Kamis, 13 Sep 07 08:31 WIB
Kirim teman
Ada
seorang ustadz yang mengatakan bahwa hadits tentang pembagian Ramadhan menjadi
tiga itu dhaif. Padahal hadits itu populersekali di tengah bulan Ramadhan.
Kalau tidak salah bunyinya seperti ini:
Ramadhan itu awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah
maghfirah (ampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.
Pertanyaan saya adalah: Benarkah klaim ustadz tersebut? Dan kalau benar, apa status hadits itu?
Bagaimana kita mensikapinya.
Demikian terima
kasih banyak ustadz
Misyal
Nasifmisyalk@yahoo.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Hadits yang anda
tanyakan kedudukannya itu memang sangat populer di tengah masyarakat, khususnya
selama bulan Ramadhan. Dengan hadits itu, para penceramah banyak mengajak
orang-orang agar memanfaatkan bulan Ramadhan untuk khusyu' beribadah, agar
mendapatkan tiga hal tersebut. Yaitu rahmah dari Allah, ampunan-Nya serta
pembebasan dari neraka.
Namun menarik
sekali apa yang disampaikan oleh ustadz yang antum ceritakan bahwa ternyata
menurut beliau hadits itu bermasalah dari sanad dan kekuatannya jalur
periwayatannya. Betulkah?
Kami berupaya
membolak balik beberapa literatur serta tulisan dari para ulama ahli hadits
terkait dengan haditsi ini. Kami menemukan uraian yang menarik dari seorang
ustadz ahli hadits di Indonesia, yaitu Al-Ustadz Prof. Ali Mustafa Ya'qub, MA.
Menurut beliau,
hadits itu memang bermasalah dari segi periwayatannya. Sebenarnya hadits ini
diriwayatkan tidak hanya lewat satu jalur saja, namun ada dua jalur. Sayangnya,
menurut beliau, kedua jalur itu tetap saja bermasalah.
Jalur Pertama
Salah satu jalur
periwayatan haditsi ini versinya demikian:
أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار
Bulan Ramadhan,
awalnya rahmah, tengah-tengahnya maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari
neraka.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-'Uqaili dalam kitab khusus tentang hadits dha'if yang
berjudul Adh-Dhu'afa'. Juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
kitabnya Tarikhu Baghdad. Serta diriwayatkan juga oleh Ibnu Adiy, Ad-Dailami,
dan Ibnu Asakir.
Mereka Yang
Mendhaifkan
Adapun para
muhaddits yang mempermasalahkan riwayat ini antara lain:
1. Imam
As-Suyuthi
Beliau mengatakan
bahwa hadits ini dhaif (lemah periwayatannya).
2. Syeikh
Al-Albani
Beliau mengatakan
bahwa riwayat ini statusnya munkar. Jadi sebenarnya antara keduanya tidak
terjadi pertentangan. Hadits munkar sebebarnya termasuk ke dalam jajaran hadits
dhaif juga. Sebagai hadits munkar, dia menempati urutan ketiga setelah hadits
matruk (semi palsu) dan maudhu' (palsu).
Sementara
sanadnya adalah:
1. Sallam bin
Sawwar 2. dari Maslamah bin Shalt 3. dari Az-Zuhri 4. dari Abu Salamah 5. dari
Abu Hurairah 6. dari nabi SAW
Dari rangkaian
para perawi di atas, perawi yang pertama dan kedua bermasalah. Yaitu Sallam bin
Sawwar dan Maslamah bin Shalt.
Sallam bin Sawwar
disebut oleh Ibnu Ady, seorang kritikus hadits, sebagai munkarul hadits.
Sedangkan oleh Imam Ibnu Hibban, dikatakan bahwa haditsnya tidak bisa dijadikan
hujjah (pegangan), kecuali bila ada rawi lain yang meriwayatkan haditsnya.
Perkataan Ibnu Hibban ini bisa kita periksa dalam kitab Al-Majruhin.
Sedangkan
Maslamah bin Shalt adalah seorang yang matruk, sebagaimana komentar Abu Hatim.
Secara etimologis, matruk berarti ditinggalkan. Sedangkan menurut terminologi
hadits, hadits matruk adalah hadits yangdalam sanadnya ada rawi yang pendusta.
Dan hadits matruk adalah 'adik' dari hadits maudhu' (palsu).
Bedanya, kalau
hadits maudhu' itu perawinya adalah seorang pendusta, sedangkan hadits matruk
itu perawinya sehari-hari sering berdusta. Kira-kira hadits matruk itu boleh
dibilang semi maudhu'.
Kesimpulannnya,
haditsi ini punya dua gelar. Pertama, gelarnya adalah hadits munkar karena
adanya Sallam bin Sawwar. Gelar kedua adalah hadits matruk karena adanya
Maslamah bin Shalt.
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment