Tuesday 9 April 2013

Alasan Kebolehan Talfiq (Mix Antar Mazhab)


Selasa, 29 Mei 07 07:43 WIB

Kirim teman

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Bagaimana pendapat ustadz masalah tafiq? Dan bagaimana pandangan ustaz sekiranya rakyat indonesia yang mayoritas mazhab syafi'i tiba-tiba sekarang mazhabnya campuran?

Ismail Nasutionismail3nast at eramuslim.com
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.

Sebagai contoh, seseorang bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i dalam mengusap sebagian kepala ketika wudlu, kemudian ia bertaqlid juga kepada ImamAbu Hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya menyentuh wanita jika tidak bersyahwat. Kemudian ia shalat dengan wudlu tersebut. Bagaimana hukumnya?

Dalam hal ini umumnya para ulama sepakat membolehkan, karena alasan yang tidak mungkin ditolak. Apalagi di zaman sekarang ini.

Alasan Pertama

Tidak adanya nash di dalam Al-Quran atau pun As-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.

Di kalangan para shahabat nabi SAW terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas'ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.

Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.

Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.

Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?

Alasan Kedua

Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi'i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandigkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan.

Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan taliq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.

Alasan Ketiga

Alasan ini semakin menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh dilakukan. Karena yang membolehkannya justru nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung. Maka kalau nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan?

Nabi SAW lewat Aisyah disebutkan:

Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. (Fathu al-Bari, X, 524)

Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi SAW selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.

Itu nabi Muhammad SAW sendiri, seorang nabi utusan Allah. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?

Alasan Keempat

Melakukan talfiq adalah hal yang termudah saat ini, ketimbang harus selalu berpedang kepada satu mazhab saja. Mengingat hari ini tidak ada guru atau ustadz yang mengajar fiqih di bawah satu mazhab saja dalam segala sesuatunya.

Kitab-kitabfiqih syafi'i di Indonesia memang banyak beredar, namun dari semua kitab itu, nyaris tidak ada satu pun yang menjawab semua masalah lewat pendapat Asy-Syafi'i. Ada begitu banyak masalah yang tidak dibahas di dalam kitab-kitak kuning itu dan tetap butuh jawaban.

Maka para kiayi sepuh yang biasanya selalu merujuk kepada kitab mazhab Syafi'i, terpaksa harus membuka kitab lainnya. Dan saat itu, beliau telah melakukan talfiq.

Bahkan hasil-hasil sidang Lajnah Bahtsul Matsail di kalangan Nahdlatul Ulama pun, yang konon sangat syafi'i, tidak lepas dari merujuk kepada kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i. Silahkan baca buku Solusi Problema Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes ahdlatul Ulama (1926-1999) halaman xliv.

Oleh karena itu maka sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa kita diperintahkan untuk memilih sesuatu yang termudah, maka saat ini yang lebih mudah justru melakukan talfiq.

“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. (Fathu al-Bari, I, 93)

Para imam Fiqih yang empat mendukung talfiq. ‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. (Fatawa Syaikh ‘Alaisy, I, 78)

Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II, 1181)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment