www.eramuslim.com
Selasa,
11 Nov 2008 16:45 WIB
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz Yth, langsung saja, sehubungan
dengan berita yang sedang ramai mengenai pernikahan seorang pimpinan pesantren
dengan perempuan umur 12 tahun, apakah hal itu memang dibenarkan dalam Islam?
Walau banyak ulama yang mengecam, setahu saya ada juga ormas Islam yang
membenarkan.
Sepengetahuan saya memang Rasulullah
menikahi Siti Aisyah saat berumur 9 tahun. Apakah ada penjelasan mengapa hal
tersebut terjadi? Bukankah memang bisa membawa mudarat bagi perempuan yang
terlalu muda dinikahi karena bisa merusak rahimnya sehingga tidak bisa
mempunyai anak? (Setahu saya Siti Aisyah memang tidak mempunyai anak).
Terima kasih sebelumnya atas penjelasan
Ustadz. Semoga jika ada orang yang mempersoalkan hal ini (pernikahan Rasulullah
dengan Siti Aisyah yang masih muda) saya jadi dapat menjelaskan dengan
memuaskan.
wassalamu'alaikum wr. wb.
M A
Jawaban
Wa'alaikumussalam Wr. Wb
Pernikahan Rasulullah
dengan Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq ra.
Ibnu Qoyyim al Jauziyah menyebutkan tentang
perkawinan Nabi saw dengan Aisyah. Ia adalah seorang wanita yang disucikan dari
langit ketujuh. Ia adalah kekasih Rasulullah saw yang disodorkan oleh para malaikat
dengan tertutupi secarik kain sutera sebelum beliau saw menikahinya, dan
malaikat itu mengatakan,”Ini adalah isterimu.” (HR. Bukhori dan Muslim). Beliau
saw menikahinya pada bulan Syawal yang pada saat itu Aisyah berusia 6 tahun dan
mulai digaulinya pada bulan syawal setahun setelah hijrah pada usianya 9 tahun.
Rasulullah saw tidak menikahi seorang perawan pun selain dirinya, tidak ada
wahyu yang turun kepada Rasulullah saw untuk menikahi seorang wanita pun
kecuali Aisyah ra.” (Zaadul Ma’ad juz I hal 105 – 106
Beberapa dalil lainnya tentang pernikahan
Rasulullah saw dengan Aisyah telah dijelaskan dalam hadits-hadits shohih
berikut :
1. Dari Aisyah ra bahwasanya Nabi saw berkata kepadanya,
”Aku telah melihat kamu di dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku melihat kamu
tertutupi secarik kain sutera. Dan Malaikat itu mengatakan, ’Inilah isterimu,
singkaplah.” Dan ternyata dia adalah kamu, maka aku katakan, ’Bahwa ini adalah
ketetapan dari Allah.” (HR. Bukhori)
2. Diceritakan oleh Ubaid bin Ismail, diceritakan oleh Abu
Usamah dari Hisyam dari Ayahnya berkata, ”Khodijah ra telah meninggal dunia
tiga tahun sebelum Rasulullah saw berhijrah ke Madinah. Kemudian beliau saw
berdiam diri dua tahun atau seperti masa itu. Beliau saw menikah dengan Aisyah
ra pada usia 6 tahun. Dan Rasulullah saw menggaulinya pada saat Aisyah berusia
9 tahun” (HR. Bukhori)
3. Dari Aisyah ra berkata, ”Rasulullah saw menikahiku di
bulan syawal dan menggauliku juga di bulan syawal. Maka siapakah dari
isteri-isteri Rasulullah saw yang lebih menyenangkan di sisinya dari diriku?
Dia berkata, ’Sesungguhnya Aisyah menyukai jika ia digauli pada bulan syawal.”
(HR. Muslim)
Disebutkan di dalam kitab Usdul Ghobah,
”Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq. Ia adalah ash-Shiddiqoh binti ash Shiddiq,
ibu orang-orang beriman, isteri Nabi saw dan yang paling terkenal dari semua
istrinya saw. Ibunya bernama Ummu Ruman putri dari ‘Amir bin Uwaimir bin Abdisy
Syams bin ‘Attab bin Udzainah bin Suba’i bin Duhman bin al Harits bin Ghonam
bin Malik bin Kinanah al Kinanah. Rasulullah menikahinya pada saat 2 tahun
sebelum hijrah dan dia masih anak-anak, Abu Ubaidah mengatakan : 3 tahun, ada
yang mengatakan : 4 tahun ada yang mengatakan : 5 tahun. Umurnya saat dinikahi
oleh Rasulullah saw adalah 6 tahun, ada yang mengatakan 7 tahun. Dan mulai
digauli oleh Rasulullah saw pada usia 9 tahun di Madinah…… Aisyah meninggal di
usia 57 tahun, ada yang mengatakan 58 tahun di malam Selasa pada tanggal 17
malam di bulan Ramadhan dan dia meminta agar dimakamkan di Baqi’ pada waktu
malam hari… Usianya tatkala Nabi saw meninggal baru 18 tahun.” (Usdul Ghobah
juz III hal 383 – 385, Maktabah Syamilah)
Ibnu Ishaq mengatakan, ”Kemudian Nabi saw
menikahi Aisyah setelah Saodah binti Zam’ah setelah tiga tahun meninggalnya
Khodijah. Dan Aisyah pada saat itu berusia 6 tahun dan digauli oleh Rasulullah
saw pada usia 9 tahun. Rasulullah saw meninggal pada saat usia Aisyah 18
tahun.” (as Siroh an Nabawiyah liibni Ishaq juz I hal 90, Maktabah Syamilah)
Perkataan bahwa Rasulullah saw menikahi
Aisyah pada usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun adalah hal yang
tidak ada perbedaan di kalangan ulama—karena telah diterangkan dalam banyak
hadits-hadits shohih—dan Rasulullah saw menggaulinya pada tahun ke-2 setelah
hijrah ke Madinah. (al Bidayah wan Nihayah juz III hal 137)
Jelaslah dari hadits-hadits shohih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta didukung oleh banyak fakta
sejarah menunjukkan bahwa usia perkawinan Aisyah dengan Rasulullah saw adalah 6
tahun meskipun kemudian digauli pada usianya 9 tahun. Pernikahan beliau saw
dengan Aisyah adalah dalam rangka menjalin kasih sayang dan menguatkan
persaudaraan antara beliau saw dengan ayahnya, Abu Bakar ash Shiddiq, yang
sudah berlangsung sejak masa sebelum kenabian.
Dan pernikahan Aisyah pada usia yang masih
6 tahun dan mulai digauli pada usia 9 tahun bukanlah hal yang aneh, karena bisa
jadi para wanita di satu daerah berbeda batas usia balighnya dibanding dengan
para wanita di daerah lainnya. Hal ini ditunjukan dengan terjadinya perbedaan
di antara para ulama mengenai batas minimal usia wanita mendapatkan haidh
sebagai tanda bahwa ia sudah baligh.
1. Imam Malik, al Laits, Ahmad,. Ishaq dan Abu Tsaur
berpendapat bahwa batas usia baligh adalah tumbuhnya bulu-bulu di sekitar
kemaluan, sementara kebanyakan para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa
batasan usia haidh untuk perempuan dan laki-laki adalah 17 tahun atau 18 tahun.
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh adalah 19 tahun
atau 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.
3. Syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan jumhur berpendapat bahwa
hal itu adalah pada usia sempurna 15 tahun. Bahkan Imam Syafi’i pernah bertemu
dengan seorang wanita yang sudah mendapat monopouse pada usia 21 tahun dan dia
mendapat haidh pada usia persis 9 tahun dan melahirkan seorang bayi perempuan
pada usia persis 10 tahun. Dan hal seperti ini terjadi lagi pada anak
perempuannya. (Disarikan dari Fathul Bari juz V hal 310)
Perbedaan para imam madzhab di atas
mengenai usia baligh sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kultur di tempat
mereka tinggal. Imam Abu Hanifah tinggal di
Kufah, Iraq.
Imam Malik tinggal di kota
Rasulullah saw, Madinah. Imam Syafi’i tinggal berpindah-pindah mulai dari
Madinah, Baghdad,
Hijaz hingga Mesir dan ditempat terakhir inilah beliau meninggal. Sedangkan Imam
Ahmad tinggal di Baghdad.
Hukum pernikahan anak
yang belum baligh.
Adapun hukum menikahkan wanita yang belum
sampai usia baligh (anak-anak) maka jumhur ulama termasuk para imam yang empat,
bahkan ibnul Mundzir menganggapnya sebagai ijma adalah boleh menikahkan anak
wanita yang masih kecil dengan yang sekufu’ (sederajat/sepadan), berdasarkan
dalil-dalil berikut :
1. Firman Allah swt, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq : 4) Sesungguhnya
Allah swt membatasi iddah seorang anak kecil yang belum mendapatkan haidh
adalah 3 bulan seperti wanita-wanita yang monopouse. Dan tidak akan ada iddah
kecuali setelah dia diceraikan. Dan ayat ini menunjukkan wanita itu menikah dan
diceraikan tanpa izin darinya.
2. Perintah menikahkan para wanita, di dalam firman-Nya,
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan.” (QS. An Nuur : 32) Hamba-hamba sahaya perempuan ini bisa yang
sudah dewasa atau yang masih kecil.
3. Pernikahan Nabi saw dengan Aisyah sedangkan dia masih
kecil, dia mengatakan, ”Nabi saw menikahiku sedangkan aku masih berusia 6 tahun
dan menggauliku pada usiaku 9 tahun.” (Muttafaq Alaih). Abu Bakar lah yang
menikahkannya. Begitu juga Rasulullah saw telah menikahkan putri pamannya, Hamzah,
dengan anak dari Abi Salamah yang kedua-duanya masih anak-anak.
4. Dari Atsar Sahabat; Ali ra telah menikahkan putrinya Ummu
Kaltsum pada saat dia masih kecil dengan Urwah bin Zubeir. Urwah bin Zubeir
telah menikahkan putri dari saudara perempuannya dengan anak laki-laki dari
saudara laki-lakinya sedangkan keduanya masih anak-anak.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di
kalangan jumhur ulama atau orang-orang yang mengatakan boleh menikahkan
anak-anak wanita yang masih kecil adalah pada siapa yang berhak menikahkannya :
1. Para ulama madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat tidak boleh
menikahkannya kecuali ayahnya atau orang-orang yang diberi wasiat untuknya atau
hakim. Hal itu dikarenakan terpenuhinya rasa kasih sayang seorang ayah dan
kecintaan yang sesungguhnya demi kemaslahatan anaknya. Sedangkan Hakim dan
orang yang diberi wasiat oleh ayahnya adalah pada posisi seperti ayahnya karena
tidak ada selain mereka yang berhak memperlakukan harta seorang anak yang masih
kecil demi kemaslahatannya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Anak yatim perlu
dimintakan izinnya dan jika dia diam maka itulah izinnya dan jika dia menolak
maka tidak boleh menikahkannya.” (HR. Imam yang lima kecuali Ibnu Majah)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat diperbolehkan seorang
ayah atau kakek atau yang lainnya dari kalangan ashobah untuk menikahkan
seorang anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil, berdasarkan firman
Allah swt,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya).” (QS. An Nisa : 3)
3. Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan
selain ayahnya dan kakeknya untuk menikahkan anak laki-laki atau anak perempuan
yang masih kecil, berdasarkan dalil dari ad Daruquthni,”Seorang janda berhak atas
dirinya daripada walinya, seorang perawan dinikahkan oleh ayahnya.” Dan juga
yang diriwayatkan Imam Muslim,”Seorang perawan hendaklah diminta persetujuannya
oleh ayahnya.” Sedangkan kakek pada posisi seperti ayah ketika ayahnya tidak
ada karena ia memiliki hak perwalian dan ashobah seperti ayah.
(al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz IX hal 6682 – 6685)
(al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz IX hal 6682 – 6685)
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment