Selasa, 20 Maret 2012
oleh: Shalih Hasyim
MANUSIA yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah.
Dan orang yang bertakwa segara orientasi hidupnya kepada Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). “Anta maqshuduna, ridhaka mathlubuna, dunyana wa ukhrana” (Engkaulah
tujuan puncak kami, keridhaan-Mu yang aku cari, demi menggapai
kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat kami). Bukan yang lain. Bukan
karena ilmu kita, jabatan kita, kepandaian kita, harta kita atau
orientasi dunia lainnya.
Dengan takwa, manusia selalu mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala
(سبحانه و تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya. Selalu mengingat-Nya dan
tidak melupakan-Nya. Selalu mensyukuri karunia-Nya dan tidak
mengingkari-Nya. Selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak
menjauhi-Nya, meminjam istilah Ibnu Masud dalam Tafsir Ath Thabari.
Indikator Keislaman
Lantas apa indikasinya bahwa keislaman kita sesuai “Manhaj Nubuwwah”? setidaknya ada delapan indikato yang bisa memudahkan kita sebagai alat ukur mutu keislaman seseorang;
Pertama: Terkikisnya Virus Thagha’
Istilah tagha’ (baca thogho) ini diambil dari surat Al-‘Alaq
pada ayat 6. Secara bahasa artinya melampaui batas. Seperti air yang
tumpah dari gelas, karena diisi melebihi dari ukurannya. Manusia
bersikap thagha karena merasa dirinya serba cukup (ayat 7). Merasa
dirinya sudah berharta, berilmu dan berkuasa. Tidak lagi memerlukan
bimbingan dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Jadi, pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin berhasil mengenal Islam adalah tazkiyatun nafsi (membersihkan
hati), berfikir obyektif dan terbuka. Melihat ke langit (Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)), ke tengah (ayat diri sendiri)
dan ke bawah (alam dan seisinya dan tempat kembali manusia). Jika hati
kita belum bisa disterilkan dari kepentingan hawa nafsu, dunia dan
kekuasaan, maka mustahil Islam bisa kita serap dan kita nikmati secara
baik. Islam yang bisa dijadikan pencegah dari perbuatan fahsya dan
mungkar. Bukan sekedar Islam sebagai pencuci dosa. Bangsa kita yang
mayoritas Muslim, tapi buktinya masih banyak melakukan korupsi. Karena
ajaran Islam hanya dijadikan penebus dosa sebagaimana agama lain. Dari
sini sesungguhnya sudah cukup memadai mutu keislaman kita.
Bahaya laten thagha’ akan berakibat fatal dan krusial. Yaitu membatalkan keislaman kita.
Penyakit tagha’ melahirkan tiga kejahatan yang menjadi
pemicu penyimpangan manusia sepanjang sejarah. Yaitu, sombong yang
diwariskan oleh iblis, serakah (thama’) yang ditularkan oleh Adam as dan hasud yang diwariskan oleh Qabil.
Tagha’ dan iman akan terus berhadap-hadapan sampai hari kiamat. Kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kemusyrikan, al Haqq wal Batil, tidak akan bisa dipertemukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Buah dari terkikisnya thagha’ akan mendidik manusia untuk memiliki sikap tawadhu. Rendah hati, selalu memerlukan bimbingan wahyu.
Kedua: Keimanan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)
Sasaran al-Quran adalah orang-orang yang beriman. Sekalipun tinggi
kualitas keilmuan, peradaban manusia, ketika berinteraksi dengan
al-Quran dengan memaksakan pemahamannya atau menyimpan niat yang buruk,
al-Quran yang demikian terang, menjadi kabur. Jadi, iman adalah modal
utama dan pertama untuk At-Ta’amul ma’a Al-Quran.
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak
akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman
itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah (berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus),
tanpa mengenal lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal,
mengajak kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa
tendensi apapun, pura-pura dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian,
ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut celaan orang yang
mencela.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai
kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia
yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu
tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah). “Taharrak fa-inna fil harakati barakah” (bergeraklah,
karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Dan kebaikan yang ditanam
itu akan ia panen, kembali kepada dirinya. Baik secara kontan
(langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang
lain. Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal
sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang. Air yang tidak mengalir,
akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi
berbagai pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman,
kemungkaran. Karena, semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan
dirinya sendiri. Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di
dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan.
Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat),
nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin
dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di
minum, bertambah haus.
Ali bin Abi Thalib mengatakan: Tiga hukuman bagi orang yang berbuat
maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan
keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Ketiga: Menjadikan Diri Sebagai Alat Peraga al-Quran
Kita sepakat bahwa al-Quran adalah kitab suci yang orisinil. Ini
sudah diberitakan oleh kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Namun
secara jujur kita mengakui, betapa jauhnya jarak antara kaum muslimin
dengan kitab sucinya. Bagaikan pemain layang-layang. Umat Islam belum
mampu menjadikan dirinya sebagai gambaran kongkrit “al-Quran yang
berjalan di pasar, di gedung parlemen, di jalan raya, di rumah tangga,
di lembaga pendidikan, di dunia militer” dll.
Faktanya, al Quran sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek
apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, arah kehidupan,
orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa
dan negara.
Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah
al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita. Sehingga
al-Quran merubah kehidupan kita secara total dan merujuk referensi isi
al-Quran.
Sikap seorang Muslim terhadap al-Quran seharusnya ada empat hal. Tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya), tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan),
kemudian mengajak orang lain ke jalan Al Quran tersebut. Mustahil
mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak mengamalkannya. Jadiakan
al-Quran sebagai pembelamu (hujjatun laka) atau penggugatmu (hujjatun ‘alaika),
demikian Sabda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و
سلم). Artinya, al-Quran bisa memperkuat sikap kita sebaliknya bisa
menghancurkan kita atas sikap-sikap kita yang tak sesuai dengan nilai
yang terkandung salam al-Quran.
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa
tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya
mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah
bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri]." (QS. Al Araf (7): 203-204).
Keempat: Menjadikan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam sebagai Idola
Tujuan puncak orang beriman adalah mencari ridha Allah (Ya Allah Ya Rabbana Anta Maqshuduna, Ridhaka Mathlubuna Dunyana Wa Ukhrona).
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah
manusia yang dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat
manusia.
Tujuan berislam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) atau "Allahu Ghoyatuna". Dan salah satu strategi menjalankannya dalam kehidupan adalah mengikuti Rasulullah Muhammad.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab
(33) : 21)
Tapi mari kita saksikan pada diri kita semua, saudara kita, atau
anak-anak kita. Siapa sosok yang menjadi idola kita atau mereka?
Nabikah? Yang cukup menggenaskan, di Bandung, wanita-wanita yang
mengidolakan Ariel Paterpan, artis pelaku pornografi justu gadis-gadis
berjilbab. Jangan-jangan di antara mereka adalah anak kita. Na’udzu Billah min dzalik.
Kelima: Ibadah, Refleksi dari Keimanan
Agar hati bisa dirawat dari berbagai penyakit yang mengotori dan
merusaknya, memerlukan ketekunan dalam ibadah kepada-Nya. Untuk menguji
kualitas komitmen keimanan seseorang adalah giat beribadah kepada Allah.
Baik yang wajib ataupun yang sunnah. Ketaatan beribadah merupakan
turunan dari keimanan. Pengertian iman adalah, “Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal 'amalu bil arkan.” (Iman
itu diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan
dengan anggota badan). Bukan disebut beriman hanya karena dia memakai
songkok putih, bergelar haji, tetapi tindak-tanduknya belum mencerminkan
seorang Muslim. Atau tidak bisa seseorang dikatakan sholeh hanya
karena dia baik, suka menyumbang fakir-miskin, tetapi dia kafir atau
tidak pernah sholat. Seorang yang beriman namanya mukmin. Dan orang
Mukmin, dia pasti rajin beribadah dan kuat memegang syariat Allah.
Keenam: Bangkit untuk Inqadzul Ummah
Tidak cukup seorang muslim puas jika melihat dirinya shalih,
sedangkan membiarkan orang lain jahat. Islam yang benar, di samping
dirinya shalih, pula mengajak saudaranya menjadi shalih pula. Seorang
muslim yang tidak memiliki kepekaan sosial, maka suatu saat keimanan
yang dimilikinya akan mengalami degradasi. Karena secara individual
orang yang shalih disebut khairul bariyyah, dan membentuk umat sehingga menjadi khairu ummah. Mustahil menjadi khairu ummah tanpa bahan dasar khairul bariyyah. Insan shalih tidak bisa dipisahkan dari al mujtama’ ash-shalih (masyarakat yang shalih).
Jadi, kita dituntut untuk shalih linafsihi dan shalih lighairihi.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً
لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah.” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Ketujuh: Menegakkan Kepemimpinan Imamah dan Jamaah
Konsekwensi keimanan seseorang adalah berjamaah (berkumpul karena
ikatan la ilaha illallah muhammadur rasulullah). Bukan sekedar ikatan
kerja. Manusia adalah makhluk sosial. Sekalipun memikul pekerjaan
sederhana, misalnya tertawa, mencukur rambut, memerlukan keterlibatan
orang lain. Lebih-lebih melaksanakan ajaran Islam yang demikian lengkap
dan mengandung persoalan yang kompleks. Islam bukan sekedar makanan
akal, pula konsumsi hati dan perasaan. Islam tidak sebatas dipahami,
tetapi perlu diperagakan dalam kehidupan nyata. Din (konsep) tidak bisa
dipisahkan dari daulah (penerapannya). Orang Islam dituntut menunjukkan
bahwa dirinya adalah alat peraga al-Quran dan as-Sunnah. Yang berjalan
di alam nyata.
Dan Islam tidak akan berdiri tegak dan teraplikasikan secara kaffah
tanpa adanya sebuah jamaah yang kuat dan berwibawa. Kita sangat
diuntungkan dengan berjamaah, untuk menjaga keshalihan kita. Di samping
itu, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan orang beriman dengan
menggunakan kata tunggal (mufrad), - aman - tetapi memakai isim jama’ – amanuu -.
Kepemimpinan yang dibangun tidak berdiri di atas prinsip laa ilaaha
illah muhammadurrasulullah, maka mustahil bisa menguatkan ikatan hati.
Sebagaimana kondisi masyarakat Yahudi yang digambarkan dalam al-Quran.
Karena masing-masing individu berjiwa kerdil. Imamah jamaah adalah media
yang paling efektif untuk menyederhanakan perbedaan kita dan
menonjolkan persamaan. Mengecilkan persoalan furuiyah (cabang agama) dan membesarkan persoalan ushul (pokok). Karena, perkumpulan kita diikat oleh ikatan yang prinsip (ideologis), La ilaha illah wa Muhammadur Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam. Bukan kepentingan pragmatis dan sesaat serta jangka pendek.
Kedelapan: Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah
Inilah nikmat tertinggi yang kita rasakan setelah nikmat iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ukhuwwah Islamiyah inilah yang berhasil memutus mata rantai ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), ananiyah
(egoisme), keangkuan, kesombongan, atribut dan asesoris lahiriyah, yang
menjadi pilar berdirinya masyarakat jahiliyah. Persaudaraan yang diikat
oleh ikatan tauhid ini yang bisa mengungguli ikatan kekeluargaan
seketurunan.
Inilah sebuah ikatan yang kokoh, karena dibingkai oleh prinsip.
Saling cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى). Maka, lahirlah sebuah ungkapan; “Seandainya cinta dan kasih
sayang itu telah merasuk dalam kehidupan maka manusia tidak memerlukan
keadilan dan undang-undang.”
Kasmansingodimejo salah satu pendiri Muhammadiyah pernah mengatakan;
“Sesungguhnya kaum muslimin sekalipun hanya mengumpulkan kerikil, dalam waktu dekat akan menjadi gunung.” Seandainya jumlah kaum muslimin yang demikian besar dan berhasil menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka (furuiyah), maka hanya sekedar kencing secara berjamaah di pemukiman Yahudi di Palestina, mereka akan “tenggelam”.
Imam Syafii mengatakan’ “Allah tidak akan menolong umat yang bercerai-berai, baik dahulu, kini dan umat yang akan datang.”
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, kata pepatah Indonesia.
Karena, tangan Allah di atas orang yang berjamaah (berkumpul karena
ikatan iman), bukan sekedar berhimpun dan bergerombol karena hobi.
Semoga, tulisan ini semakin memperkokoh dan memperkuat identitas keislaman kita semua. Amin.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Red: Cholis Akbar
www.hidayatullah.com
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment