allah Subhanahu Wata’ala dan mengagungkan syi’ar-syi’arnya. Semua bentuk persahabatan, kesepahaman akan memicu permusuhan dikemudian hari kecuali didasari oleh spirit iman dan takwa. Tahapan persatuan diawali dari saling mengenal (taaruf), saling memahami (tafahum), saling menyayangi (tarahum), saling menanggung (takaful), saling menolong (tanashur).

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zuhruf (43): 67).

Ketiga: Harish ‘ala waqtihi (bersungguh-sungguh dalam mengelola waktunya)
Seorang Muslim jadual kehidupannya diatur oleh waktu shalat. Transaksi milyaran rupiah akan dia batalkan jika panggilan shalat telah dikumandangkan. Ia yakin, jika memperoleh undangan seseorang, maka yang mengundang sudah mempersiapakan hidangan kepada yang diundang. Apalagi yang mengundang adalah Zat Yang Maha Kaya, sudah tentu yang disisi-Nya lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka, dia beruapaya melakukannya untuk tepat waktu. Memenuhi adab lahir dan batin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al Anfal (8): 24)

Keempat: Munadhdhamun fil Jama’ah (disiplin dalam berorganisasi). Sholat mendidik tertib organisasi, menyangkut tertibnya berjamaah dengan barisan yang rapi, rapat. Tidak boleh ada barisan yang kosong agar tidak dimasuki syetan. Muslim yang satu dengan yang lain bergaul dengan penuh kedekatan, keeratan dan keakraban. Rasulullah bersabda : Orang beriman itu mudah untuk harmonis dan mudah untuk diharmoniskan, tiada kebaikan bagi mukmin yang tidak mudah jinak dan tidak mudah dijinakkan (al Hadits). Dalam al-Quran panggilan untuk orang-orang beriman (ya ayyuhalladzina amanu – menggunakan jama’ -). Tidak ditemukan dalam al-Quran, sebutan untuk orang beriman dengan kata tunggal (ya ayyuhal mukmin). Hal ini menunjukkan bahwa konsekwensi keimanan seseorang adalah ia harus menempatkan dirinya bagian dari kaum muslimin di seluruh dunia.

Kelima:  Tarbiyatus Sam’i wath Tha’ati (pendidikan ketaatan). Shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan iman, tidak mendahului walaupun sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen (keterikatan yang kuat) atau loyal, serta meniadakan penolakan perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. Sesungguhnya efek ketaatan itu akan kembali kepada kita sendiri. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala.”(HR Ahmad). Seorang makmum menyadari jika ia tidak berhasil menanamkan kultur sami’na wa ‘atha’na terhadap pemimpin yang disepakati, maka kelak anak buahnya tidak akan patuh kepadanya. Agar kita memiliki anak shalih/ah, terlebih dahulu kita harus menjadi putra yang shalih/ah bagi orang tua kita. Jika kita mudah mengobral kutukan kepada sesepuh kita, maka anak kita nanti akan mengutuk kita.

Keenam: Qaulu Kalimatil hak ‘inda sulthanin jair (berani menyampaikan kebenaran di depan pemimpin yang zhalim). Shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Karena ia mencintai pemimpinnya, tetapi lebih mencintai kepada kebenaran. Maka, jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan. Tidak membiarkannya melakukan kezhaliman. Teman yang benar bukanlah yang selalu setuju dengan pendapat kita, tetapi yang selalu meluruskan kita jika terjerumus dalam lubang kehancuran.

Ketujuh: Tarbiyatul Musawah  (mendidik sikap egaliter). Shalat mendidik persamaan hak. Surga berhak ditempati bagi orang yang bersegera menuju ketaatan sekalipun dia berasal dari suku Habasyah dan neraka berhak ditempati bagi orang yang berbuat maksiat walaupun ia berasal dari suku Quraisy.  Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status social jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memandang tinggi kedudukan maupun tua umurnya. Karena, Allah SWT tidak menilai kedudukan, keturunan, warna kulit, tetapi menilai hati dan amal kita.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat (49) : 13)

Kedelapan: Tarbiyatush Shihhiyyah (pendidikan kesehatan). Shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik secara sederhana dan mudah gerakannya. Kata ahli hikmah : Bergeraklah terus karena dalam gerakan itu ada barakah (tambahan kebaikan). Air yang  menggenang, tidak mengalir akan menjadi sarang kuman. Demikian pula apabila pisik tidak bergerak secara stimulan dan simultan akan mudah keropos dan gampang terserang penyakit.

Kesembilan: Tarbiyatu Mudawamatidz Dzikr (pendidikan kesinambungan mengingat Allah SWT). Secara etimologis shalat bermakna doa. Karena lafadz yang dibaca dalam shalat adalah berisi doa dan dzikir. Bahkan menegakkan shalat sesungguhnya untuk mengingat kebesaran, kemuliaan dan keagungan-Nya.

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha (20) : 14)

Dengan shalat yang dilakukan lima kali sehari semalam akan menjadikan seseorang untuk selalu mengingat-Nya. Dengan zikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala hati menjadi tenang, karena selalu ditemani oleh-Nya. Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: Saya selalu menemani orang yang mengingat-KU (ana jaliisu man dzakarani).

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d (13) : 28)

Bahkan, jika kita selalu mengingat Allah Subhanahu Wata’ala, Ia akan selalu mengingat kita. Ada kedekatan hubungan hamba dengan Al Khalik. Jika seseorang dekat dengan-Nya, maka dekat dengan rahmat, maghfirah, dan karunia-Nya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah (2) : 152).

Indikator Diterimanya Shalat

Jika shalat dilakukan dengan khusyu’ dan berlatih untuk berpisah dengan dunia maka akan melahirkan perubahan secara kongkrit pada ranah pola piker dan perilaku pelakunya. Selesai shalat melahirkan manusia baru.  Manusia yang tawadhu (rendah hati), tidak bersikap sombong kepada sesama, tidak meneruskan berbuat maksiat, pada siang hari selalu kontak dengan Allah Subhanahu Wata’ala dengan zikir, memiliki kepekaan social terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin.
Ada lima indikator utama yang bisa menjadi standar (tolak ukur) diterimanya shalat seseorang, sebagaimana hadits qudsi berikut :

اِنَّمَا اَتَقَبَّلُ الصَّلاَةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعُظْمَتِي وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَليَ خَلْقِي وَلَمْ يَبِتْ مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَتِي وَقَطَعَ النَّهَارَ لِذِكْرِي وَرَحِمَ  المَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلَ وَالاّرْمَلّةَ وَرَحِمَ المُصَابَ
“Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat dari orang yang merendahkan diri dengan shalatnya karena kebesaran-KU, yang tidak menyombongkan diri kepada makhluk-KU, yang tidak meneruskan maksiat kepada-KU, yang mengisi sebagian siang dengan berdzikir kepada-KU, yang menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan, wanita yang ditinggal mati suaminya, dan yang mengasihi orang yang ditimpa musibah.” (Sayid Sabiq,

dalam karya tulisnya : Islamuna, hal.119)

Jika nilai-nilai shalat tersebut diatas diwujudkan dalam kehidupan setiap muslim maka secara aksiomatik akan terjadi pencerahan (transformasi) dan penataan ulang orientasi dan perilaku keislaman dan keimanan dalam seluruh aspek kehidupannya baik dalam skala kehidupan individu, keluarga, bangsa, Negara dan dunia. Insya Allah.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah


Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment