Tuesday 9 April 2013

Hak Warisan Pria dan Wanita Dua Banding Satu, Adilkah?


www.eramuslim.com
Rabu, 19 Mar 08 05:57 WIB
Assalaamu'alaikum w.w.
Sudah umum kita tahu bahwa perbandingan waris pria dan wanita adalah 2:1. Mohon penjelasan masalah tersebut terutama berkaitan dengan filosofinya, bukan hanya dalil-dalil yang sudah ada.
Jika kondisi saat ini tidak sesuai dengan filosofi timbulnya hukum waris tersebut, apakah tetap dirasa adil jika menggunakan hukum waris sebagaimana di atas?
Seperti kita ketahui bahwa saat ini hampir tidak dapat dibedakan antara hak dan kewajiban anak laki-laki dan perempuan, bahkan di masa orang tua jompo justru fihak anak perempuan yang biasanya telaten memelihara orang tua jompo tersebut, sehingga sangat dirasa tidak adil jika hanya semata-mata menjadi lelaki saja kemudian memperoleh harta waris yang lebih banyak dari wanita.
Sebelumnya kami ucapkan jazakalluhu khoiron katsiro atas penjelasan Ustadz.
Wassalam
Zuhdan
Zuhdan Jauzi
zuhdanj@yahoo.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon dipahami bahwa tata cara pembagian harta warisan tidak menggunakan semata-mata pertimbangan sebuah filosofi, juga tidak menggunakan semata-matapertimbangan adil atau tidak adil dalam kacamata subjektif.
Sebab dalam hukum syariah, yang namanya argumentasi sebuahfilosofi akan berhenti saat ada nash yang jelas dari Quran atau Sunnah. Kalau Quran dan Sunnah sudah bilang A, maka pertimbangan filosofi harus ikut apa kata keduanya.
Demikian juga dengan pertimbangan rasa adil dan tidak adil, yang menentukan keadilan itu bukan kita sebagai hamba, melainkan Allah SWT. Keadilan versi manusia sangat nisbi. Sesuatu yang dikatakan adil olehSoekarno akan menjadi sangat tidak adil di mata seorang Soeharto. Dan keadilan versi Soeharto adalah kediktatoran dalam pandangan anak keturunan PKI. Sebaliknya, keadilan versi PKItidak lain hanyalah jargon kosong dan tipu muslilhat saja di mata para ulama. Dan begitulah kenisbian sebuah keadilan.
Jadi apa yang dibilang adil itu masih menyisakan sebuah pertanyaan, keadilan itu menurut siapa?
Syariah Islam Tidak Didasari Filosofi Buatan Manusia
Seandainya syariat Islam semata-mata diserahkan kepada pertimbangan fillosfi manusia semata, sementara sebuah filosofi itu lahir dari sebuah nalar pemikiran manusia, maka tentu syariat Islam ini tidak akan ada bedanya dengan agama yang sudah punah duluan.
Bila hal itu dipaksakan, maka kejadiannya akan persis dengan agama yang dibawa oleh nabi Isa 'alaihissalam. Dahulu agama nasrani dibawa oleh nabi Isa sesuai dengan aslinya. Namun beberapa saat kemudian, logika dan akal manusia lebih mendominasi, akibatnya wahyu menjadi kalah.
Dan jadilah agama itu seperti sekarang ini, siapa saja bisa datang dengan filosofi buatannya, lalu dengan seenaknya dia mengganti wahyu dari langit dengan hasil buatan akalnya sendiri sambil mengklaim bahwa filosofi buatannya itu adalah agama.
Maka Maha Benarlah Allah SWT ketika berfirman:
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan, "Ia dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.(QS. Ali Imran: 78)
Padahal Allah SWT sama sekali tidak mengajarkan apa yang dikatakan sebagai filosofi itu, apalagi membenarkannya. Dan kesimpulannya, esensi perbedaan agama Islam dengan agama nasrani terletak pada titik ini.
Syariat Islam Menjaga Keaslian Aturan Dari Langit
Karena masih menjaga keaslian wahyu dari langit itulah, makanya agama Islam masih bertahan dengan keasliannya hingga sekarang.
Dan sepanjang sejarah, para ulama tidak akan pernah mau mengotak-atik syariah Islam, selama ada nash baik Quran maupun Sunnah yang secara tegas dan jelas telah menetapkan sesuatu.
Logika dan nalar hanya dipakai bila memang nyata terjadi ketiadaan nash-nash itu. Itu pun sebagian ulama masih lebih rela menggunakan hadits yang dhaif dari pada semata-mata hasil logika.
Kalau pun ada peran akal di dalam memahami sebuah hukum dari suatu masalah, bukan berarti semua diserahkan kepada akal. Akal hanya bersifat sebagai media saja, tetapi yang memegang peranan tetap nash samawi. Jadi selama masih ada nash, tak seorang pun ulama yang berani melawan nash itu. Karena sama saja dengan menentangAllah SWT dan hukum-Nya.
Beda dengan yahudi dan nasrani, para rahib dan pemikir mereka sudah merasa lebih berhak untuk mengubah aturan dari Allah SWT, sehingga mereka merasa sudah seharusnya merevisi apa yang telah Allah SWT tetapkan dalam Taurat dan Injil. Sikap yang demikian tentu tidak disenangi Allahitu, maka Allah SWT telah menjuluki umat kristiani dan yahudi sebagai penyembah rahib dan pendeta.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Tabah: 31)

Ketentuan Hukum Waris Diatur Langsung Dari Langit
Sebagai umat yang masih punya warisan kitab suci mulia, kita serahkan saja ketentuan pembagian warisan semata-mata kepada kitabullah. Semua urusan bagaimana membagi waris, mulai dari siapa saja yang dapat warisan sampai berapa besar hak masing-masing sudah Allah atur, mengapa pula kita masih harus perlu mengubahnya?
Kalau semua telah ditetapkan langsung dari atas langit, jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan seorang Muhammad Rasulullah SAW sekalipun tidak punya hak untuk mengotak-atiknya.
Ayat-ayat tentang pembagian warisan itu sudah sangat jelas, terang dan tegas, sejelas sinar matahari di siang hari bolong yang terik tanpa awan. Karena ketegasannya itu, tak satu pun ulama yang berani-berani mengubahnya.
Selama 14 abad telah berjalan, dan semua aman-aman saja, tidak ada satu pun ulama yang berani mengubahnya, sampai datang orang-orang kurang mengerti hukum Islamdan terpengaruh oleh bisikan para orientalis Barat yang niatnya memang jahat. Kemudian para korban ini mulai ikut-ikutan mencoba-coba mengubah hukum waris yang datang dari Allah SWT. Sungguh sayang sekali. Jauh-jauh sekolah ke Amerika dan Eropa, eh ternyata pulang-pulang jadi antek yahudi laknatullah.
Sungguh sangat disayangkan kalau dari kalangan umat sendiri sampai harus ada orang yang tega-teganya menuduh bahwa hukum waris ituhanya buatan para ulama. Tentu saja tuduhan itu keliru, sebab pembagian warisan memang disebutkan dengan tegas di dalam Al-Quran.
Bahkan ada tokoh yang masih mengaku muslim, tapi dia menuduh bahwa hukum waris itu mengalami bias jender. Karena selalu memenangkan laki-laki dan tidakmembela hak-hak perempuan. Lagi-lagi ini pun sebuah serangan aneh yang tidak pada tempatnya. Sebab yang suka melecehkan wanita justru orang Barat, tapi kesalahan mereka malah ditudingkan kepada hukum Islam.
Tentu hati kita akan terasa ngilu rasanya kalau sampai ada yang bilang bahwa hukum waris itu tidak adil. Semata-mata alasannya, menurut mereka, karena zaman sudah berubah, sehingga hukum waris pun harus disesuaikan dengan zaman. La haula wala quwwata illa billah.
Kalau pertimbangannya hanya sekedar perubahan zaman, apakah sekarang ini kita perlu menyesuaikan waktu shalat lima waktu? Karena ternyata jam kerja kita yang terlalu padat, sehingga shalat Ashar, Maghrib dan Isya' digeser saja menjadi menjelang tidur. Sementara shalat Shubuh dan Dzhuhur disatukan di pagi hari, tapi bukan saat fajar terbit, yah agak siangan lah sedikit. Sebab kalau terlalu pagi kan belum bangun.
Kalau memang begitu, kenapa tidak diusulkan sekalian saja agarkita shalat sebulan sekali saja, biar digabung jadi satu, 17 rakaat kali 30 = 510 rakaat, dari pada repot-repot tiap hari tunggang-tungging sujud 17 kali? Kan lebih praktis dan ekonomis? Juga sesuai dengan tuntutan zaman, bukan?
Atau kenapa tidak diusulkan agar gerakan shalat itu dilakukan sepraktis mungkin, misalnya cukup dengan manggut-manggut saja atau merem melek saja, sebanyak jumlah rakaat? Tidak perlu wudhu', berdiri, menghadap kiblat, atau masuk waktu. Bukankah itu sesuai dengan perubahan zaman yang diinginkan?
Mungkin kalangan orientalis suatu ketika akan sampai kepada bab itu. Sementara hari ini mereka masih sekedar iseng bikin tuduhan keji kepada hukum waris, dengan mencoba mengotak-atik urusan jender, dan menuduh bahwa hukum waris tidak adil, karena hanya memberi wanita separuh bagian laki-laki.
Sementara ayat-ayat Al-Quran tentang bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan masih kita baca setiap hari, dan juga masih dibaca oleh semilyar lebih umat Islam.
Allah mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa': 11)
Pantaslah kalau Rasulullah SAW secara khusus mewanti-wanti kepada ummatnya untuk mempelajari hukum waris versi langit ini secara khusus. Ternyata, di balik perintah secara khusus ini, memang ada orang-orang yang ingin merobohkan agama Islam, dan semua itu dimulai dari merobohkan ilmu waris dan hukumnya.
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia adalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku”(HR Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih)
Menjawab Tuduhan Ketidak-adilan Hukum Waris
Untuk menjawab bahwa ilmu waris ini tidak adil, karena anak perempuan hanya diberi setengah dari bagian anak laki-laki, kita bisa menjawabnya setidaknya dengan dua argumentasi:
1. Argumentasi Pertama
Pembagian harta seorang yang meninggal di dalam agama Islam bukan semata-mata menggunakan hukum waris. Tapi juga dikenal hibah, wasiat dan yang lainnya.
Dalam suatu kasus misalnya seorang Ayah yang punya dua anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kalau hanya menggunakan hukum waris, memang anaknya yang perempuan itu hanya akan menerima setengah dari apa yang akan diterima oleh saudara laki-lakinya.
Tapi karena ada hibah, maka sejak masih hayat di kandung badan, sang Ayah boleh saja sudah memberi terlebih dahulu sebagian hartanya kepada puteri tercintanya. Dan hal itu sah-sah saja untuk dilakukan. Namanya saja hibah, terserah yang mau memberi.
Jadi ujung-ujungnya, tetap saja anak perempuan mendapat harta yang jumlahnya sama dengan saudara laki-lakinya.
Selain itu, kalau setelah pembagian warisan, saudara laki-lakinya kemudian memberikan sebagian haknya dari warisan Ayahnya kepada saudari perempuannya, maka hal itu pun sah juga. Dan ujung-ujungnya mereka berdua bisa mendapat harta yang sama besar.
2. Argumentasi Kedua
Wanitadalam hukum waris tidak selamanya mendapatsetengah dari laki-laki. Ternyata kasusnya hanya dalam pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan saja. Namun secara umum, seringkali kali terjadi malah seorang wanita mendapat warisan lebih banyak dari yang didapat oleh seorang laki-laki. Coba saja perhatikan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal itu
“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa': 11)
Dalam ayat iniAllah tidak menyebutkan bagian perempuan, tetapi bagian untuk anak perempuan. Jadi perempuan mendapat setengah dari laki-laki dikhususkan pada kondisi anak-anak saja, bukan pada seluruh ahli waris.
Bahkan bagian perempuan dalam banyak kasus justru lebih banyak dari bagian laki-laki. Seorang ibu terkadang bisa dapat 1/3 bagian dari warisan anaknya, sementara seorang ayah tetap mendapat 1/6.
Tuduhan mereka sebenarnya agak salah alamat. Yang benar bahwa perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, bahkan seringkali malah mendapat lebih banyak dari laki-laki.
Kalau kita telusuri lebih jauh, ternyata begitu banyak keadaan atau kondisi di mana seorang perempuan dapat warisan, sedangkan laki-laki malah tidak mendapat warisan. Kalau dibilang hukum waris tidak adil kepada perempuan, berarti penuduhnya terlalu awam tentang hukum waris. Barangkali karena sekedar copy paste dari situs liberal di internet, jadi kita bisa maklum.
Dan jumlah kasus di mana seorang wanita dapat warisan dan laki-laki tidak dapat warisan kalau dihitung jumlahnya akan lebih dari tiga puluh keadaan. Subhanallah.
Sedangkan tuduhan mereka bahwa perempuan hanya mewarisi separuh dari waris laki-laki, ternyata hanya ada dalam empat keadaan saja, tidak lebih.
Jadi argumentasi para penentang hukum waris ini sebenarnya sangat lemah, sayangnya mereka punya rasa percaya diri yang berlebihan. Sementara kita sebagai pembela hukum waris, sayangnya juga kurang memahaminya. Sehingga terkadang kita pun kebingungan menghadapi argumentasi mereka yang sebenarnya terlalu lemah.
Jadi kesimpulannya?
Kesimpulannya adalah belajar hukum waris itu wajib, perlu, musti, kudu dan harus. Titik.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment