Kamis, 4 Okt 07
05:36 WIB
Kirim teman
Assalamu'alaikum
wr. wb.
Pak Ustadz yang
baik, ada beberapa pertanyaan seputar I'tikaf:
Sebenarnya apa
sih yang dilakukan orang saat I'tikaf, bolehkah hanya diam saja?
Apakah I'tikaf
harus selalu di masjid dan harus punya wudlu?
Apakah sebelum
melakukan I'tikaf harus berniat dulu, bagaimana niatnya?
Apakah benar kita
dianjurkan I'tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan, apa dalilnya?
Mohon
penjelasannya.
Jazakallohu
khoiron katsiron.
Wassalamu'alaikum
wr. wb.
Heri
Setyadiheristar
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabaraktuh,
1. Kata i'tikaf
berasal dari 'akafa alaihi', artinya senantiasa atau berkemauan kuat untuk
menetapi sesuatu atau setia kepada sesuatu. Secara harfiah kata i'tikaf berarti
tinggal di suatu tempat, sedangkan syar'iyah kata i'tikaf berarti tinggal di
masjid untuk beberapa hari, teristimewa sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selama hari-hari
itu, seorang yang melakukan i'tikaf (mu'takif) mengasingkan diri dari segala
urusan duniawi dan menggantinya dengan kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah
dengan sepenuh hati. Dengan i'tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah
SAW, kita berserah diri kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya,
dan bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.
Yang dilakukan
pada saat i'tikaf pada hakikatnya adalah taqarrub (pendekatan diri) kepada
Allah. Makna taqrrub adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beragam
rangkaian ibadah. Di antaranya:
A. Shalat
Baik shalat wajib
secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang dilakukan secara berjamaah
maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih, shalat malam (qiyamullail), shalat
witir, shalat sunnah sebelum shalat shubuh, shalat Dhuha', shalat sunnah
rawatib (qabliyah dan ba'diyah) dan lainnya.
B. Zikir
Semua bentuk
zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i'tikaf. Namun lebih diutamakan
zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW
secara shahih. Jenis lafadznya sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada
ketentuan harus disusun secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi
jumlah hitungannya.
C. Membaca ayat
Al-Quran
Membaca Al-Quran
(tilawah) sangat dianjurkan saat sedang beri'tikaf. Terutama bila dibaca dengan tajwid yang benar
serta dengan tartil.
D. Belajar
Al-Quran
Bila seseorang
belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih utama bila kesempatan
beri'tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca Al-Quran, memperbaiki
kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar ketika membaca Al-Quran nanti, ada
peningkatan.
E. Belajar
Memahami Isi Al-Quran
Selain pentingnya
membaca Al-Quran dengan berkualitas, maka meningkatkan pemahaman atas setiap
ayat yang dibaca juga tidak kalah pentingnya. Sebab Al-Quran adalah pedoman
hidup kita yang secara khusus diturunkan dari langit. Tidak lain tujuannya agar
mengarahkan kita ke jalan yang benar. Apalah artinya kita membaca Al-Quran,
kalau kita justru tidak paham makna ayat yang kita baca.
Tentunya belajar
baca dan memahami ayat Al-Quran membutuhkan guru yang ahli di bidangnya. Tanpa
guru, sulit bisa dicapai tujuan itu.
F. Berdoa
Berdoa adalah
meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik yang terkait dengan
kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari
pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya. Meski tidak
langsung dikabulkan, tetapi karena meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah
meminta.
Semakin banyak
kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang Allah berikan. Dan bila
dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri.
Dan meminta
kepada Allah (berdoa) sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam berik'tikaf.
Namun dari semua
kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri'tikaf tidak boleh melakukan
apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari, dia juga boleh isterirahat,
tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh hanya diam saja. Sebab makna
i'tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti diam saja sepanjang waktu i'tikaf.
Adapun yang
terlarang dilakukan saat i'tikaf adalah bercumbu dengan isteri hingga sampai
jima'. Sedangkan yang dimakruhkan adalah berbicara yang semata-mata hanya
masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja, yang tidak membawa manfaat
secara ukhrawi.
Bicara masalah
dagang, tentu boleh bila terkait dengan bagaimana dagang yang sesuai syariat.
Sebab syariat itu tentu bukan hanya bicara hal-hal di akhirat saja, tetapi
tercakup luas semua masalah keduniaan.
Sunnat bagi orang
yang sedang i'tikaf tidak boleh menengok yang sakit, jangan menyaksikan
jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan jangan bercumbu, dan jangan keluar
(dari masjid) untuk satu keperluan kecuali dalam perkara yang tidak boleh
tidak, dan tidak ada i'tikaf melainkan di masjid kami." (HR Abu Dawud).
2. I'tikaf tidak
sah dilakukan kecuali di masjid. Ini adalah hal yang kebenarannya telah menjadi
kesepakatan semua ulama. Sesuai dengan firman Allah SWT:
Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)
Sedangkan masalah
wudhu, bukan merupakan syarat. Namun sebagian ulama mewajibkan seseorang
berwudhu' bila masuk masjid. Sebagian lain tidak mewajibkan tapi hanya
menyunnahkan.
3. Niat adalah
syarat sah semua ibadah. Tanpa niat, semua ibadah tidak sah.
Tetapi niat itu
bukan lafadz yang diucapkan, melainkan sesuatu yang ditetapkan di dalam hati.
Lafadz niat hanya sekedar menguatkan, bahkan hukumnya diperdebatkan para ulama.
Sebagian menganjurkannya, tetapi sebagian lain malah melarangnya.
Jadi niatkan saja
di dalam hati bahwa anda akan melakukan i'tikaf, maka sah sudah niat anda.
4. Benar, 'itikaf
itu hukumnya sunnah untuk dilakukan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Dalilnya adalah perbuatan nabi SAW yang telah melakukannya, bahkan tiap tahun
tanpa meninggalkannya sekalipun. Sehingga ada sebagian ulama yang nyaris hampir
mewajibkannya. Namun hukumnya tidak wajib, tetapi sunnah yang sangat
dianjurkan.
Adapun dalilnya
adalah:
Dari Aisyah Ra.
ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam terakhir
di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa Jalla." (HR
Bukhari dan Muslim).
Dan dari Ibnu
Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
No comments:
Post a Comment