Al-Quran menamai
orang-orang yang suka “melacurkan ilmu” demi dunia ibarat “anjing” yang
menjulurkan lidahnya. Itulah prototype Bal’am ibn Ba’ura
www.hidayatullah.com
Oleh: Qosim Nursheha
Dzulhadi *
Adalah Bal’am ibn
Ba’ura. Seorang alim yang memiliki ilmu mumpuni di kalangan
Bani Isra’il. Hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya dalam mengeluarkan ilmu sangat
luar biasa. Karena dia diberi pemahaman mendalam tentang Taurat oleh Allah
s.w.t.
Namun akhirnya, dia menyalah-gunakan
keilmuannya demi kepentingan duniawi. Dia gunakan keilmuannya bukan untuk
kepentingan umat, tapi kepentingan pribadi dalam menumpuk-numpuk kenikmatan
sesaat, palliative. Oleh karenanya, Rasulullah s.a.w. ketika di
Madinah, diperintah oleh Allah untuk menceritakan kisah Bal’am ini kepada
orang-orang Yahudi di Madinah sebagai pelajaran berharga bagi ummat, setidaknya
agar tahu kerusakan ilmu yang telah dilakukan Bal’am.
Pelacuran
Intelektualitas
Orang-orang beilmu sebenarnya dipilih
Allah. Karena Dialah sumber ilmu: al-‘alim, al-‘allam. Dengan ilmu itu
Allah menginginkan pemiliknya menjadi orang-orang yang terangkat derajatnya
(Qs. Al-Mujadilah: 11). Namun jika disalahgunakan, ilmu pun menjadi malapetaka.
Karena yang lahir adalah “pelacuran” intelektualitas. Dan Bal’am adalah
contohnya. Di mana, di zaman Rasulullah saja, kerusakan ilmu dan “pelacuran”
intelektual sudah ada.
Kejahilan ilmu dan “pelacuran
intelektual” seperti Bal’am diibaratkan oleh Allah seperti “anjing”. Kenapa
harus anjing? Karena anjing itu bermental penjilat dan pragmatis. Jika dihalau,
anjing akan menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan dia akan tetap
menjulurkannya lidahnya. Mental penjilat dan pribadi pragmatis –dalam
keilmuan—dimana pun sama. Mereka adalah “anjing-anjing” penjilat dan penjual
kebenaran, melacurkan ilmu pengetahuan dan intelektualitas mereka.
Bagaimana tidak? Dia sudah mengetahui
kebenaran yang diberikan oleh Allah. Pemahaman terhadap Alkitab (Islam:
Al-Quran) tapi dia jual ayat itu dengan harga yang sangat murah (tsamanan
qalilan).
Bukan sedikit, ilmuwan agama (baca
Islam) saat ini menukar ilmu dengan sekeping dollar yang jelas-jelang efeknya
untuk menghancurkan Islam. Dia jual ayat Allah, hadits Nabi s.a.w. dan pendapat
ulama Islam demi interest pribadi, kelompok dan golongan. Bahkan tidak
segan-segan memutar-balikkan fakta. Kata Imam ‘Ali karrama Allah wajhah,
“Kalimat
haqqin yuradu biha bathil.”
Al-Quran sangat keras dan mengecam
tipe makhluk seperti ini. “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang
Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab),
Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh
syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat.” Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, Maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami
dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” [QS. Al-A’raf [7]: 175-176].
Sejak lama, prototype
ilmuan dan intelek model itu sudah digambarkan oleh Khalifah ‘Umar ibn
al-Khattab. Diceritakan oleh Ziyad ibn Hudayr bahwa ‘Umar bertanya kepadanya: “Tahukah engkau
apa yang dapat menghancurkan Islam? Tidak,” jawab Hudayr. “Tergelincirnya
seorang alim (intelek, ilmuwan), seorang munafik yang berdebat menggunakan
dalil-dalil Al-Kitab (Al-Quran) dan para aparat pemerintah (imam) yang
menyesatkan.” [Diriwayatkan oleh Al-Darimi].
Ketiga tipe penghancur Islam yang
disebutkan oleh Khalifah ‘Umar sudah muncul di tengah-tengah umat Islam. Para ulama yang tergelincir sudah banyak. Ada yang menghalalkan
bunga bank dengan alasan maslahat. Ada seorang hafizh Al-Quran yang
masih percaya kepada “klenik” dan khurafat. Ada ilmuwan yang berani mengatakan bahwa Kong
Hu Chu adalah “Ahli Kitab”. Ada
juga yang GR ‘berijtihad’ bahwa kawin sesama jenis (homoseks, lesbian)
adalah “islami dan humanis’. Bahkan kawin Musliman dengan non-Muslim sudah tak
zamannya untuk diperdebatkan
Orang-orang munafik yang berdebat
menggunakan ayat-ayat Al-Quran banyak bermunculan. Dalam sebuah debat di salah
satu channel
TV lokal, seorang akitvis Jaringan Islam Liberal (JIL) menyitir satu ayat
Al-Quran untuk mematahkan lawan debatnya yang mendukung adanya khilafah
Islamiyah. Dengan penuh percaya diri aktivis itu mengatakan, “Tahsabuhim
jami’an wa qulubuhum satta” [Kalian kira mereka itu bersatu padu,
padahal hati mereka berpecah-belah]. Dengan tegas dia mengatakan, “Itu lah
Hizbut Tahrir.” Padahal dalil yang digunakannya tidak tepat sama sekali. Tapi
dia berani untuk menyerang saudara seiman dan seakidahnya, hanya untuk
kemasyhuran. Inilah yang diibaratkan Al-Quran sebagai sosok “anjing-anjing”
yang mengulur-ulurkan lidahnya.
Tidak sedikit orang-orang bergelar
intelektual (bahkan dijuluki TV sebagai intelek Muslim) yang menyalahkan nabi
Luth ketika melarang umatnya melakukan homoseks. Alasannya macam-macam. Ada yang menyatakan bahwa
ayat-ayat yang berbicara tentang nabi Luth tidak secara eksplisit
“mengharamkan” praktek “homoseks”.
Tidak sedikit mereka
menyalah-nyalahkan para Sahabat Nabi dan para Tabi’in. Sedang Allah menjamin
mereka di dalam surga karena ketaatan pada agama dan akhlaq luhur-nya. Boleh
dibilang, hanya seujung jari untuk membandingkan para Sahabat Nabi dan Tabi’in
dengan para intelektual --yang oleh Al-Quran—diumpamakan sebagai
“anjing-anjing” ini.
Peringatan Nabi
Yang jelas, fenomena “pelacuran
intelektualitas” dan penyesatan para pemimpin umat yang diceritakan di atas,
karena bersumber dari “kerusakan ilmu”. Dan itu sudah terjadi sejak lama, sejak
zaman Bani Isra’il.
Dan orang-orang yang muncul dewasa
ini tak lain hanyalah “Bal’am-Bal’am kontemporer”. Model intelek “anjing penjilat”
dan pragmatis. Yang rela “dibayar” dan “dibeli” idealisme dan loyalitas kepada
Islam untuk kepentingan duniawi. Dan ini adalah imitasi terhadap model keilmuan
umat sesat, Yahudi.
Imbas dari “pelacuran intelektual”
seperti ini adalah: ngambangnya pemahaman umat terhadap Islam. Yang lahir
kemudian adalah faham “bingungisme”. Umat dibuat tak punya
pegangan pasti. Karena para inteleknya “rusak” dan tak bermoral.
Sufyan ibn ‘Uyainah dalam satu
statemennya menegaskan, “Man fasada min ulama’ina fafihi syibhun min
al-Yahud. Wa man fasada min ‘ibadina, fafihi syibhun min al-Nashara”
[Siapa saja yang “rusak” dari kalangan intelek (ilmuwan, ulama) kita maka pada
diri mereka ada titik kesamaan dengan Yahudi. Dan siapa saja dari umat (hamba,
orang awam) yang rusak, maka dalam dirinya ada kemiripan dengan Nashrani).
Makanya, sejak dari surah al-Fatihah
Allah sudah memberikan stempel negatif kepada kedua kelompok Ahli Kitab itu.
Yahudi disebut oleh Allah sebagai kelompok al-maghdhub ‘alayhim, karena yang rusak
adalah para ulamanya. Kemudian diikuti oleh kerusakan orang awamnya. Dan
kelompok Nashrani disebut oleh Allah sebagai al-dhallun (tersesat). Karena tak mau
mengikuti kebenaran berdasarkan ilmu, padahal sudah jelas dan terang
dibuktikan.
Fenomena dekonstruksi Islam sekarang
ini adalah bukti konkret kerusakan ilmu. Di mana, ilmu-ilmu Islam tak lagi
dipahami sebagai satu hal yang inheren dengan amal. Karena tak lagi inheren
dengan amal, maka menjadi tidak integral dengan moralitas. Pada gilirannya,
ilmu-ilmu yang dipelajari dan dimiliki tak lagi “membumi”.
Akibatnya, ilmu-ilmu itu hanya
menjadi alat “penghujat”, pembodohan umat, penyalah-gunaan jabatan dan
pembebebakan kepada ‘sang tuan pemberi donasi’.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya
mengatakan, satu peradaban inferior cenderung “membebek” kepada
peradaban yang superior”. Makanya tak sedikit dari kaum intelek kita yang
mengaku “dibayar” oleh pihak Barat dalam menyebarkan dan menjajakan
wacana-wacana destruktif ke tengah-tengah umat.
Banjirnya wacana-wacana “sekularisme”,
“pluralism” dan “liberalism” diasongkan dimana-mana adalah salah satu buktinya.
Lahir kemudian faham relativisme. Tak heran jika kemudian Al-Quran dihujat,
Rasulullah dilecehkan, hukum Islam didekonstruksi, feminisme dan gender
dijadikan “wirid” di mana-mana. Bahkan sebagaikan memaksakan menjadi “materi
wajib” pendidikan. Seolah sebegitu pentingnya.
Maka penting kiranya peringatan
Rasulullah s.a.w. berikut ini dicermati dan direnungkan. “Sungguh,
kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian: sedepa demi sedepa,
sehasta demi sehasta dan sejengkal demi sejengkal. Meskipun mereka masuk ke
dalam lubang biawak, kalian akan mengikutinya.” Apakah mereka itu kaum Yahudi
dan Nashrani wahai Rasul?” tanya para sahabat. Siapa lagi kalau bukan mereka,”
jawab Rasulullah singkat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Semoha Allah terus menjaga dan menjauhkan kita dan keluarga kita agar tak
terjerumus dalam lingkaran setan bernama “Bal’am kontemporer” yang ada. Wallahu a’lamu
bi al-shawab.
* Penulis peserta
Program Kaderisasi Ulama (PKU) di Center for Islamic and Occidental Studies
(CIOS) di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor-Ponorogo, Jawa Timur
No comments:
Post a Comment