Rabu,
28 Nov 07 07:15 WIB
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadzyangsaya hormati, bagaimana sebenarnya hukum badal
haji? Karena daribeberapa orang ustad di masjid tempat saya ngaji memberikan
pendapatyangberbeda-beda mengenai hal tersebut. Satu pihak menyatakan boleh dan
sahberdasarkan haditsyangdiriwayatkan Imam Bukhari & Muslim. Sementara
pihakyanglain menyatakan seseorang tidak memperoleh pahala atau amalan
kecualiyangdiusahakannya berdasarkan ayat Al-Qur'an surah AnNajm 39, Yasin 54
dan AnNisa 123 serta syarat wajib hajiyangdi antaranya ada syarat istita'ah
(mampu fisik dan harta) sehingga gugur kewajiban seorang muslim utk haji jika
syarat tersebut tidak terpenuhi apalagi jika org tersebut sudah meninggal.
Pihakyanglain lagi, yangsptnya hendak mengambil jalan tengah menyatakan bahwa
kewajiban badal hanya utk wasiat org meninggal dan itu hanya utk menggugurkan
kewajiban harta si mati saja bukan serta merta menjadikan si mati seorang haji
karena unsur ibadah fisiknya tidak terpenuhi.
Menurut pak Ustadz mana yang paling tepat di antara ketiganya?
Terimakasih.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
ARH
Jawaban
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabaraktuh
Badal haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam. Istilah yang lebih sering digunakan dalam kitab-kitab fiqih adalah al-hajju 'anil ghair, yaitu berhaji untuk orag lain.
Badal haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam. Istilah yang lebih sering digunakan dalam kitab-kitab fiqih adalah al-hajju 'anil ghair, yaitu berhaji untuk orag lain.
Dan pada kenyataannya memang seseorang benar-benar melakukan
ibadah haji, namun dia meniatkan agar pahalanya diberikan kepada orang lain,
baik yang masih hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah wafat.
Tentunya tindakan ini bukan hal yang mengada-ada, tetapi
berdasarkan praktek yang dikerjakan oleh para shahabat nabi dan
direkomendasikan langsung oleh beliau SAW.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi SAW dan bertanya:”
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah haji untuknya?"
Rasulullah SAW menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah
lebih berhak untuk dibayar." (HR Bukhari).
Hadits yang sahih ini menjelaskan bahwa seseorang boleh
melakukan ibadah haji, namun bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain.
Dalam hal ini untuk ibunya yang sudah meninggal dunia dan belum sempat
melakukan ibadah haji.
Di dalam hadits yang lain, disebutkan ada seseorang yang berhaji
untuk ayahnya. Kali ini ayahnya masih hidup, namun kondisinya tidak
memungkinkan untuk melakukan ibadah haji. Maka orang itu mendatangi Rasulullah
SAW untuk meminta fatwa.
Seorang wanita dari Khats`am bertanya, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah
mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang
tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?”. Rasulullah SAW menjawab, ”Ya”. (HR
Jamaah)
Pendapat Para Ulama
Dengan adanya dalil-dalil di atas, maka kebolehan melakukan haji
untuk orang lain ini didukung oleh jumhur ulama. Di antaranya adalah Ibnul
Mubarak, Al-Imam Asy-Syafi`i, Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Syarat Harus Sudah Haji
Al-hajju anil ghair mensyaratkan bahwa orang yang
melakukan badal itu harus sudah menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, karena
itu merupakan kewaiban tiap muslim yang mampu. Setelah kewajibannya sudah tunai
dilaksanakan, bolehlah dia melakukan haji sunnah atau pergi haji yang diniatkan
untuk orang lain.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW mendengar
seseorang bertalbiyah, "Labbaikallhumma 'an Syubrumah." Rasulullah
SAW bertanya, "Siapakah Syubrumah?" Dia menjawab, "Saudara
saya." "Apakah kam sendiri sudah melaksanakan ibadah haji?"
"Belum." Rasulullah SAW bersabda, "Jadikan haji ini adalah haji
untukmu terebih dahulu. Baru nanti (haji tahun depan) kamu boleh berhaji untuk
Syubrumah." (HR )
Dalam hal ini tidak disyaratkan harus orang tua sendiri atau
bukan, juga tidak disyaratkan harus sama jenis kelaminnya. Juga tidak disyaratkan
harus sudah meninggal.
Tentunya baik dan buruknya kualitas ibadah itu akan berpengaruh
kepada nilai dan pahala disisi Allah SWT. Dan bila diniatkan haji itu untuk
orang lain, tentu saja apa yang diterima oleh orang lain itu sesuai dengan amal
yang dilakukannya.
Adapun amalan selama mengerjakan haji tapi di luar ritual ibadah
haji, apakah otomatis disampaikan kepada yang diniatkan atau tidak, tentu
kembali masalahnya kepada niat awalnya. Bila niatnya semata-mata membadalkan
ibadah haji, maka yang sampai pahalanya semata-mata pahala ibadah haji saja.
Sedangkan amalan lainnya di luar ibadah haji, maka tentu tidak sampai
sebagaimana niatnya.
Sebaliknya, bila yang bersangkutan sejak awal berniat untuk
melimpahkan pahala ibadah lainnya seperti baca Al-Quran, zikir, umrah dan
lainnya kepada yang diniatkannya, ada pendapat yang mengatakan bisa
tersampaikan.
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu `alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment