Selasa, 10 Jul 07
17:24 WIB
Kirim teman
Assalamu alaikum
wr wb.
Semoga pak ustadz
sekeluarga mendapat ridha Allah.
Seorang
mengatakan bahwa di masa kini sudah tidak relevan lagi bicara jihat dalam pengertian
perang, apalagi ada hadits nabi yang mengatakan bahwa kita kembali dari jihad
kecil menuju jihad besar, yaitu melawan hawa nafsu.
Pernyataan ini
mengusik rasa ingin tahu saya tentang kedudukan hadits itu.
Siapa yang
merawikan dan apa statusnya? Benarkah jihad secara pisik itu hanya jihad kecil?
Sebelumnya saya
ucapkan terima kasi
Wasalam
erickvanhouten@astaga.comerickvanhouten@astaga.com at
eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kalimat ini
menurut para ahli riwayat bukanlah sabda Rasulullah SAW. Namun di tengah
masyarakat memang sudah terlanjur populer, bahkan tidak sedikit yang
mengaitkannya dengan sabda Rasulullah SAW.
Sebagai muslim,
kita wajib bersikap kritis dan teliti. Jangan sampai kita salah dan menggampangkan
masalah. Lebih baik kita bertanya kepada ahlinya sebelum bicara.
Tidak ada
salahnya bila kita banyak membuka kitab tentang kritik hadits untuk memastikan
keshahihan riwayatnya. Atau setidaknya kita bertanya kepada para ulama ahli
hadits, bukan kepada sembarang ustadz atau kiyai.
Sebab urusan
keshahihan suatu hadits tidak bisa ditetapkan oleh sembarang orang. Hanya
mereka yang belajar serius di bidang ilmu hadits saja yang punya otoritas dan
kompetensi untuk menjelaskannya.
Bukan Hadits
Lafadz ini oleh
para ulama hadits ditetapkan bukan sabda nabi, melainkan perkataan orang lain. Adalah
Ibrahim bin Abi Abalah yang disebut-sebut sebagai sumbernya. Kitab yang paling
terkenal dalam ilmu periwayatan hadits, Siyar a'lamin nubala, yang disusn oleh
Adz-Dzahabi, pada halaman 325 jilid 6 menyebutkan bahwa Ibnu Abi Abalah
berkata, "Kalian telah pulan dari perang terkecil, lalu perbuatan apa yang
kalian perbuat untuk menghadapi perang besar (melawan hawa nafsu)?"..
Jelaslah bahwa yang mengucapkan lafadz ini bukan nabi SAW,
melainkan orang lain..
Dalam kitab Tasdidunnufus, Al-Asqalani berkata bahwa lafadz
tersebut memang populer di kalangan umat, tetapi ini adalah perkataan Ibrahin
bin Abi Abalah dalam kitab Al-Kina karya An-Nasai.
Al-Qari menyebutkan bahwa lafadz ini terdapat dalam kitab
Al-Ihya'.
Muhaddits kontemporer, Syeikh Nashiruddin Al-Albani
menyebutkan dalam kitab Silsilah Ahadits Dhaifah jilid 5, hadits nomor 2460
bahwa haditsnya diingkari (munkarul hadits).
Siapakah Yang Mengucapkan?
Sudah disebutkan di atas bahwa lafadz ini bukan sabda nabi,
melainkan perkataan Ibrahim bin Abi Abalah.
Ibrahim bin Abi Abalah adalah seorang yang termasuk generasi
tabiin, satu level di bawah generasi shahabat.
Disebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 60 hijriyah, atau
50 tahun setelah nabi SAW wafat. Sebuah sumber menyebutkan bahwa beliau wafat
pada tahun 152 hijriyah.
Beliau adalah orang yang mengatakan lafadz ini dan bukan
riwayat dari Rasulullah SAW seperti anggapan sebagian orang. Namun di luar lafadz ini, beliau tercatat pernah
meriwayatkan sekitar 100-an hadits dari nabi SAW.
Boleh jadi beliau
memang tidak berniat memalsu hadits nabawi, namun orang-orang yang keliru
mengutip perkataannya sebagai sabda nabi SAW..
Karena itu kita
boleh saja menyampaikan lafadz itu, selama tidak mengatakannya sebagai sabda
nabi SAW.
Dan intinya
memang di situ, bahwa perkataan siapa pun bisa diterima atau ditolak, kecuali
sabda nabi SAW.
Lafadz ini bisa
saja kita tolak karena bukan sabda seorang nabi. Apalagi ketika digunakan untuk
mementahkan semangat jihad secara pisik di kalangan umat, wa bil khusus,
generasi mudanya.
Jihad melawan
hawa nafsu memang berat dan banyak orang yang tidak lulus di dalamnya.
Namun jihad
secara pisik juga tidak ringan, karena memutuhkan pengorbanan yang tidak kecil.
Mulai dari latihan, keterampilan, kekuatan pisik, kesehatan, biaya, kesiapan
mental hingga resiko meninggal di medan tempur, semua bukan perkara ringan.
Belum lagi resiko
cacat seumur hidup bila selamat.
Yang pasti,
karena beratnya jihad secara pisik ini, Allah membebaskan para mujahidin yang
syahid dari segala bentuk pertanyaan di akhirat. Mereka masuk surga langsung
tanpa hisab, bahkan tanpa harus dikafani atau dimandikan jenazahnya.
Pendeknya, surga
sudah di tangan sejak masih hidup. Mana ada amal selain jihad yang se besar itu
ganjarannya?
Apalagi Allah SWT
telah berfirman
Allah telah
melebihkan mujahidin dari pada orang duduk dengan ganjaran yang besar(QS. Annisa
59)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc ll
No comments:
Post a Comment