Thursday 11 April 2013

Iman Kuat, Dahsyat!

Kamis, 19 Januari 2012

oleh: Shalih Hasyim
"Taharrak fa-inna fil harakati barakah" (bergeraklah, karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Kebaikan yang ditanam pasti akan kita panen kembali kepada diri kita masing-masing. Baik secara kontan (langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang lain. Justru, jika berhenti bergerak,  potensi yang dimilikinya tinggal sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang.  Ibarat air yang tidak mengalir, ia hanya akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.
Tapi dengan apa seseorang bisa terus aktif memancarkan energy positif berupa kebaikan? Jawabannya dengan iman. Sebab hanya dengan imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi  berbagai pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena, semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri. Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan. Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di minum, bertambah haus.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah).
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah (berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut celaan orang yang mencela.
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan;  “Tiga hukuman bagi orang yang berbuat maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).”
Iman adalah thumuhat (gelora), ghirah (kecemburuan), yang mencerdaskan akal pikiran kita, menguatkan tekat dan membersihkan hati kita, mempertajam emosi dan perasaan kita, mengasah kepekaan sosial kita, menggerakkan raga kita untuk berjihad mengharumkan nama-Nya. Bahkan, membangkitkan serta memberdayakan segala potensi kita menuju batas maksimal.
Imanlah yang secara radikal berhasil merubah manusia yang jahat menjadi baik. Dari makhluk yang paling buruk (syarrul bariyyah), menjadi makhluk yang paling mulia (khoirul bariyyah). Kemudian, kebaikan menjalar dalam kehidupan masyarakat, menjadilah umat yang terbaik (khoiru ummah). Masyarakat itu kemudian akrab, dekat dan erat diikat oleh nilai-nilai prinsip itu (keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).
Iman merubah yang kaya menjadi dermawan (suka memberi). Yang miskin menjadi pandai memelihara kehormatan dirinya dan sabar. Iman juga mampu merubah seseorang di level kepemimpinan (qiyadah) bisa berbuat adil, sedang pada level bawah (junud), melahirkan sikap sam’an wa tha’atan (saya mendengar dan saya mentaati). Dan yang pintar akan memiliki sifat takwa, sehingga tidak untuk memperdayai yang bodoh. Yang tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua.
Dengan iman menjadi ilmu dan teknologi yang dimiliki mereka menjadi sarana untuk mempermudah dalam mengarungi kehidupan dan semakin bertaqwa kepada Allah, bukan malah menjadi ia tersesat jauh. Dengan iman pula, kesenian menjadi sumber inspirasi kebaikan. Iman, ibadah, akhlak mereka yang menghiasi panorama kehidupan ini. Itulah sepenggal firdaus di bumi, meminjam istilah Syeikh ‘Ali Tanthawi.
Berkaca Pada Masa Lalu
Jika kita telusuri  bobot keimanan para sahabat yang dibina lansung dalam madrasah nubuwwah, sungguh kita akan berdecak kagum.  Dengan iman lahirlah orang seperti  Bilal bin Rabah, yang mampu bertahan di bawah tekanan batu karang raksasa dengan terik matahari padang pasir yang membakar tubuh hitam kelamnya. Ia sukses membunuh majikannya dalam peristiwa perang Badar. Ia yang semula seorang budak bisa berubah menjadi manusia besar.
Abu Bakar yang lembut, selalu meneteskan air mata setiapkali menjadi imam shalat, menjadi sangat keras dan tegar melebihi ketegasan Umar bin Khathab ketika memerangi kaum murtaddin (keluar dari Islam dan menolak syariat zakat). Umar adalah pemimpin besar dan terhormat, yang rela membawa gandum dipundaknya langsung ke rumah seorang perempuan miskin di kegelapan malam. Siapa pemimpin kita di dunia bisa seperti ini?

Khalid bin Al Walid, si pedang terhunus, menyukai malam-malam dingin dalam jihad fii sabilillah daripada seorang cantik di malam pengantin. Sedang seorang pemuda Ali bin Abi Thalib bersedia memakai selimut Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan tidur menggantikan posisi beliau ketika kaum kuffar sedang berencana melakukan makar atasnya. Di mana kita bisa mencari para pemuda-pemuda Muslim yang rela menyerahkan “dadanya” untuk kemuliaan Islam di saat mereka selalu ingin kesenangan dan hura-hura?

Utsman bin Affan dengan senang hati membeli sumur “Raumah” milik Yahudi dengan harga dua kali lipat untuk mengatasi krisis air yang menimpa kaum Muslimin Madinah. Ia juga menginfakkan seluruh hartanya pada medan peperangan yang dikenal sulit (jaisyul usrah), perang Tabuk.

Hanya iman yang bisa melahirkan ketegaran, keteguhan jiwa kepada pemiliknya, sekalipun berhadapan dengan kezaliman raja, bahkan melawannya.

Iman-lah yang menjadikan Nabiyullah Muhammad Saw bisa tertidur dengan pulas sekalipun nyawanya dalam keadaan terancam. Karena sandarannya yang demikian kuat kepada hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain.Bukan karena jabatan-jabatan, posisi, bukan pula uang, atau senjata.

إِلاَّ تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُواْ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا فَأَنزَلَ اللّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُواْ السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya : Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. 9 : 40).

Karena itu, apapun namanya di dunia ini, entah kedudukan, kekayaan, kepandaian, kecantikan yang tidak ditemani oleh iman ia hanya akan membuat pemburunya senantiasa kecewa. Ia disangka air yang bisa membasahi kerongkongan yang kering karena kehausan. Namun setelah didatanginya, sesungguhnya hanyalah berupa fatamorgana.

 وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. " (QS. 24 : 39).

Karenanya, orang-orang kafir  itu --karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu Wata’ala di akhirat-- walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu.

Kata Nabi, gerakan iman laksana taman yang menghiasi kehidupan. Di huni oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya. Para umara yang mengelola kekuasaanya dengan keadilan. Para pebisnis yang berniaga dengan kejujuran. Masyarakat bawah yang rajin beribadah. Dan para kaum profesional yang bekerja dengan taat aturan. Iman yang mengubah manusia fatalis, konsumtif, menjadi sosok yang produktif, kreatif, inovatif dan dinamis.
Mari kita rawat keimanan yang kita miliki selama agar tak terserang berbagai virus syahwat, syahwatul bathn (syahwat perut), syahwatul farj (syahwat kelamin), hubbud dunya (penyakit cinta dunia) dan syubhat dari dalam, tidak steril dari berbagai noda yang mengotori kejernihannya, sehingga tidak berdaya mencerdaskan pikiran kita, menguatkan tekad dan membersihkan hati kita, mempertajam emosi dan perasaan kita, mengasah kepekaan sosial kita, dan tidak bisa menggerakkan pisik kita untuk berjihad di jalan-Nya.*
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Red: Cholis Akbar

No comments:

Post a Comment