www.eramuslim.com
Rabu,
19 Mar 08 05:57 WIB
Assalaamu'alaikum w.w.
Sudah umum kita tahu bahwa perbandingan waris pria dan wanita
adalah 2:1. Mohon penjelasan masalah tersebut terutama berkaitan dengan
filosofinya, bukan hanya dalil-dalil yang sudah ada.
Jika kondisi saat ini tidak sesuai dengan filosofi timbulnya
hukum waris tersebut, apakah tetap dirasa adil jika menggunakan hukum waris
sebagaimana di atas?
Seperti kita ketahui bahwa saat ini hampir tidak dapat dibedakan
antara hak dan kewajiban anak laki-laki dan perempuan, bahkan di masa orang tua
jompo justru fihak anak perempuan yang biasanya telaten memelihara orang tua
jompo tersebut, sehingga sangat dirasa tidak adil jika hanya semata-mata
menjadi lelaki saja kemudian memperoleh harta waris yang lebih banyak dari
wanita.
Sebelumnya kami ucapkan jazakalluhu
khoiron katsiro atas penjelasan Ustadz.
Wassalam
Zuhdan
Zuhdan Jauzi
zuhdanj@yahoo.com
zuhdanj@yahoo.com
Jawaban
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon dipahami bahwa tata cara pembagian
harta warisan tidak menggunakan semata-mata pertimbangan sebuah filosofi, juga
tidak menggunakan semata-matapertimbangan adil atau tidak adil dalam kacamata
subjektif.
Sebab dalam hukum syariah, yang namanya
argumentasi sebuahfilosofi akan berhenti saat ada nash yang jelas dari Quran
atau Sunnah. Kalau Quran dan Sunnah sudah bilang A, maka pertimbangan filosofi
harus ikut apa kata keduanya.
Demikian juga dengan pertimbangan rasa adil
dan tidak adil, yang menentukan keadilan itu bukan kita sebagai hamba,
melainkan Allah SWT. Keadilan versi manusia sangat nisbi. Sesuatu yang
dikatakan adil olehSoekarno akan menjadi sangat tidak adil di mata seorang
Soeharto. Dan keadilan versi Soeharto adalah kediktatoran dalam pandangan anak
keturunan PKI. Sebaliknya, keadilan versi PKItidak lain hanyalah jargon kosong
dan tipu muslilhat saja di mata para ulama. Dan begitulah kenisbian sebuah
keadilan.
Jadi apa yang dibilang adil itu masih
menyisakan sebuah pertanyaan, keadilan itu menurut siapa?
Syariah
Islam Tidak Didasari Filosofi Buatan Manusia
Seandainya syariat Islam semata-mata
diserahkan kepada pertimbangan fillosfi manusia semata, sementara sebuah
filosofi itu lahir dari sebuah nalar pemikiran manusia, maka tentu syariat
Islam ini tidak akan ada bedanya dengan agama yang sudah punah duluan.
Bila hal itu dipaksakan, maka kejadiannya
akan persis dengan agama yang dibawa oleh nabi Isa 'alaihissalam. Dahulu agama nasrani dibawa oleh nabi Isa sesuai dengan
aslinya. Namun beberapa saat kemudian, logika dan akal manusia lebih
mendominasi, akibatnya wahyu menjadi kalah.
Dan jadilah agama itu seperti sekarang ini,
siapa saja bisa datang dengan filosofi buatannya, lalu dengan seenaknya dia
mengganti wahyu dari langit dengan hasil buatan akalnya sendiri sambil
mengklaim bahwa filosofi buatannya itu adalah agama.
Maka Maha Benarlah Allah SWT ketika
berfirman:
Sesungguhnya
di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab,
supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal ia
bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan, "Ia dari sisi Allah",
padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang
mereka mengetahui.(QS. Ali Imran: 78)
Padahal Allah SWT sama sekali tidak
mengajarkan apa yang dikatakan sebagai filosofi itu, apalagi membenarkannya.
Dan kesimpulannya, esensi perbedaan agama Islam dengan agama nasrani terletak
pada titik ini.
Syariat
Islam Menjaga Keaslian Aturan Dari Langit
Karena masih menjaga keaslian wahyu dari
langit itulah, makanya agama Islam masih bertahan dengan keasliannya hingga
sekarang.
Dan sepanjang sejarah, para ulama tidak akan
pernah mau mengotak-atik syariah Islam, selama ada nash baik Quran maupun
Sunnah yang secara tegas dan jelas telah menetapkan sesuatu.
Logika dan nalar hanya dipakai bila memang
nyata terjadi ketiadaan nash-nash itu. Itu pun sebagian ulama masih lebih rela
menggunakan hadits yang dhaif dari pada semata-mata hasil logika.
Kalau pun ada peran akal di dalam memahami
sebuah hukum dari suatu masalah, bukan berarti semua diserahkan kepada akal.
Akal hanya bersifat sebagai media saja, tetapi yang memegang peranan tetap nash
samawi. Jadi selama masih ada nash, tak seorang pun ulama yang berani melawan
nash itu. Karena sama saja dengan menentangAllah SWT dan hukum-Nya.
Beda dengan yahudi dan nasrani, para rahib
dan pemikir mereka sudah merasa lebih berhak untuk mengubah aturan dari Allah
SWT, sehingga mereka merasa sudah seharusnya merevisi apa yang telah Allah SWT
tetapkan dalam Taurat dan Injil. Sikap yang demikian tentu tidak disenangi
Allahitu, maka Allah SWT telah menjuluki umat kristiani dan yahudi sebagai penyembah
rahib dan pendeta.
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan
yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. At-Tabah: 31)
Ketentuan
Hukum Waris Diatur Langsung Dari Langit
Sebagai umat yang masih punya warisan kitab
suci mulia, kita serahkan saja ketentuan pembagian warisan semata-mata kepada
kitabullah. Semua urusan bagaimana membagi waris, mulai dari siapa saja yang
dapat warisan sampai berapa besar hak masing-masing sudah Allah atur, mengapa
pula kita masih harus perlu mengubahnya?
Kalau semua telah ditetapkan langsung dari
atas langit, jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan seorang Muhammad
Rasulullah SAW sekalipun tidak punya hak untuk mengotak-atiknya.
Ayat-ayat tentang pembagian warisan itu
sudah sangat jelas, terang dan tegas, sejelas sinar matahari di siang hari
bolong yang terik tanpa awan. Karena ketegasannya itu, tak satu pun ulama yang
berani-berani mengubahnya.
Selama 14 abad telah berjalan, dan semua
aman-aman saja, tidak ada satu pun ulama yang berani mengubahnya, sampai datang
orang-orang kurang mengerti hukum Islamdan terpengaruh oleh bisikan para
orientalis Barat yang niatnya memang jahat. Kemudian para korban ini mulai
ikut-ikutan mencoba-coba mengubah hukum waris yang datang dari Allah SWT.
Sungguh sayang sekali. Jauh-jauh sekolah ke Amerika dan Eropa, eh ternyata
pulang-pulang jadi antek yahudi laknatullah.
Sungguh sangat disayangkan kalau dari
kalangan umat sendiri sampai harus ada orang yang tega-teganya menuduh bahwa
hukum waris ituhanya buatan para ulama. Tentu saja tuduhan itu keliru, sebab
pembagian warisan memang disebutkan dengan tegas di dalam Al-Quran.
Bahkan ada tokoh yang masih mengaku muslim,
tapi dia menuduh bahwa hukum waris itu mengalami bias jender. Karena selalu
memenangkan laki-laki dan tidakmembela hak-hak perempuan. Lagi-lagi ini pun
sebuah serangan aneh yang tidak pada tempatnya. Sebab yang suka melecehkan
wanita justru orang Barat, tapi kesalahan mereka malah ditudingkan kepada hukum
Islam.
Tentu hati kita akan terasa ngilu rasanya
kalau sampai ada yang bilang bahwa hukum waris itu tidak adil. Semata-mata
alasannya, menurut mereka, karena zaman sudah berubah, sehingga hukum waris pun
harus disesuaikan dengan zaman. La haula wala quwwata illa billah.
Kalau pertimbangannya hanya sekedar
perubahan zaman, apakah sekarang ini kita perlu menyesuaikan waktu shalat lima
waktu? Karena ternyata jam kerja kita yang terlalu padat, sehingga shalat
Ashar, Maghrib dan Isya' digeser saja menjadi menjelang tidur. Sementara shalat
Shubuh dan Dzhuhur disatukan di pagi hari, tapi bukan saat fajar terbit, yah
agak siangan lah sedikit. Sebab kalau terlalu pagi kan belum bangun.
Kalau memang begitu, kenapa tidak diusulkan
sekalian saja agarkita shalat sebulan sekali saja, biar digabung jadi satu, 17
rakaat kali 30 = 510 rakaat, dari pada repot-repot tiap hari tunggang-tungging
sujud 17 kali? Kan lebih praktis dan ekonomis? Juga sesuai dengan tuntutan
zaman, bukan?
Atau kenapa tidak diusulkan agar gerakan
shalat itu dilakukan sepraktis mungkin, misalnya cukup dengan manggut-manggut
saja atau merem melek saja, sebanyak jumlah rakaat? Tidak perlu wudhu',
berdiri, menghadap kiblat, atau masuk waktu. Bukankah itu sesuai dengan
perubahan zaman yang diinginkan?
Mungkin kalangan orientalis suatu ketika
akan sampai kepada bab itu. Sementara hari ini mereka masih sekedar iseng bikin
tuduhan keji kepada hukum waris, dengan mencoba mengotak-atik urusan jender,
dan menuduh bahwa hukum waris tidak adil, karena hanya memberi wanita separuh
bagian laki-laki.
Sementara ayat-ayat Al-Quran tentang bagian
anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan masih kita baca setiap
hari, dan juga masih dibaca oleh semilyar lebih umat Islam.
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa': 11)
Pantaslah kalau Rasulullah SAW secara
khusus mewanti-wanti kepada ummatnya untuk mempelajari hukum waris versi langit
ini secara khusus. Ternyata, di balik perintah secara khusus ini, memang ada
orang-orang yang ingin merobohkan agama Islam, dan semua itu dimulai dari
merobohkan ilmu waris dan hukumnya.
“Pelajarilah
faraidh dan ajarkanlah, sebab ia adalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan
ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku”(HR Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda
shahih)
Menjawab
Tuduhan Ketidak-adilan Hukum Waris
Untuk menjawab bahwa ilmu waris ini tidak
adil, karena anak perempuan hanya diberi setengah dari bagian anak laki-laki,
kita bisa menjawabnya setidaknya dengan dua argumentasi:
1.
Argumentasi Pertama
Pembagian harta seorang yang meninggal di
dalam agama Islam bukan semata-mata menggunakan hukum waris. Tapi juga dikenal
hibah, wasiat dan yang lainnya.
Dalam suatu kasus misalnya seorang Ayah
yang punya dua anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kalau hanya
menggunakan hukum waris, memang anaknya yang perempuan itu hanya akan menerima
setengah dari apa yang akan diterima oleh saudara laki-lakinya.
Tapi karena ada hibah, maka sejak masih
hayat di kandung badan, sang Ayah boleh saja sudah memberi terlebih dahulu
sebagian hartanya kepada puteri tercintanya. Dan hal itu sah-sah saja untuk
dilakukan. Namanya saja hibah, terserah yang mau memberi.
Jadi ujung-ujungnya, tetap saja anak
perempuan mendapat harta yang jumlahnya sama dengan saudara laki-lakinya.
Selain itu, kalau setelah pembagian
warisan, saudara laki-lakinya kemudian memberikan sebagian haknya dari warisan
Ayahnya kepada saudari perempuannya, maka hal itu pun sah juga. Dan
ujung-ujungnya mereka berdua bisa mendapat harta yang sama besar.
2.
Argumentasi Kedua
Wanitadalam hukum waris tidak selamanya
mendapatsetengah dari laki-laki. Ternyata kasusnya hanya dalam pembagian antara
anak laki-laki dan anak perempuan saja. Namun secara umum, seringkali kali
terjadi malah seorang wanita mendapat warisan lebih banyak dari yang didapat
oleh seorang laki-laki. Coba saja perhatikan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan
hal itu
“Allah
mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan. (QS. An-Nisa': 11)
Dalam ayat iniAllah tidak menyebutkan
bagian perempuan, tetapi bagian untuk anak perempuan. Jadi perempuan mendapat setengah dari laki-laki
dikhususkan pada kondisi anak-anak saja,
bukan pada seluruh ahli waris.
Bahkan bagian perempuan dalam banyak kasus
justru lebih banyak dari bagian laki-laki. Seorang ibu terkadang bisa dapat 1/3
bagian dari warisan anaknya, sementara seorang ayah tetap mendapat 1/6.
Tuduhan mereka sebenarnya agak salah
alamat. Yang benar bahwa perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, bahkan
seringkali malah mendapat lebih banyak dari laki-laki.
Kalau kita telusuri lebih jauh, ternyata
begitu banyak keadaan atau kondisi di mana seorang perempuan dapat warisan,
sedangkan laki-laki malah tidak mendapat warisan. Kalau dibilang hukum waris
tidak adil kepada perempuan, berarti penuduhnya terlalu awam tentang hukum
waris. Barangkali karena sekedar copy paste dari situs liberal di internet,
jadi kita bisa maklum.
Dan jumlah kasus di mana seorang wanita
dapat warisan dan laki-laki tidak dapat warisan kalau dihitung jumlahnya akan
lebih dari tiga puluh keadaan. Subhanallah.
Sedangkan tuduhan mereka bahwa perempuan
hanya mewarisi separuh dari waris laki-laki, ternyata hanya ada dalam empat
keadaan saja, tidak lebih.
Jadi argumentasi para penentang hukum waris
ini sebenarnya sangat lemah, sayangnya mereka punya rasa percaya diri yang
berlebihan. Sementara kita sebagai pembela hukum waris, sayangnya juga kurang
memahaminya. Sehingga terkadang kita pun kebingungan menghadapi argumentasi
mereka yang sebenarnya terlalu lemah.
Jadi kesimpulannya?
Kesimpulannya adalah belajar hukum waris
itu wajib, perlu, musti, kudu dan harus. Titik.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad
Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment