Kamis, 19 Januari 2012
oleh: Shalih Hasyim
"Taharrak fa-inna fil harakati barakah" (bergeraklah, karena
setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Kebaikan yang ditanam pasti akan
kita panen kembali kepada diri kita masing-masing. Baik secara kontan
(langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang
lain. Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal
sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang. Ibarat air yang tidak
mengalir, ia hanya akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.
Tapi dengan apa seseorang bisa terus aktif memancarkan energy positif
berupa kebaikan? Jawabannya dengan iman. Sebab hanya dengan imanlah
yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi berbagai
pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena,
semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri.
Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa,
sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan. Imanlah yang mencegah
pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu
kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin dicicipi dengan cara
yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di minum, bertambah haus.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai
kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia
yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu
tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah).
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak
akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman
itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah
(berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal lelah,
dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan
dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura
dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan
serta tidak takut celaan orang yang mencela.
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan; “Tiga hukuman bagi orang
yang berbuat maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit
menemukan jalan keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah
Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).”
Iman adalah thumuhat (gelora), ghirah (kecemburuan),
yang mencerdaskan akal pikiran kita, menguatkan tekat dan membersihkan
hati kita, mempertajam emosi dan perasaan kita, mengasah kepekaan sosial
kita, menggerakkan raga kita untuk berjihad mengharumkan nama-Nya.
Bahkan, membangkitkan serta memberdayakan segala potensi kita menuju
batas maksimal.
Imanlah yang secara radikal berhasil merubah manusia yang jahat menjadi baik. Dari makhluk yang paling buruk (syarrul bariyyah), menjadi makhluk yang paling mulia (khoirul bariyyah).
Kemudian, kebaikan menjalar dalam kehidupan masyarakat, menjadilah umat
yang terbaik (khoiru ummah). Masyarakat itu kemudian akrab, dekat dan
erat diikat oleh nilai-nilai prinsip itu (keimanan dan ketakwaan kepada
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Iman merubah yang kaya menjadi dermawan (suka memberi). Yang miskin
menjadi pandai memelihara kehormatan dirinya dan sabar. Iman juga mampu
merubah seseorang di level kepemimpinan (qiyadah) bisa berbuat adil, sedang pada level bawah (junud), melahirkan sikap sam’an wa tha’atan (saya
mendengar dan saya mentaati). Dan yang pintar akan memiliki sifat
takwa, sehingga tidak untuk memperdayai yang bodoh. Yang tua menyayangi
yang muda dan yang muda menghormati yang tua.
Dengan iman menjadi ilmu dan teknologi yang dimiliki mereka menjadi
sarana untuk mempermudah dalam mengarungi kehidupan dan semakin bertaqwa
kepada Allah, bukan malah menjadi ia tersesat jauh. Dengan iman pula,
kesenian menjadi sumber inspirasi kebaikan. Iman, ibadah, akhlak mereka
yang menghiasi panorama kehidupan ini. Itulah sepenggal firdaus di bumi,
meminjam istilah Syeikh ‘Ali Tanthawi.
Berkaca Pada Masa Lalu
Jika kita telusuri bobot keimanan para sahabat yang dibina lansung
dalam madrasah nubuwwah, sungguh kita akan berdecak kagum. Dengan iman
lahirlah orang seperti Bilal bin Rabah, yang mampu bertahan di bawah
tekanan batu karang raksasa dengan terik matahari padang pasir yang
membakar tubuh hitam kelamnya. Ia sukses membunuh majikannya dalam
peristiwa perang Badar. Ia yang semula seorang budak bisa berubah
menjadi manusia besar.
Abu Bakar yang lembut, selalu meneteskan air mata setiapkali menjadi
imam shalat, menjadi sangat keras dan tegar melebihi ketegasan Umar bin
Khathab ketika memerangi kaum murtaddin (keluar dari Islam dan
menolak syariat zakat). Umar adalah pemimpin besar dan terhormat, yang
rela membawa gandum dipundaknya langsung ke rumah seorang perempuan
miskin di kegelapan malam. Siapa pemimpin kita di dunia bisa seperti
ini?
Khalid bin Al Walid, si pedang terhunus, menyukai
malam-malam dingin dalam jihad fii sabilillah daripada seorang cantik di
malam pengantin. Sedang seorang pemuda Ali bin Abi Thalib bersedia
memakai selimut Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى
الله عليه و سلم) dan tidur menggantikan posisi beliau ketika kaum kuffar
sedang berencana melakukan makar atasnya. Di mana kita bisa mencari
para pemuda-pemuda Muslim yang rela menyerahkan “dadanya” untuk
kemuliaan Islam di saat mereka selalu ingin kesenangan dan hura-hura?
Utsman
bin Affan dengan senang hati membeli sumur “Raumah” milik Yahudi dengan
harga dua kali lipat untuk mengatasi krisis air yang menimpa kaum
Muslimin Madinah. Ia juga menginfakkan seluruh hartanya pada medan
peperangan yang dikenal sulit (jaisyul usrah), perang Tabuk.
Hanya
iman yang bisa melahirkan ketegaran, keteguhan jiwa kepada pemiliknya,
sekalipun berhadapan dengan kezaliman raja, bahkan melawannya.
Iman-lah
yang menjadikan Nabiyullah Muhammad Saw bisa tertidur dengan pulas
sekalipun nyawanya dalam keadaan terancam. Karena sandarannya yang
demikian kuat kepada hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain.Bukan
karena jabatan-jabatan, posisi, bukan pula uang, atau senjata.
إِلاَّ تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ
الَّذِينَ كَفَرُواْ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ
يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا فَأَنزَلَ اللّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ
كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُواْ السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللّهِ هِيَ
الْعُلْيَا وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jikalau kamu tidak
menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu)
ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam
gua, di waktu dia berkata kepada temannya : Janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. 9 : 40).
Karena itu,
apapun namanya di dunia ini, entah kedudukan, kekayaan, kepandaian,
kecantikan yang tidak ditemani oleh iman ia hanya akan membuat
pemburunya senantiasa kecewa. Ia disangka air yang bisa membasahi
kerongkongan yang kering karena kehausan. Namun setelah didatanginya,
sesungguhnya hanyalah berupa fatamorgana.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى
إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ
حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya. " (QS. 24 : 39).
Karenanya, orang-orang kafir itu --karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu Wata’ala di akhirat-- walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu.
Kata
Nabi, gerakan iman laksana taman yang menghiasi kehidupan. Di huni oleh
para ulama yang mengamalkan ilmunya. Para umara yang mengelola
kekuasaanya dengan keadilan. Para pebisnis yang berniaga dengan
kejujuran. Masyarakat bawah yang rajin beribadah. Dan para kaum
profesional yang bekerja dengan taat aturan. Iman yang mengubah manusia
fatalis, konsumtif, menjadi sosok yang produktif, kreatif, inovatif dan
dinamis.
Mari kita rawat keimanan yang kita miliki selama agar tak terserang berbagai virus syahwat, syahwatul bathn (syahwat perut), syahwatul farj (syahwat kelamin), hubbud dunya (penyakit cinta dunia) dan syubhat dari
dalam, tidak steril dari berbagai noda yang mengotori kejernihannya,
sehingga tidak berdaya mencerdaskan pikiran kita, menguatkan tekad dan
membersihkan hati kita, mempertajam emosi dan perasaan kita, mengasah
kepekaan sosial kita, dan tidak bisa menggerakkan pisik kita untuk
berjihad di jalan-Nya.*
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Red: Cholis Akbar
Kewajiban berdakwah ada pada setiap muslim dan salah satu pahala yang terus menerus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Indahnya saling amar ma'ruf nahi munkar. Indahnya memiliki Cinta dan Kasih karena Allah SWT. Indahnya kerinduan pada Rosullullah. Indahnya berfikir positif dan berprasangka baik. Indahnya zakat, infaq dan sodakoh bagi kemakmuran umat Islam dan akherat.Indahnya Islam sebagai agama tauhid pembawa rahmat sekalian alam.
No comments:
Post a Comment