Jumat, 10 Agu 07 09:43 WIB
Kirim teman
Apakah menyentuh wanita setelah wudhu dapat menyebabkan
wudhu kita batal? Terima kasih atas jawabanya.
Igi
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam masalah hukum wudhu', hukum menyentuh wanita bagi
seorang laki-laki menjadi masalah yang diperdebatkan. Sebagian ulama mengatakan
sentuhan kulit langsung itu membatalkan wudhu'. Sebagian lainnya mengatakan
bahwa yang membatalkan hanyalah bila sentuhan itu diiringi dengan syahwat. Sebagian lagi mengatakan bahwa yang batal
hanyalah pihak yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak batal.
Bahkan ada
pendapat yang mengatakan bahwa sentuhan yang dimaksud bukan sentuhan kulit,
melainkan sebuah bahasa ungkapan halus dari hubungan seksual.
Padahal ayat yang
mereka gunakan sama, yaitu ayat 23 surat An-Nisa':
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 23)
Perhatikan
terjemahan yang kami tebalkan, kamu telah menyentuh perempuan. Inilah kata yang
oleh para ulama diperselisihkan. Uraiannya berikut ini:
a. Pendapat Yang
Membatalkan Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan yang
maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar
bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`. Ulama kalangan As-Syafi`iyah
cenderung mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah, sehingga menurut mereka
sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan
wudhu`.
Menurut mereka,
bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna
kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil
lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam
Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah
mencium.
Namun bila
ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita
juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa
yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh
tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat
yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan
(suami isteri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami isteri
tidak membatalkan wudhu`.
b. Pendapat Yang
Tidak Membatalkan Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah,
sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik adalah termasuk hal
yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua
salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan
Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan
itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan
wudhu`.
Pendapat mereka
dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW
pernah menyentuh para isterinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu`
lagi.
Dari Habib bin
Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium
sebagian isterinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya
kepada Aisyah, ”Siapakah isteri yang dimaksud kecuali anda?”. Lalu Aisyah
tertawa.(HR Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Jadi kita tetap
akan menemukan sepanjang masa, umat Islam yang berpendapat sesuai dengan
pendapat pertama dan kedua. Sebenarnya masing-masing tidak bisa disalahkan,
karena kedua pendapat itu lahir dari hasil ijtihad para ulama yang punya
kompetensi tingkat tinggi. Jadi silahkan pilih pendapat yang mana saja yang
menurut anda lebih kuat.
Namun jangan
sekali-kali menyalahkan pendapat orang lain, sekiranya tidak senada dengan
pendapat kita. Setidaknya, tidak perlu harus mencaci maki, menjelekkan,
mencemooh, apalagi sampai harus menuduhnya sebagai ahli bid'ah atau pun calon
penghuni neraka. Cara berbeda pendapat seperti itu kurang mencerminkan
kedewasaan dalam etika berilmu. Sebaiknya kita hindari.
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment