Senin, 14 Mei 07 05:21 WIB
Kirim teman
Assalamualaikum,
Afwan ustadz ana mau tanya kalau untuk masalah zakat
profesi. Apa dasar hukumnya serta bagaimana perhitungan nishabnya. Apakah
dibayar tiap bulan(per gajian), atau tiap tahun. Bagaimana dengan penghasilan
di luar gaji, seperti lembur, dan tips juga masuk hitungan.Juga dengannisabnya,
berapa? Dan kalau misalkan penghasilannya kurang dari segitu, apa kena zakat
atau tidak?
Mohon jawabannya
Jazakumullah
Salam
Nyeki
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Zakat profesi memang tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW
bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab fiqih
yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan bab zakat profesi di
dalamnya.
Wacana zakat profesi itu merupakan ijtihad pada ulama di
masa kini yang nampaknya berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan dan
dasar yang juga cukup kuat.
Salah satunya adalah rasa keadilan seperti yang anda
utarakan tersebut. Harus diingat bahwa meski di zaman Rasulullah SAW telah ada
beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi
penghasilan.
Dalam masalah ketentuan harta yang wajib dizakati, memang
ada perbedaan cara pandang di kalangan ulama. Ada kalangan yang
a. Argumen Penentang Zakat Profesi
Mereka mendasarkan pandangan bahwa masalah zakat sepenuhnya
masalah ubudiyah, sehingga segala macam bentuk aturan dan ketentuannya hanya
boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas atau contoh langsung
dari Rasulullah SAW. Bila tidak ada, maka tidak perlu membuat-buat.
Di antara mereka yang berada dalam pandangan seperti ini
adalah fuqaha kalangan zahiri seperti Ibnu Hazm dan lainnya dan juga jumhur
ulama. Kecuali mazhab hanafiyah yang memberikan keluwasan dalam kriteria harta
yang wajib dizakati.
Umumnya ulama hijaz dan termasuk juga Dr. Wahbah Az-Zuhaily
pun menolak keberadaan zakat profesi sebab zakat itu tidak pernah dibahas oleh
para ulama salaf sebelum ini. Umumnya kitab fiqih klasik memang tidak
mencantumkan adanya zakat profesi.
Apalagi di zaman Rasulullah dan salafus sholeh sudah ada
profesi-porfesi tertentu yang mendapatkan nafkah dalam bentuk gaji atau honor.
Namun tidak ada keterangan sama sekali tentang adanya ketentuan zakat gaji atau
profesi. Bagaimana mungkin sekarang ini ada dibuat-buat zakat profesi.
b. Argumen Pendukung Zakat Profesi
Para pendukung zakat profesi tidak kalah kuatnya dalam
berhujjah. Misalnya mereka menjawab bahwa profesi dimasa lalu memang telah ada,
namun kondisi sosialnya bebeda dengan hari ini. Menurut para pendukung zakat
profesi, yang menjadi acuan dasarnya adalah kekayaan seseroang. Menurut analisa
mereka, orang-orang yang kaya dan memiliki harta saat itu masih terbatas
seputar para pedagang, petani dan peternak.
Ini berbeda dengan zaman sekarang, di mana tidak semua
pedagang itu kaya, bahkan umumnya peternak dan petani di negeri ini malah
rata-rata hidup miskin.
Sebaliknya, profesi orang-orang yang dahulu tidak
menghasilkan sesuatu yang berarti, kini menjadi profesi yang membuat mereka
menjadi kaya dengan harta berlimpah. Penghasilan mereka jauh melebihi para
pedagang, petani dan peternak dengan berpuluh kali bahkan ratusan kali. Padahal
secara teknis, apa yang mereka kerjakan jauh lebih simpel dan lebih ringan
dibanding keringat para petani dan peternak itu.
Inilah salah satu pemikiran yang mendasari ijtihad para
ulama hari ini untuk menetapkan zakat profesi yang intinya adalah azas
keadilan. Namun dengan tidak keluar dari mainframe zakat itu sendiri yang
filosofinya adalah menyisihkan harta orang kaya untuk orang miskin.
Yang berubah adalah fenomena masyarakatnya dan aturan dasar
zakatnya adalah tetap. Karena secara umum yang wajib mengeluarkan zakat adalah
mereka yang kaya dan telah memiliki kecukupan. Namun karena kriteria orang kaya
itu setiap zaman berubah, maka bisa saja penentuannya berubah sesuai dengan
fenomena sosialnya.
Di zaman itu, penghasilan yang cukup besar dan dapat membuat
seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang. Di antaranya adalah
berdagang, bertani dan beternak. Sebaliknya, di zaman sekarang ini berdagang
tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya, sebagaimana juga bertani dan
beternak. Bahkan umumnya petani dan peternak di negeri kita ini termasuk
kelompok orang miskin yang hidupnya serba kekuarangan.
Sebaliknya, profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah ada,
tapi dari sisi pemasukan, tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan materi
besar. Dan di zaman sekarang ini terjadi perubahan, justru profesi-profesi
inilah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Seperti
dokter spesialis, arsitek, komputer programer, pengacara dan sebagainya.
Nilainya bisa ratusan kali lipat dari petani dan peternak miskin di desa-desa.
Perubahan sosial inilah yang mendasari ijtihad para ulama
hari ini untuk melihat kembali cara pandang kita dalam menentukan: siapakah
orang kaya dan siapakah orang miskin?
Intinya zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk
diberikan pada orang miskin. Di zaman dahulu, orangkaya identik dengan
pedagang, petani dan peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah
para profesional yang bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak
berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya
menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari zakat.
Sehingga dalam keyakinan mereka, bila para ulama terdahulu
menyaksikan realita sosial di hari ini, mereka akan terlebih dahulu menambahkan
bab zakat profesi dalam kitab-kitab mereka.
Bila dikaitkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah
ubudiyah, memang benar. Tapi ada wilayah yang tidak berubah secara prinsip dan
ada wilayah operasional yang harus selalu menyesuaikan diri dengan zaman.
Prinsip yang tidak berubah adalah kewajiban orang kaya menyisihkan
harta untuk orang miskin. Dan wajib adanya amil zakat dalam penyelenggaraan
zakat. Dan kententuan nisab dan haul dan seterusnya. Semuanya adalah aturan
`baku` yang didukung oleh nash yang kuat.
Tapi menentukan siapakah orang kaya dan dari kelompok mana
saja, harus melihat realitas masyarakat. Dan ketika ijtihad zakat profesi
digariskan, para ulama pun tidak semata-mata mengarang dan membuat-buat aturan
sendiri. Mereka pun menggunakan metodologi fikih yang baku dengan beragam qiyas
atas zakat yang sudah ditentukan sebelumnya.
Adanya perkembangan ijtihad justru harus disyukuri karena
dengan demikian agama ini tidak menjadi stagnan dan mati. Apalagi metodologi
ijtihad itu sudah ada sejak masa Rasulullah SAW dan telah menunjukkan berbagai
prestasinya dalam dunia Islam selama ini. Dan yang paling penting, metode
ijtihad itu terjamin dari hawa nafsu atau bid`ah yang mengada-ada.
Pada hakikatnya, kitab-kitab fiqih karya para ulama besar
yang telah mengkodifikasi hukum-hukum Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah adalah
hasil ijtihad yang gemilang yang menghiasi peradaban Islam sepanjang sejarah.
Semua aturan ibadah mulai dari wudhu`, shalat, puasa, haji dan zakat yang kita
pelajari tidak lain adalah ijtihad para ulama dalam memahami nash Al-Quran dan
As-Sunnah.
Kehidupan manusia sudah mengami banyak perubahan besar.
Dengan menggunakan pendekatan seperti itu, maka hanya petani gandum dan kurma
saja yang wajib bayar zakat, sedangkan petani jagung, palawija, padi dan
makanan pokok lainnya tidak perlu bayar zakat. Karena contoh yang ada hanya
pada kedua tumbuhan itu saja.
Sementara disisi lain ada kalangan yang melakukan ijtihad
dan penyesuaian sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka misalnya mengqiyas
antara beras dengan gandum sebagai sama-sama makanan pokok, sehingga petani
beras pun wajib mengeluarkan zakat.
Bahkan ada kalangan yang lebih jauh lagi dalam melakukan
qiyas, sehingga mereka mewajibkan petani apapun untuk mengeluarkan zakat. Maka
petani cengkeh, mangga, bunga-bungaan, kelapa atau tumbuhan hiasan pun kena
kewajiban untuk membayar zakat. Menurut mereka adalah sangat tidak adil bila
hanya petani gandunm dan kurma saja yang wajib zakat, sedangkan mereka yang
telah kaya raya karena menanam jenis tanaman lain yang bisa jadi hasilnya jauh
lebih besar, tidak terkena kewajiban zakat.
Di antara mereka yang berpendapat seperti ini antara lain
adalah Al-Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Dan ide munculnya zakat profesi kira-kira lahir dari sistem
pendekatan fiqih gaya Al-Hanafiyah ini, di mana mereka menyebutkan bahwa
kewajiban zakat adalah dari segala rizki yang telah Allah SWT berikan sehingga
membuat pemiliknya berkecukupan atau kaya.
Dan semua sudah sepakat bahwa orang kaya wajib membayar
zakat. Hanya saja menurut kalangan ini, begitu banyak terjadi perubahan sosial
dalam sejarah dan telah terjadi pergeseran besar dalam jenis usaha yang
melahirkan kekayaan.
Dahulu belum ada dokter spesialis, lawyer atau konsultan
yang cukup sekali datang bisa mendapatkan harta dalam jumlah besar dan mengalir
lancar ke koceknya. Misalnya seorang dokter spesialis yang berpraktek hanya
dalam hitungan menit, tapi honornya berjuta. Dibandingkan dengan petani di
kampung yang kehujanan dan kepanasan sedangkan hasilnya pas-pasan bahkan sering
nombok, maka alangkah sangat tidak adilnya agama ini, bila si petani miskin
wajib bayar zakat sedangkan dokter spesialis itu bebas dari beban.
Karena itulah mereka kemudian merumuskan sebuah pos baru
yang pada dasarnya tidak melanggar ketentuan Allah SWT atas kewajiban bayar
zakat bagi orang kaya. Hanya saja sekarang ini perlu dirumuskan secara cermat,
siapakah orang yang bisa dibilang kaya itu. Dan para profesional itu tentu
berada pada urutan terdepan dalam hal kekayaan dibandingkan dengan orang kaya
secara tradisional yang dikenal di zaman dahulu. Untuk itu agar mereka ini juga
wajib mengeluarkan zakat, maka pos zakat mereka itu disebut dengan zakat
profesi.
Dan bila dirunut ke belakang, sebenarnya zakat profesi ini
bukanlah hal yang sama sekali baru, karena ada banyak kalangan salaf yang
pernah menyebutkannya di masa lalu meski tidak/ belum populer seperti di masa
kini.
Namun begitulah, kita tahu bahwa di dalam tubuh umat ini
memang ada khilaf dalam cara pandang terhadap masalah zakat, sehingga ada yang
mendukung zakat profesi di satu pihak karena lebih logis dan nalar dan di pihak
lain menentangnya karena dianggap tidak ada masyru`iyahnya.
Kriteria Yang Wajib Dizakatkan
Yang termasuk dalam zakat profesi menurut para pendukungnya
adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berbentuk
gaji, upah, honor, insentif, mukafaah, persen dan sebagainya. Baik sifatnya
tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.
1. Penghasilan Kotor Atau Bersih
Namun bagaimanakah menghitung pengeluaran itu? Apakah
berdaasrkan pemasukan kotor ataukah setelah dipotong dengan kebutuhan pokok?
Dalam hal ini ada dua kutub pendapat. Sebagian mendukung tentang pengeluaran
dari pemasukan kotor dan sebagian lagi mendukung pengeluaran dari pemasukan
yang sudah bersih dipotong dengan segala hajat dasar kebutuhan hidup.
2. Jalan Tengah Qaradawi
Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan
bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta
memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari
penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok.
Misalnya seseorang bergaji 200 juta setahun, sedangkan
kebutuhan pokok anda perbulannya sekitar 2 juta atau setahun 24 juta. Maka
ketika menghitung pengeluaran zakat, hendaknya dari penghasilan kotor itu
dikalikan 2, 5%.
Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila anda termasuk orang
yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun anda
diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi
hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan anda itu jumlahnya
mencapai nisab dalam setahun (Rp 1.300.000, -), barulah anda wajib mengeluarkan
zakat sebesr 2, 5% dari penghasilan bersih itu.
Nampaknya jalan tengah yang diambil Al-Qaradhawi ini lumayan
bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Dan masing-masing akan
merasakan keadilan dalam syariat Islam. Yang penghasilan pas-pasan, membayar
zakatnya tidak terlalu besr. Dan yang penghasilannya besar, wajar bila membayar
zakat lebih besar, toh semuanya akan kembali.
Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat
mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari
situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai
untuknya.
Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak
sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan
tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.
Nishab
Para ulama umumnya mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat tanaman.
termasuk ketika mengqiyaskan nisab. Maka nishab zakat profesi sesuai dengan
zakat tanaman, yaitu setiap menerima panen atau penghasilan dan besarnya adalah
5 wasaq atau setara dengan 652, 8 kg gabah
Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya)…" (QS Al-An`am 141 )
Rasulullah SAW bersabda: `Tidak ada zakat pada hasil tanaman
yang kurang dari lima wasaq` (HR Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad jayyid)
Dan tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq`
(HR Muslim).
1 wasaq = 60 sha`, 1 sha` = 2, 176 kg, maka 5 wasaq = 5 x 60
x 2, 176 = 652, 8 kg gabah. Jika dijadikan beras sekitar 520 kg. Maka nishab
zakat profesi seharga dengan 520 kg beras. Yaitu sekitar Rp 1.300.000, -.
Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun. Artinya
bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah dipotong
dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp 1.300.000, - maka dia sudah
wajib mengeluarkan zakat profesinya. Ini bila mengacu pada pendapat pertama.
Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka penghasilannya
itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan pokoknya. Bila
jumlahnya dalam setahun mencapai Rp 1.300.000, -, maka wajiblah mengeluarkan
zakat.
Waktu Membayarnya
Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan karena
diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat menerima
hasil.
Besarnya yang harus dikeluarkan
Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari
sisi ini, ia berbeda dengan hasil tanaman, dan lebih dekat dengan `naqdain`
(emas dan perak). Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa kadar zakat
profesi yang dikeluarkan diqiyaskan berdasarkan zakat emas dan perak, yaitu
`rub`ul usyur` atau 2, 5% dari seluruh penghasilan kotor.
Nash yang menjelaskan kadar zakat `naqdaian` sebanyak 2, 5%
adalah sabda Rasulullah SAW:
Bila engkau memiliki 20 dinar (emas) dan sudah mencapai satu
tahun, maka zakatnya setengah dinar (2, 5%)` (HR Ahmad, Abu Dawud dan
al-Baihaqi).
Berikanlah zakat perak dari 40 dirham dikeluarkan satu
dirham. Tidak ada zakat pada 190 dirham (perak), dan jika telah mencapai 200
dirham maka dikeluarkan lima dirham` (HR Ashabus Sunan).
Sehingga jadilah nishab zakat profesi 2, 5% dari hasil kerja
atau usaha.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, L
No comments:
Post a Comment