Senin, 4 Jun 07 07:03 WIB
Kirim teman
Assalumualaikum wr wb
Pak ustadz yang terhormat,
Selama ini ada hal-hal yang menjadi keraguaan saya, salah
satunya adalah apakah berdosa bila kita melanggar peraturan yang dibuat
manusia, seperti bila kita melanggar peratuaran lalu lintas, menyeberang
sembarangan, buang sampah tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
Dan bagaimana bila kita membeli barang dari orang-orang yang
melanggar peraturan itu, seperti membeli sesuatu dari pedagang yang berjualan
di trotoar di mana telah ada larangan untuk berjualan di sana.
Dan bagaimana dengan barang-barang yang menggunakan MERK
PALSU, seperti pakaian yang menggunakan merk terkenal tetapi dijual murah
karena dijual di tempat yang menengah ke bawah, karena biasanya barang-barang
tersebut di buat lokal, tetapi mengguanakan merk terkenal.
Saya mohon bantuanya, dan sebelumnya saya ucapkan terima
kasih.
Wassalamu'alakum, wr, wb.
Edy77
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Peraturan yang dibuat manusia ada dua macam. Pertama,
peraturan buatan manusia yang terkait dengan peraturan yang ditetapkan Allah.
Kedua, peraturan buatan manusia tapi tidak terkait dengan peraturan yang
ditetapkan Allah.
Peraturan Jenis Pertama
Peraturan jenis pertama, karena terkait dengan peraturan
dari Allah, maka pelanggaran atas peraturan itu langsung terkait dengan hukum
yang ditetapkan Allah. Misalnya, ada aturan di suatu tempat untuk tidak boleh
minum khamar, berzina atau mencuri. Tentu peraturan itu terkait juga dengan
ketetapan Allah SWT, karena Allah SWT juga mengharamkan minum khamar, berzina
dan mencuri.
Pelanggaran atas peraturan ini jelas merupakan pelanggaran
atas ketetapan Allah SWT. Maka hukumnya berdosa di sisi Allah selain juga mendapat
hukuman dari manusia yang membuat peraturan.
Namun bisa juga terjadi sebaliknya, ada peraturan buatan
manusia yang justru bertentangan dengan hukum Allah SWT. Misalnya, peraturan
buatan manusia yang melarang wanita menutup aurat, atau melarang shalat atau
melarang puasa wajib Ramadhan. Peraturan ini jelas melanggar aturan dari Allah
SWT, sebab menutup aurat, shalat dan puasa adalah kewajiban dari Allah SWT.
Maka mentaati peraturan ini justru berdosa kepada Allah SWT,
kecuali bila sampai titik darurat yang sudah tidak ada jalan keluar lagi, dalam
hal ini Allah SWT masih memberikan toleransi, sebagaimana yang diberikannya
kepada Ammar bin Yasir ra yang disiksa secara pisik dan psikis.
Peraturan Jenis Kedua
Sedangkan peraturan jenis kedua, yaitu peraturan yang tidak
terkait dengan hukum Allah SWT secara langsung, masih bisa terbagi lagi.
Setidaknya bisa kita bagi dua.
Pertama, kita tidak terikat secara langsung dengan peraturan
itu. Kita hanya jadi orang yang tidak secara langsung terikat tetapi sesungguhnya
kita tidak bisa dikaitkan dengan peraturan itu.
Contohnya, pengendara mobil CD (corps diplomat) punya
kekhususan tersendiri yang tidak terikat dengan peraturan lalu lintas yang
berlaku. Orang menyebutkan dengan istilah kekebalan hukum atau kekebalan
diplomatik.
Kedua
Dalam kondisi kita terikat secara langsung dengan peraturan
itu, maka kita wajib taat dan tunduk kepada peraturan itu.
Bayar Tiket Kereta
Misalnya, peraturan bahwa setiap warga boleh naik kereta api
Jabotabek dengan syarat harus membayar sesuai dengan tarifnya. Maka kita wajib
membayar, tidak boleh jadi penumpang gelap, apalagi membayar kepada kondektur.
Juga tidak boleh naik ke atas gerbong. Ini yang namanya peraturan dan wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim.
Larangan Berdagang Sembarangan
Demikian juga dengan pedagang kaki lima. Mereka wajib taat
kepada peraturan untuk tidak berjualan di tempat sembarangan. Akibatnya jelas
sangat merugikan. Jalanan dan trotoar menjadi macet, orang lalu lalang menjadi
terhambat, dan ini melanggar peraturan bersama.
Meski bukan berarti otomatis langsung haram, namun kalau
semua orang sepakat tidak membeli dari kaki lima yang menghambat jalan, pasti
besok-besok pedagang itu tidak akan menggelar dagangannya sembarangan.
Kita tidak perlu menggunakan vonis haram untuk mencegah
'kebandelan' pedagang kaki lima, tetapi kembali kepada kesadaran kita untuk
ikut menertibkan para pedagang kaki lima itu, agar tidak membuat kemacetan.
Kalau semua orang sepakat tidak membeli dari pedagang kaki lima yang bikin macet
jalan, maka pasti pedagang itu akan kapok.
Boleh saja pemerintah menetapkan peraturan bahwa siapa saja
yang membeli dagangan kaki lima yang salah tempat, akan dikenakan sanksi.
Sayangnya, peraturan itu malah tidak ada, yang dilarang hanya berjualan saja.
Akan tetapi masalah pedagang kaki lima ini sangat kompleks,
dari data dan wawancara langsung, kita menemukan mereka main salah-salahan
dengan polisi dan tramtib, serta ditambah lagi dengan para preman setempat yang
ternyata berperang menjadi backing.
Seharusnya preman itu yang dihabisi duluan, dipecah
jaringannya dan dikembalikan ke jalan yang benar. Bukan dipelihara oleh oknum
aparan untuk suatu saat dimanfaatkan. Rupanya bisnis premanisme sudah sangat
menguntungkan, sehingga di mana-mana preman bermunculan karena deman
(permintaan) pasarnya sangat tinggi.
Sengketa lahan kaki lima di Pasar Kebayoran Lama kemarin
tidak lepas dari urusan dua gank preman yang ribut lahan. Padahal lahan itu
jelas bukan buat kaki lima, juga bukan buat parkir, tetapi untuk jalan umum.
Peraturan Lalu Lintas
Demikian juga dengan peraturan lalu lintas, pada hakikatnya
setiap warga negara wajib mentaatinya. Terlebih lagi seorang muslim yang baik.
Karena peraturan itu dibuat untuk ketertiban, kemudahan dan kelancaran berkendara.
Surat-surat kendaraan harus diurus, mulia dari STNK, SIM hingga perlengkapan
berkendara seperti helm, sit belt, dan lainnya.
Seorang muslim yang baik tentu sadar bahwa semua itu bukan
sekedar peraturan, melainkan cermin dari peradaban. Seorang yang sengaja tidak
melengkapi semua itu bisa digambarkan bahwa pada jiwanya masih ada sisa-sisa
peradaban masa lalu. Tidak punya SIM saat mengemudi bukan karena tidak punya
uang tapi memang sengaja melanggar, tentu bukan sikap muslim yang patut untuk
diteladani.
Apalagi bila dia seorang ahli dakwahyang seharusnya menjadi
panutan umat. Kalau sosok panutannya saja adalah pelanggar peraturan (meski
bukan termasuk pelanggaran berat), namun umat akan mencontoh dan mengidentikkan
hal itu dengan ajaran Islam yang dibawanya.
Padahal mengurus SIM atau STNK bukan kejahatan apalagi dosa,
sebaliknya malah sangat baik untuk ketertiban dan keamanan berkendara. Jangan
pakai lagi alasan kalau bikin SIM tetap berdosa karena harus menyogok dan
lainnya.
Mentaati semua peraturan lalu lintas memang bukan perintah
Al-Quran secara langsung, juga tidak ada di dalam hadits Bukhari. Namun bukan
berarti tidak perlu dilakukan, karena di mana-mana di dunia ini, semua warga
negara yang baik pasti mentaati peraturan lalu lintas.
Merek Palsu
Memalsu mereka tentu melanggar undang-undang, selain
merugikan konsumen. Dalam bab merugikan konsumen, memalsu merek jelas melanggar
ajaran Islam. Perbuatan ini termasuk Ghisy (penipuan) yang secara prisip sangat
dilarang.
Namun bagaiamana bila konsumen sudah tahu bahwa merek itu
palsu? Apakah boleh membelinya?
Secara hukum dasar tentu saja boleh. Sebab unsur Ghiys sudah
tidak terjadi. Kedua belah pihak sama-sama tahu keadaan barang dan nilai
uangnya.
Tinggal masalah pelanggaran penggunaan merek dagang. Para
ulama telah sepakat bahwa merek dagang termasuk bagian dari hak kekayaan
intelektual yang wajib dijaga dan dilidungi. Memalsu merek dagang termasuk
perbuatan mencuri yang diharamkan oleh para ulama kontemporer.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment