KH. Jalaluddin Rakhmat
Rasulullah saw bersabda, “Semua urusan yang tidak dimulai dengan basmalah, maka urusan itu terputus.” Apa yang dimaksud dengan amal yang terputus? Amal yang terputus adalah amal yang tidak mempunyai ujung, tidak ada tujuannya. Amal yang tidak mempunyai ujung atau tidak mempunyai tujuan adalah amal yang tidak dimulai dengan nama Allah. Sebaliknya, amal yang dimulai dengan nama Allah tidak akan terputus; amal itu akan berakhir dengan nama Allah lagi. Menurut Syekh Jawad Amuli, begitu pula jika amal kita dimulai dengan hamdalah, maka amal itu akan berujung dengan hamdalah pula.
Berkenaan dengan hadis di atas, Syekh Jawad
Amuli membagi amal-amal tersebut ke dalam dua macam perbuatan baik. Pertama, amal yang baik dari segi perbuatan.
Istilah ini disebut dengan hasan al-fi’li. Yang termasuk kriteria hasan
al-fi’li misalnya adalah menolong orang lain, membantu orang yang sedang
kesusahan, dan berdakwah. Semua perbuatan itu sudah termasuk perbuatan baik. Kedua, amal yang baik dari
segi pelakunya atau disebut hasan al-fâ’ili. Orang yang melakukan suatu
perbuatan itu memang terhitung baik dan ia memulai pekerjaannya dengan niat
yang ikhlas.
Pada Perang Shiffin, tentara ‘Amr bin Ash
dan Mu’awiyah mendapatkan kekalahan. Mereka meminta untuk berhukum. Tetapi
orang Khawarij menolaknya seraya berkata, “Tidak ada hukum kecuali hukum
Allah.” Ketika Imam Ali bermusyawarah, berunding untuk memelihara perdamaian,
orang Khawarij marah dan berkata, “Mengapa harus membuat pengadilan, karena
semua hukum itu milik Allah.” Imam Ali lalu berkata, “Ucapan orang Khawarij
bahwa tidak ada hukum kecuali hukum Allah adalah ucapan yang benar, tetapi
diucapkan dengan maksud yang buruk.” Dalam pandangan Imam Ali, ucapan orang
Khawarij itu adalah benar dari segi perbuatannya, tetapi tidak benar dari segi
maksud orang yang mengucapkannya. Pada saat itu Imam Ali as menggolongkan
kelompok Mu’awiyah dan Khawarij dengan perkataan yang indah, “Orang-orang
Khawarij lebih baik daripada orang Mu’awiyah, karena orang Khawarij adalah
orang yang mencari kebenaran tetapi tidak menemu-kannya. Lebih baik orang yang
mencari kebenaran walaupun tidak menemukannya daripada orang yang mencari
kebatilan dan keburukan seperti Mu’awiyah.”
Basmalah adalah kalimat yang benar dan hasan
dari segi fi’li. Jika orang melakukan suatu perbuatan baik yang dimulai dengan
basmalah, berarti ia menisbahkan fâ’il-nya untuk Allah. Ia menyandarkan
pekerjaannya kepada Allah sehingga ia mengubah hasan al-fi’li sekaligus
menjadi hasan al-fâ’ili.
Jadi,
ada perbuatan yang fi’li-nya baik tetapi fâ’il-nya tidak baik,
karena tidak berangkat dengan nama Allah. Perbuatan seperti ini dapat
dikategorikan terputus atau batal.
Suatu
perbuatan harus hasan al-fi’li dan hasan al-fâ’ili; masuk dan
keluarnya harus benar. Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang tujuan amal,
yaitu kebenaran. Inilah yang dianjurkan Allah kepada manusia dalam amal
sehari-hari: Dan katakanlah: Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang
benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar dan berikanlah kepadaku dari
sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (QS. Al-Isra 80)
Al-Quran
menceritakan bagaimana agar tempat keluarnya menjadi tempat yang benar; seperti
dalam surat At-Thalaq ayat 2-3: Dan mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik, atau lepaskanlah mereka dengan baik. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian
itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia
akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang
tiada disangka-sangka olehnya. Dan barang-siapa yang bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesunguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu...
Orang-orang
yang masuk dari tempat yang baik dan mengakhiri pada tempat yang baik adalah
orang yang digambarkan dalam ayat di atas.
Basmalah
berarti kita melakukan suatu perbuatan dengan niat yang ikhlas dengan diiringi
nama Allah, agar ketika kita keluar dari tempat itu dalam keadaan baik. Kita
memulai perbuatan dengan al-haq agar ujung amal kita keluar dari al-haq
pula.
Nama
Allah dalam kalimat basmalah adalah nama yang sangat agung yang mencerminkan
kesempurnaan. Seperti disebut-kan dalam Al-Quran: Mahaagung nama Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan karunia. (QS. Al-Rahmân 78) Allah menjadikan nama-Nya sebagai
sumber keberkahan. Allah juga memerintahkan kita untuk mensucikan nama-Nya;
jangan sekali-kali mencemarinya. Dalam Al-Quran kita menemukan perintah untuk
mensucikan nama-Nya. Allah mem-punyai sifat sempurna dan harus dibersihkan dari
segala sifat kekurangan: Sucikan nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (QS. Al-A’la 1)
Ketika
turun surat Al-Waqiah ayat 74: Maka bertasbihlah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang Mahabesar, Rasulullah saw bersabda, “Jadikanlah pensucian nama itu di
dalam ruku’ kamu.” Dan ketika turun surat Al-A’la ayat 1: Sucikanlah nama
Tuhanmu yang Mahatinggi, Rasulullah berkata, “Jadikanlah pensucian itu di dalam sujud
kamu.”
Ada
sebuah riwayat di kalangan ‘irfani yang menyebutkan bahwa kata basmalah
yang diucapkan oleh seorang hamba mempunyai kedudukan seperti lafad kun
yang diucapkan Allah. Maksudnya, ketika Allah berkehendak dengan sesuatu, Dia
hanya berkata Kun, maka jadilah sesuatu itu. (Lihat QS. Yasin 82). Bagi
orang yang sudah mencapai maqam tertentu, ucapan basmalahnya akan sama dengan ucapan
kun. Jika ia menghendaki sesuatu, terjadilah apa yang diinginkannya.
Sebelum
Nabi Nuh pergi meninggalkan kaumnya dengan perahu yang besar, ia berkata, “Bismillâhi majrehâ
wa mursâhâ” (QS. Hud 41). Dengan ucapan itu, majulah perahu itu.
Perahu itu bergerak dengan nama Allah. Nabi Nuh memberi contoh bagaimana
menggerakkan sesuatu dimulai dengan nama Allah, dan bahwa yang dilakukan oleh
Nabi Nuh bukan kehendaknya, tetapi kehendak Allah.
Puncak
dari perjalanan kepada Allah adalah ketika kehendak seorang hamba sudah bersatu
dengan kehendak Allah. Ada beberapa tahap perjalanan menuju Allah. Pertama, ketika seseorang
mendahulukan kehendaknya dari-pada kehendak Allah. Kedua, ketika seseorang
mendahulukan kehendak Allah daripada kehendaknya. Jika seseorang sudah
men-dahulukan kehendak Allah daripada kehendak dirinya, dia tidak dapat
membedakan mana kehendak Allah dan kehendak dirinya. Kakinya yang berjalan
adalah kaki Allah, matanya yang melihat adalah mata Allah, dan tangannya yang
memegang adalah tangan Allah. Dalam hadis Qudsi disebutkan: Jika seorang hamba
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaku-kan amal sunnah, Aku akan menjadi
matanya untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya untuk menyentuh, dan Aku akan
menjadi kakinya untuk berjalan. Dan jika ia berdoa, Aku akan menjawab doanya.
Jadi, hamba yang sudah dekat dengan Allah, kehendaknya sudah menjadi kun.
Ucapan basmalahnya sama dengan kata kun dari Maula-nya, Allah.
Pada
tahap kedua ini kita coba membuang keinginan-keinginan kita; yang ada dalam
diri kita hanyalah keinginan Allah. Kita serahkan diri kita untuk Allah tanpa
menyisa-kan sedikit pun kehendak untuk kita.
Ada
sebuah cerita di kalangan sufi. Pada suatu hari Junaid Al-Baghdadi mikraj, naik
ke langit. Pada perjalanannya, ketika sampai pada langit pertama, ia melihat
ada kumpulan malaikat sedang ruku’ dan zikir. Junaid ditanya oleh para
malaikat, “Hai Junaid, bergabunglah bersama kami dengan berzikir mensucikan
nama Tuhanmu.” Junaid menjawab, “Tidak. Ajakan kalian tidak aku kehendaki.”
Lalu ia naik ke tingkat yang kedua. Ia melihat ada kumpulan orang sedang ruku’.
Junaid diseru, “Hai Junaid, bergabunglah bersama kami.” Junaid menjawab,
“Tidak. Aku tidak ingin bergabung dengan kalian.” Lalu ia naik ke tingkat
ketiga. Ia melihat ada sekelompok orang yang sedang sujud. Junaid diseru oleh
mereka untuk bergabung. Junaid menjawab, “Aku tidak ingin bergabung denganmu.”
Lalu sampailah ia pada suatu tempat yang lebih tinggi, yang disebut Sidhratul
Muntahâ. Pada tempat itu, ia mendengar perkataan, “Apa yang kamu
kehendaki, wahai Junaid?” Junaid berkata, “Aku berkehendak supaya aku tidak
mempunyai kehendak lagi.”
Inilah
yang disebut sebagai puncak perjalanan tasawuf. Pada tingkat ini, kalimat
basmalah mempunyai kedudukan sama dengan kata kun. Jika orang sudah sampai
pada tingkat ini (mendahulukan kehendak Allah), ucapannya adalah sebuah
kebenaran.
Syekh
Jawad Amuli menyebutkan contoh orang seperti ini adalah Abu Dzar Al-Ghifari.
Semua perkataan Abu Dzar adalah kebenaran. Rasulullah bahkan pernah bersabda,
“Di bawah naungan langit dan di atas permukaan bumi ini tidak ada lidah yang
lebih jujur selain lidah Abu Dzar.” Mengapa Abu Dzar sampai pada tahap seperti
itu? Karena, ia sudah sampai pada tingkat tawakal kepada Allah; ia menyerahkan
seluruh kehendaknya hanya untuk Allah. Dalam kitab Nur Al-Tsaqalain
disebutkan: Sesungguhnya basmalah itu lebih dekat dengan nama Allah yang
Mahaagung daripada dekatnya hitam mata dengan putihnya. Basmalah adalah
nama agung bagi orang yang sudah mencapai derajat tertentu.
Allah: Antara Kasih Sayang dan Murka Dalam basmalah itu
terdapat asma-asma Allah yang menunjukkan sifat jalâliyyah dan jamâliyyah.
Asma-asma yang disebut dalam Basmallah adalah Allah, Al-Rahmân, dan Al-Rahîm.
Menurut Al-Razi, asma Allah menunjuk-kan lafzh al-jalâlah. Allah
adalah nama zat yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dengan kata Allah itu,
ditunjukkanlah kekuasaan, ke-Mahabesaran, dan ke-Mahatinggian Allah. Sesudah
itu, Allah menyebut Al-Rahman dan Al-Rahim. Dan itulah sifat jamâliyyah
(sifat kasih sayang). Allah hanya menggunakan satu nama untuk menggambarkan
kebesaran-Nya, yaitu kata Allah. Tapi untuk menggambarkan kasih
sayang-Nya, Allah menggunakan dua nama, yaitu Al-Rahman dan Al-Rahim.
Ini menunjuk-kan bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar, lebih banyak, dan
jauh lebih tinggi daripada ke-Mahakuasaan-Nya.
Kita
tahu ada dua wajah Allah. Pertama, wajah Allah yang keras, yang berat
siksaan-Nya (Syadîd Al-‘Iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat jalâliyyah.
Kedua, wajah lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang; wajah yang
selalu siap mendengarkan keluhan dan penderitaan kita; wajah yang setiap malam
menunggu kita untuk datang berdialog dengan-Nya; wajah yang selalu melimpahi
setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun makhluk-Nya itu setiap saat
bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam
istilah tasawuf disebut sebagai sifat-sifat jamâliyyah, yakni
sifat-sifat keindahan Allah.
Dalam
basmalah ditunjukkan bahwa sifat jamâliyyah Allah lebih besar daripada
sifat jalâliyyah-Nya. Kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada
kemurkaan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi diriwayatkan: Aku ingin murka
melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tetapi Aku melihat
orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu pada ibunya, dan
binatang-binatang yang mencari makanan. Maka berhentilah kemarahan-Ku. Jadi, kasih sayang
Tuhan jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Sehingga di dalam doa Kumayl,
disebutkan Wahai Zat yang lebih cepat rida-Nya. Tuhan memang murka juga.
Tetapi rida-Nya jauh lebih cepat.
Di
majalah Ummat, saya membaca tulisan Bapak Alwi Shihab. Di
universitasnya, di Amerika Serikat, beliau menyaksikan orang-orang kafir yang
akhlaknya sangat bagus, yang mencurahkan perhatiannya kepada ilmu dengan tidak
memperhatikan hal-hal duniawi. Mereka masih kafir. Lalu dalam pikiran beliau
bergulat berbagai masalah: Bagaimana orang kafir bisa begitu baik akhlaknya
dan mengabdi kepada Allah? Bagaimanakah (nasib) mereka di akhirat nanti?
Yang menarik dari kesimpulan Alwi Shihab adalah beliau menunjuk kepada besarnya
kasih sayang Allah swt.
Kalau
kita memikirkan betapa besarnya kasih sayang Allah daripada murka-Nya, maka
besar dugaan kita, kasih sayang Allah tidak hanya meliputi orang-orang Islam,
tetapi juga orang-orang kafir. Ustad Alwi Shihab menduga bahwa orang-orang
saleh yang agamanya berlainan akan mendapat limpahan kasih sayang Allah swt
juga.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa azab Allah juga berarti percikan kasih sayang-Nya. Dalam
hidup ini, seringkali Allah memberi-kan pelajaran, baik berupa ujian maupun
azab, kepada kita. Sebetulnya itu adalah percikan dari kasih sayang Allah.
Siksaan dan ujian yang kita terima dalam kehidupan ini, tetap berasal dari
samudera kasih sayang Allah swt.
Kita
pernah menceritakan keluhan seorang sahabat kepada Nabi saw. Ia mengeluh karena
setelah masuk Islam dagangannya rugi dan tubuhnya sering ditimpa penyakit. Ia
berkata, “Ya Rasulallah, tubuhku sakit dan hartaku hilang.” Lalu Nabi menjawab
bahwa ujiannya itu adalah tanda dari kasih sayang Allah, bukan tanda dari
kemurkaan-Nya. Tak ada baiknya seseorang yang tubuhnya tidak pernah sakit dan
hartanya tidak pernah rugi. Karena, apabila Allah mencintai seorang hamba,
Allah akan coba ia dengan berbagai ujian. Ujian adalah percikan kasih sayang
Allah. Begitu juga halnya dengan azab Allah yang Ia berikan pada hari akhirat
nanti, ia masih merupakan percikan dari rahmân rahîm-Nya.
Mungkin
kita bisa memahami bahwa ujian-ujian yang Allah berikan kepada kita di
dunia adalah salah satu jalan guna mengangkat diri kita menjadi orang yang
lebih baik. Dan itu sudah merupakan sunatullâh. Orang yang
memiliki kualitas yang tinggi adalah orang-orang yang sudah teruji
berkali-kali. Seperti sebuah peribahasa di negeri Barat yang menyatakan: Badailah
yang membuat kuat bangsa Viking. []
No comments:
Post a Comment