Selasa, 25 Sep 07 06:27 WIB
Kirim teman
Asslamu alaikum wr. Wb
Pak ustadz, saya sebagai orang awam binggung karena di
sekitar tempat tinggal saya mayoritas orang Muhammadiyah. Otomatis lebaran
tahun ini beda lagi, kita masih puasa tetangga sebelah sudah berlebaran. Bagaimana menurut pak ustad?
Kalau bisa tahu,
tahun kemarin pak ustad ikut yang mana?
Terimah kasih
atas jawabanya mohon maaf jika ada kata yang tidak memuaskan.
Seti
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabrakatuh
Perbedaan dalam
menetapkan hari jatuhnya lebaran memang sudah bisa diprediksi. Kejadian itu
sudah berlangsung sejak lama dan akan selalu terus berulang setiap tahun.
Tahun 2007 ini
umat Islam di Indonesia sekali lagi akan mengalami perbedaan penetapan hari
Raya Idul Fithri. KarenaMuhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1428 H jatuh pada 12
Oktober 2007. Penetapan Muhammadiyah tersebut diterbitkan dalam bentuk maklumat
Pimpinan Pusat Muhammadiyah No: 03/MLM/1.0/ E/2007.
Jauh-jauh hari PP
Muhammadiyah memang telah menetapkan jatuhnya lebaran yang berbeda. Tentu saja
semua itu diputuskan lewat mekanisme yang sudah ada sejak dahulu.
Untuk menetapkan
1 Syawal, Muhammadiyahmenggunakan pendekatan wujudul hilal.Artinya, tidak hanya
menggunakan mata kepala, tapi menggunakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan
ilmu hisab.
Dengan dasar
tersebut, yang dinamakan bulan baru adalah bila matahari terbenam hilal masih
di atas ufuk. Pada 11 Oktober nanti, hilal masih di atas ufuk.
Penyebab
Berbeda-beda
Sebenarnya di
rubrik ini sudah seringkali kami bahas tentang penyebab perbedaan penetapan.
Singkatnya, karena ada beberapa dalil yang berbeda, atau satu dalil namun
ditafsirkan secara berbeda. Sehingga umat mengenal setidaknya dua sistem, yaitu
rukyatul hilal dan hisab.
Kedua metode ini
seringkali melahirkan hasil yang berbeda dalam penetapan tanggal. Tapi yang
lebih menarik, bahkan meski sama-sama menggunakan rukyatul hilal, hasilnya
belum tentu sama. Demikian
juga, meski sama-sama pakai hisab, hasil seringkali juga berbeda.
Perbedaan Antar
Negara
Sudah sering
terjadi bahwa umat Islam yang hidup di bawah berbagai macam pemerintahan,
seringkali berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal.
Kewajaran itu
lantaran masing-masing pemerintahan punya hak untuk menetapkannya, karena
mereka memang berdiri sendiri dan tidak saling terikat. Sehingga amat
wajar independensi otoritas penetapan jadwal puasa pun dilakukan
sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintahan.
Maka wajar bila
Mesir dan Saudi Arabia saling berbeda dalam menetapkan jadwal puasa dan
lebaran.
Tetapi di dalam
negeri masing-masing, umat Islam umumnya kompak. Sesama rakyat Mesir tidak
pernah terjadi perbedaan. Demikian juga, sesama rakyat Saudi tidak pernah
terjadi perbedaan.
Cuma Indonesia
Tetapi khusus
untuk rakyat Indonesia, rupanya masing-masing elemen umat teramat kreatif.
Cerita orang lebaran berbeda-beda tanggalnya memang hanya terjadi di dalam
masyarakat kita saja. Entah apa sebabnya, mungkin karena kebanyakan jumlah
rakyatnya, atau kebanyakan ormasnya, atau mungkin juga kelebihan pe-de nya.
Yang jelas, kita
selalu menyaksikan masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas
menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen
mereka sendiri. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di berbagai negeri Islam
lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah.
Masing-masing ormas tidak pernah merasa berhak untuk menetapkan sendiri.
Jadi cerita
seperti ini memang lebih khas Indonesia.
Dan lebih lucu
lagi, bukan hanya ormas yang sering tidak kompak dengan pemerintah, tetapi di
dalam satu ormas pun terkadang sering terjadi tidak kompak juga. Misalnya,
ketika DPP ormas tertentu mengatakan A, belum tentu DPW atau DPD dan DPC-nya
bilang A. Masing-masing struktur ke bawah kadang-kadang masih merasa lebih
pintar untuk menetapkan sendiri jadwal puasa.
Selain itu, juga
ada ormas yang selalu menginduk ke jadwal puasa di Saudi Arabia. Mau lebaran
hari apa pun, pokoknya ikut Saudi.
Bahkan mungkin
karena saking semangat untuk ijtihad, ada ormas yang sampai menasehati
pemerintah untuk tidak usah mencampuri masalah ini.
Semua pemandangan
ini hanya terjadi di Indonesia, ya, sangat khas Indonesia. Dan ceritanya dari
zaman nenek moyang sampai abad internet sekarang ini masih yang itu-itu juga.
Pokoknya, Indonesia banget deh.
Kita Ikut Siapa
Dong?
Sebenarnya apa
pun yang dikatakan baik oleh NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya, semua tidak
lepas dari ijtihad. Karena tidak ada nash baik Quran maupun hadits yang menyebutkan
bahwa lebaran tahun 1428 hijriyah jatuh tanggal sekian.
Dan sebagai
muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yang dilakukan oleh para
ahlinya. Lepas dari apakah kita setuju dengan hasil ijtihad itu atau tidak.
Dan karena kita
bukan ahli ru'yat, juga bukan ahli hisab, kita juga tidak punya ilmu apa-apa
tentang masalah seperti itu, maka yang bisa kita lakukan adalah bertaqlid atau
setidaknya berittiba' kepada ahlinya.
Kalau para
ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak untuk memilih. Tidak ada satu pun
ulama yang berhak untuk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat
yang tidak sesuai dengan hasil ijtihadnya. TOh kalau ijtihad itu benar, ulama
itu akan dapat pahala. Sebaliknya kalau salah, beliau tidak berdosa, bahkan
tetap dapat satu pahala.
Bersama Umat
Islam
Salah satu hadits
menyebutkan sebagai berikut:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Waktu shaum itu
di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian
berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.
Hadits rasanya
agak cocok buat keadaan kita yang bukan ulama, bukan ahli ru'yat atau ahli
hisab. Kita adalah para muqaalid dan muttabi'. Maka jadwal puasa kita mengikuti
umat Islam umumnya di suatu negeri.
Kalau di
Indonesia umumnya atau mayoritasnya lebaran hari Sabtu, ya kita tidak salah
kalau ikut lebaran hari Sabtu, meski tetap menghormati mereka yang lebaran hari
Jumat. Sebab lebaran di hari di mana umumnya umat Islam lebaran adalahhal
paling mudah danjuga ada dalilnya serta tidak membebani.
Tapi kalau
ternyata 50% ulama mengatakan lebaran jatuh hari Jumat dan 50% lagi mengatakan
hari Sabtu, lalu mana yang kita pilih?
Jawabnya bahwa
dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan dan hak untuk menengahi
perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak untuk
menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.
Bersama
Pemerintah Islam
Jadi pemerinah
resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya
puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab
dan ahli falak.
Kewenangan
seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang
menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan
seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu
salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang
tanggung.
Al-Imam Ahmad bin
Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah
(mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Beliau juga
berkata mengutip hadits nabi SAW: “Tangan Allah SAW bersama Al-Jama’ah."
Apa yang
dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga
sekarang ini. Salah satunya adalah arahan dan petunjuk dari Al-'AllamahSyeikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata,
“Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya
masing-masing."
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment