www.eramuslim.com
Rabu,
08 Okt 2008 08:44 Andaikan kebenaran jumlahnya sebanyak selera dan hawa
nafsu manusia maka tentu masing-masing kebenaran akan menunjukkan
kedigdayaannya
Ketika Rabi’a ibn ‘Amir radiyallahu ‘anhu
menemui pimpinan kekaisaran Persia
ia ditanya oleh mereka: “Mengapa kamu datang ke negeri kami? Jika kamu datang untuk uang, maka kami akan beri kalian
masing-masing gaji. Maka biarkanlah kami seperti ini.” Namun Rabi’a berkata: “Itu bukan sebab saya datang kemari…
ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده و من ضيق الدنيا
إلى سعت الدنيا و الآخرة و من جور الأديان إلى عدل الإسلام
… Kami diutus untuk membebaskan segenap
makhluk dari penghambaan satu sama lain untuk menjadi hamba Allah ta’aala Sang
Pencipta semata. Dan dari penindasan berbagai agama menuju keadilan Islam. Lalu
kami ingin mengantar manusia dari sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan
akhirat.”
Rabi’a ibn ‘Amir radiyallahu bukan seorang
mahasiswa ilmu perbandingan agama. Namun ia mengatakan bahwa semua agama menuju
kepada penindasan dan kezaliman. Ia tidak perlu belajar perbandingan agama
karena ia telah belajar dari wahyu Allah ta’aala bahwa segenap agama
menimbulkan penindasan dan hanya agama Islam-lah yang menawarkan keadilan. Ia
telah belajar dari wahyu bahwa semua agama berujung pada kerugian serta bencana
dan hanya Islam-lah yang menawarkan keselamatan dan Ridho ilahi.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ
فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran ayat 85)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah ta’aala hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)
Islam datang untuk mengeluarkan manusia
dari lalimnya berbagai agama menuju keadilan Islam. Artinya, seorang muslim
yang benar imannya tidak pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa semua
agama sama baiknya dan sama benarnya. Ia yakin bahwa Allah ta’aala tuhan
semesta alam tidak mungkin akan membiarkan manusia dalam kebungungan memilih
jalan hidup yang benar untuk menghantarkan dirinya hidup dalam keadilan di
dunia dan keselamatan di akhirat.
Sedangkan orang yang berfaham pluralisme
adalah manusia yang bingung memilih jalan hidup sehingga untuk gampangnya ia
katakan bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Mereka berpendapat
bahwa hanya dengan pluralisme masyarakat heterogen akan sanggup hidup damai dan
toleran satu sama lain. Andaikan kita hidup tanpa petunjuk dari Allah ta'aala
Yang Maha Benar tentulah kita akan sependapat dengan logika berfikir seperti
itu. Karena itu berarti bahwa tidak ada fihak manapun di dalam masyarakat yang
boleh meng-claim bahwa agamanyalah yang memiliki monopoli kebenaran, sebab
semua agama dipandang benar. Padahal di
dalam Al-Qur’an Allah ta’aala bantah pandangan ini:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ
مُعْرِضُونَ
”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa
nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mu’minun ayat 71)
Melalui ayat di atas jelas Allah ta’aala
menolak logika absurd pluralisme yang beranggapan bahwa kebenaran berbagai
agama adalah sah dan benar. Padahal mustahil kebenaran jumlahnya banyak.
Sebagaimana Allah ta’aala fimankan di atas, andai kebenaran jumlahnya sebanyak
jumlah selera dan hawa nafsu manusia maka tentu masing-masing kebenaran
itu akan menunjukkan kedigdayaannya sehingga akan terjadi konflik yang
menyebabkan binasa dan hancurnya langit dan bumi beserta segenap isinya.
Itulah rahasianya mengapa agama Allah
ta’aala, yakni Al-Islam datang dengan membawa ajaran inti berupa tauhid. Yaitu
ucapan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Tiada tuhan (Kebenaran) selain Allah
ta’aala.” (QS Muhammad ayat 19)
Bahkan dalam ayat lain jelas Allah ta’aala
firmankan bahwa Allah ta’aala Dia-lah hakikat Kebenaran itu sendiri, sedangkan
semua seruan selain Allah ta’aala hanya mengajak manusia kepada kebatilan.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ
هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah ta’aala) yang demikian itu,
adalah karena sesungguhnya Allah ta’aala, Dialah Al- Haq (Kebenaran) dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah ta’aala, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah ta’aala, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS
Al-Hajj ayat 62)
Bilamana kalangan pendukung absurditas
pluralisme menuduh orang-orang beriman menafsirkan seenaknya dan secara
subyektif firman-firman Allah ta’aala di atas berarti sama saja mereka menuduh
Allah ta’aala tidak kuasa mewahyukan kitab suci sederhana yang mudah dicerna
oleh manusia berakal cipataan diri-Nya sendiri. Repotnya, argumentasi ini
mereka kemukakan sambil berlindung di balik “sedemikan tinggi dan sucinya wahyu
Allah ta’aala" sehingga manusia yang lemah dan nisbi tidak berhak
meng-claim penafsirannya terhadap wahyu Allah ta’aala.
Berarti para pendukung pluralisme menuduh
para sahabat Nabi shollallahu ’alaih wa sallam -termasuk Rabi’a ibn ‘Amir
radiyallahu ‘anhu- tidak berhak melontarkan penafsirannya seperti yang telah ia
lontarkan di hadapan para pimpinan Persia. Suatu penafsiran yang
bahkan telah menyebabkan mereka menjadi terperanjat, terpesona dan kehabisan
argumentasi menghadapinya.
No comments:
Post a Comment