Jumat,
28 Mar 08 07:32 WIB
Ass.wr. wb.
Pa ustadz, kamitelah menikahkan adik ipar (laki-laki), tapi
sebulan kemudian kami sekeluarga baru tahu kalo isteri adik ipar telah hamil
sebelum menikah dan memang yang melakukan hal tersebut adalah adik ipar kami,
sekarang usia kehamilan sudah 3 bulan.
Kami sekeluarga kaget, marah, dan malu karena merasa dibohongi.
Namun apa dikata nasi sudah menjadi bubur. Sekarang perasaan saya sangat benci
dan muak jika melihat mereka. Saya dan suami sudah memberi masukan pada orang
tua untuk memisahkan mereka sampai melahirkan anak baru nanti dilakukan
pernikahan ulang, karena pernikahan yang dilakukan pada saat mempelai perempuan
dalam keadaan hamil kan tidak syah..
Jadi kalo mereka tidak dipisah kami takut karena berarti kami
membiarkan mereka terus menerus berbuat maksiat. Tapi sepertinya masukan dari
kami tidak didengar dan orang tua terkesan tidak tegas dan takut terhadap adik
ipar kami itu.
Ustadz bagaimana sekarang kami harus bersikap seandainya orang
tua tidak berhasil memisahkan mereka, berdosakah kami? Apakah keputusan kami
untuk tidak mau datang ke rumah orang tua karena benci & marah bila harus
bertemu adik ipar, bijaksana atau tidak?
Atau kami biarkan mereka tetap bersama dan setelah melahirkan
anak baru kami adakan pernikahan ulang untuk mereka?
Terimakasih seblumnya atas jawaban ustadz.
Dwi S
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Pasangan yang pernah berzina memang berdosa karena berzina.
Dalam sistem hukum Islam yang tegak, mereka wajib dicambuk 100 kali cambukan
dan diasingkan selama setahun.
Bahkan kalau yang berzina itu berstatus muhshan, hukumannya
bukan sekedar cambuk tetapi hukuman mati, dengan cara dilempari batu hingga
mati.
Sayangnya di negeri kita ini tidak berlaku hukum hudud, karena
pemerintah Indonesia tidak mau menjalankan hukum yang telah Allah wajibkan itu.
Jadi yang berdosa justru mereka yang jadi penguasa, baik eksekutif maupun
legislatif.
Hukum Menikahi Wanita Yang
Pernah Dizinai Sendiri
Tapi kemarahan Anda cukup sampai di sini, setelah mereka
bertaubat dan meminta ampun kepada Allah, maka selesai sudah urusannya di
tangan Allah. Kalau Allah SWT mengampuni, maka Dia akan mengampuni pasangan
itu, sebagaimana Allah SWT mengampuni wanita yang dirajam nabi. Dan sebaliknya,
kalau Allah SWT tidak mengampuninya, maka urusannya juga di tangan Allah.
Buat kita, bila pasangan yang pernah berzina itu kini telah
menikah dengan benar, urusannya sudah selesai. Sebab begitu mereka menikah
dengan sah, maka hubungan pernikahan di antara mereka sudah sah juga. Mereka
secara hukum Islam adalah pasangan suami isteri yang sah 100%, dibenarkan oleh
Al-Quran dan As-Sunnah.
Tidak perlu dipisah dulu, atau harus dilahirkan dulu bayinya,
lalu nanti diulangi lagi nikah dari awal setelah melahirkan. Kalau pun memang
ada yang berpendapat seperti ini, nampaknya ini adalah pendapat yang kurang
populer di kalangan ahli ilmu.
Setidaknya jumhur fuqaha tidak sependapat untuk mengharamkan
pasangan yang pernah berzina untuk menikah. Sebaliknya, justru mereka diminta
untuk segera menikah secepanya. Meski si wanita sedanghamil. Bahkan meski
wanita itu sudah melahirkan anak dan anak itu sudah besar.
Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita
yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini:
Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mu'min. (QS. An-Nur: 3)
Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya
sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.
1. Pendapat Jumhur
(mayoritas) ulama
Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
·
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun
tanzih (dibenci).
·
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan,
maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
·
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan
hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi
Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma.
Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang
pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata,
"Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan
seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,
"Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan
Daruquthuny).
Dan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada
Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau
menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan
diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR
Abu Daud dan An-Nasa'i)
Selain itu juga ada hadits berikut ini
Dimasa lalu seorang bertanya
kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku
diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya,
namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina
tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas
berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa
maka aku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu
Hatim)
Ibnu Umar ditanya tentang
seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu
menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri."
2. Pendapat Yang Mengharamkan
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan
tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat
ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain.
Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita
maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah
berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh
laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri
berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina
adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami
sebutkan di atas (QS. An-Nur: 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu
orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap
menjadikannya sebagai isteri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR
Abu Daud)
Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah
Syeikh Al-Utsaimin rahimahullah.
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad
bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka
berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat,
maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka
nikahnya syah secara syar'i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas
prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup
normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa
dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain
belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan,
meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.
Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah
terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami
dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang
akil, baligh, merdeka, dan 'adil.
Tidak Perlu Diulang
Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan
pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya
tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir.
Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada
pernikahan ulang.
Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak
mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara
sah. Hukumnya bukan zina.
Status Anak
Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak
ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah
dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah
pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan
secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja
bedanya.
Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan
orang lain, harus dilakukan proses istibra', yaitu menunggu kepastian apakah
ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra' itu menurut para ulama
adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu memang bisa dipastikan tidak ada
janin, baru boleh dia menikah dengan orang lain.
Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak
perlu dilakukan istibra' karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa
dipastikan bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah
resmi menjadi suami ibunya.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment