Rabu,
21 Mei 08 07:42 WIB
Selama ini saya sholat seperti yang saya pelajari waktu duduk di
sekolah dasar. tanpa tahu hadist atau riwayat tentang kebenaran sholat yang
saya lakukan.
Baru baru ini saya melihat di
www.youtube.com tentang sifat sholat nabi. Banyak perbedaan dengan yang sering
saya lakukan. Salah satunya saya sering baca bismilah dinyaringkan.
Putra Parahiyangan
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Semua orang yang mengaku muslim pasti wajib
shalat sesuai dengan tata cara shalat nabi. Tidak ada seorang ulama pun yang
membuat-buat sendiri tata cara shalat, karena hukumnya haram.
Lalu kenapa masing-masing berbeda dalam
tata cara shalat? Yang mana yang benar? Apakah yang telunjuknya goyang-goyang
atau yang lurus saja? Apakah yang tangannya di dada ataukah di atas perut?
Apakah yang basmalahnya jahr ataukah yang tidak terdengar, atau malah tidak
membaca basmalah sama sekali?
Masalahnya, ternyata ketika harus
menetapkan shalat yang bagaimana kah yang seusai dengan tata cara shalat nabi,
para ulama dan fuqaha berbeda pendapat. Ada yang pakai qunut dan ada yang
tidak. Ada yang tarawihnya 11 rakaat, ada yang 23 rakaat, bahkan Umar bin Abdul
Aziz tarawih dengan 36 rakat.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa kalau
sujud, lututnya harus menyentuh tanah duluan baru tangannya. Tetapi ada juga
yang sebaliknya, tangannya duluan baru lututnya.
Dan begitulah, kita setiap hari melihat
perbedaan-perbedaan itu di tengah umat Islam. Perbedaan itu ada sejak mulai
takbir hingga salam, dengan sekian banyak varisasi dan pendapat.
Shifat Shalat Nabi Versi Siapa?
Jadi kita harus bisa membedakan istilah
Shifat Shalat Nabi itu dengan melihat siapa yang berpendapat. Ternyata shifat
shalat nabi memang berbeda-beda tergantung dari siapa yang berijtihad dan siapa
yang menyusunnya.
Memang yang paling tersohor adalah yang
disusun oleh Al-Albani, karena judul bukunya adalah Shifat Shalat Nabi. Akan
tetapi meski judulnya demikian, tidak lantas boleh disimpulkan bahwa hanya
Al-Albani saja yang punya otoritas menetapkan keshahihan suatu shalat sesuai
dengan sifat shalat nabi.
Benar bahwa Al-Albani telah mengklaim bahwa
tata cara shalat yang benar-benar sesuai dengan Nabi Muhammad SAW adalah apa
yang beliau tulis di dalam kitabnya.
Menarik sekali klaimnya ini sehingga
menimbulkan kesan logis, apabila ada orang shalat tidak seperti yang ada dalam
buku itu, maka shalat itu menyalahi tata cara shalat Nabi. Setidaknya, itulah
yang kemudian diyakini oleh sebagian orang.
Dan lebih serem lagi, ada klaim yang
kemudian menyebutkan bila seseorang shalat tidak seperti shalat nabi (baca:
tidak seperti yang dipahami oleh Al-Albani dalam kitabnya itu), maka shalat itu
bid'ah, tertolak, tidak diterima bahkan ada yang mengatakan tidak sah.
Sehingga muncullah logika pada sebagian
pemuja tokoh satu ini bahwa kebenaran tentang shalat nabi adalah milik
Al-Albani seorang, sedang semua tata cara shalat yang tidak seperti yang
dipahami oleh beliau, dianggap salah, bahkan harus dikoreksi.
Kritik dan Pertanyaan
Yang jadi kritik dan pertanyaan kemudian
adalah: sejauh mana klaim itu mendekati kebenaran?
Orang yang tidak setuju dengan klaim ala
Al-Albani itu banyak yang juga protes. Misalnya mereka mempertanyakan, apakah
sebegitu bodohkah para ulama selama 14 abad terhadap masalah shalat, sehingga
kebenaran baru ditemukan hanya di abad ini saja, dan hanya seorang tokoh saja,
yaitu Al-Albani?
Lalu yang tambah menarik, para penentang
mazhab Al-Albani juga mempertanyakan lebih jauh, apakah semua umat Islam masuk
neraka karena shalatnya tidak seperti apa yang dipahami dan dimaui oleh
Al-Albani? Lantaran semua bentuk shalat yang dilakukan umat Islam selama ini
termasuk kategori bid'ah?
Apakah para ulama mazhab juga masuk neraka
karena kebetulan pendapatnya tentang sifat shalat nabi tidak sama dengan sifat
shalat nabi versi Nashiruddin Al-Albani?
Dan apakah berarti hanya ada satu orang
saja yang ilmunya melebihi semua ulama yang pernah ada sepanjang 14 abad ini,
yaitu Al-Albani?
Semua pertanyaan ini bermunculan sebagai
reaksi atas klaim-klaim para pendukung Al-Albani. Dan pertanyaan ini wajar,
karena mereka merasa agak terusik lantaran dituduh shalatnya tidak benar dan
juga tidak diterima disisi Allah SWT.
Sampai mereka mengatakan bahwa judul buku
itu seharusnya disempurnakan menjadi "Shifat Shalat Nabi (menurut
Al-Albani)." Dan seharusnya si penulis tidak perlu menyombongkan diri dan
terlalu pe-de dengan klaim-klaimnya.
Menurut mereka, seharusnya si penulis
menyatakan dengan tawadhu' bahwa, "Dengan keterbatasan ilmu dan
wawasan, maka menurut ijtihad pribadi, shalat yang seperti inilah yang dirasa
paling mendekati tata cara shalat Rasulullah SAW."
Bukan sebaliknya, malah menuduh semua bentuk
shalat yang pernah ada ditulis oleh para ulama adalah salah dan mungkar, kalau
tidak seperti yang dipahami oleh hasil pemikiran dirinya sendiri.
Keshahihan Hadits Bukan Satu-satunya Tolok
Ukur Kebenaran
Keshahihan hadits memang menjadi salah satu
parameter kebenaran, tetapi harus diingat pula bahwa dia bukan satu-satunya
tolok ukur. Masih ada sekian banyak pertimbangan yang harus dimasukkan ke dalam
analisa sehingga bisa ditarik kesimpulan akhir.
Dan memang pekerjaan itu bukan lagi
pekerjaan para kritikus hadits, melainkan pekerjaan para ahli fiqih (fuqaha').
Tugas dan peran para kritikus hadits memang sebatas apakah suatu riwayat makbul
atau tidak?
Tetapi para kritikus hadits tidak punya
wewenang untuk menyimpulkan hasil akhir, sebab masih ada beberapa pertimbangan
lainnya. Antara lain:
1. Masalah Nasakh dan Mansukh
Boleh saja suatu hadits itu shahih
seshahih-shahihnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan ternyata hadits itu
mengalami nasakh (penghapusan hukum) dari Allah.
Jangankan hadits, lha wong Al-Quran
pun tidak sepi dari nasakh. Ada sekian banyak ayat Al-Quran yang masih kita
baca teksnya, namun hukumnya telah dinasakh (dihapus) oleh ayat yang
lain.
Misalnya ayat tentang haramnya minum khamar
sesaat sebelum shalat. Ayat itu menimbulkan kesimpulan hukum bahwa bila bukan
akan shalat, minum khamar tidak haram.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan (QS. An-Nisa': 43)
Lalu turunlah ayat yang mengharamkan khamar
secara total dan menghapus hukum larangan mabuk hanya kalau mau shalat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah: 90-91)
Maka hukum yang terkandung pada ayat
pertama tidak lagi berlaku, karena telah dinasakh oleh ayat yang kedua.
Kalau ayat Quran saja bisa terjadi nasakh,
apalagi hadits nabawi. Maka parameter kebenaran bukan semata-mata keshahihan
hadits. Masih ada sekian banyak parameter lainya yang perlu dipertimbangkan.
2. Al-'aam Wal Khash
Maksudnya adalah bahwa suatu dalil itu
terkadang bersifat umum, tetapi ada pula dalil yang bersifat khusus. Ada
terdapat hadits-hadits tertentu yang lebih erat kaitannya dengan suatu masalah
(lebih khusus), dan ada hadits-hadits tertentu yang bersifat umum.
Sekedar buat contoh sederhana adalah ayat
Quran berikut ini: Kalau kita baca sekilas
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين فإنه يشمل المحدث وغيره.
Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bangun untuk shalat, maka basuhlah wajahmu, kedua tanganmu hingga siku,
usaplah kepalamu, dan kakimu hingga kedua mata kaki.
Kalau kita baca sekilas ayat ini, maka
kewajiban untuk berwudhu' bukan hanya untuk yang sedang berhadats saja atau
yang tidak punya wudhu' saja, tetapi mereka yang sudah suci dari hadats atau
yang sudah punya wudhu' juga wajib untuk berwudhu' pada saat mau melakukan
shalat.
Maka untunglah ada hadits yang
mengkhususkan, seperti hadits berikut ini:
قلت لأبي عبد الله عليه السلام: قوله تعالى:;إذا قمتم إلى الصلاة ما يعني بذلك إذا قمتم إلى الصلاة؟ قال: إذا قمتم من النوم فإنه خاص بالمحدث
Aku berkata kepada Abi Abdillah
'alaihissalam, "Bila kamu bangun untuk shalat, apa yang dimaksud dengan
bangun untuk shalat?" Beliau SAW menjawab, "Bila kamu bangun dari
tidur."
Sehingga dipahami dari hadits ini bahwa
kewajiban untuk berwudhu sebelum shalat hanya berlaku bagi mereka yang
berhadats. Sedangkan yang sudah punya wudhu', maka hukumnya tidak wajib,
melainkan hanya sunnah saja.
Ini sekedar contoh bahwa dalil-dalil itu
ada yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Keduanya harus jadi
pertimbangan dalam menarik kesimpulan hukum.
3. Ternyata Keshahihan Hadits Juga Tidak
Selalu Sama
Satu hal juga perlu disampaikan di sini
adalah bahwa ternyata menyatakan bahwa sebuah hadits itu shahih, tidak selalu
sama keluar dari mulut para muhadditsin.
Ketika Bukhari meihnshahihkan suatu hadits,
belum tentu hadits itu ada di dalam shahih Muslim, karena begitu banyak pertimbangan.
Sebagaimana sebaliknya, belum tentu sebuah hadits yang disahihkan oleh Imam
Muslim, juga terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari.
Dan sangat boleh jadi sebuah hadits
dishahihkan oleh seorang muhaddits, namun oleh muhaddits lain dianggap tidak
memenuhi syarat hadits shahih.
Bahkan seorang muhaddits seringkali
terkesan rancu ketika menshahihkan suatu hadits. Suatu ketika ada sebuah hadits
dishahihkan di dalam sebuah kitab, tapi pada kala yang lain, oleh muhaddits
yang sama, hadits itu malah dikatakan dhaif di kitab lainnya. Padahal orangnya
itu-itu juga.
Kesalahan dan ketidak-cermatan seperti ini
kadang terjadi. Kalau salah hanya satu atau dua hadits
mungkin kita masih bisa terima. Tapi kalau kesalahannya sampai puluhan bahkan
ratusan hadits, tentu sebuah kecerobohan yang merupakan aib dan menurunkan
standar kualitas si muhaddits itu sendiri.
Al-Albani Di Mata Penentangnya
Dan di mata para penentangnya, Syeikh
Al-Albani termasuk di antara orang yang dianggap seringkali rancu dalam
menshahihkan suatu hadits.
Menurut kalangan yang kurang setuju dengan
pendapat Al-Albani, seringkali kejadian di satu kitab, beliau bilang hadits A
itu shahih, tapi di kitab lain yang dituliskannya sendiri, dia bilang hadits A
itu dhaif. Seperti yang terjadi atas kritik Al-Albani kepada kitab Al-Halalu
wal Haramu fil Islam karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Konon Al-Albani mengkritik buku Qaradawi
karena menggunakan hadits dhaif. Namun Al-Qaradawi menjawab bahwa hadits yang
dibilang dhaif itu, justru oleh Al-Albani sendiri di dalam kitab susunannya,
malah dibilang shahih.
Tentu saja para pendukung Al-Albani tidak
terima dengan kritik itu. Mereka pun berlomba-lomba untuk menjawab dan menyangkalnya.
Jadi rupanya bahkan seorang dengan kaliber Syeikh Nashirudin
Al-Albani yang terlanjur dianggap satu-satunya ahli hadits di zaman sekarang
oleh para pendukungnya, juga tidak sepi dari kritik.
Kesimpulan:
Shalat seperti shalatnya Nabi Muhammad SAW memang bisa saja
berbeda-beda hasilnya bagi tiap ulama atau ahli ijtihad. Hal itu terjadi karena
banyak faktor. Sehingga klaim bahwa satu bentuk yang paling benar, tetap saja
masih bisa dikritisi.
Dan semua itu tidak mengurangi keutamaan kita dalam beribadah
kepada Allah SWT.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment