Ustadz Menjawab
bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
Rabu, 05/08/2009 12:01 WIB
Assalamu'alaikum
Wr.Wb.
Ustadz YTH,
Apakah
sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya'ban ? Adakah Sirah yang
melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW
dalam menyambutnya ?
Terima
kasih, Jazakumullah......
Wassalamu'alaikum
Wr.Wb.
Ashriyati
Ishak
Waalaikumussalam
Wr Wb
Saudara
Ashriyati yang dimuliakan Allah
Nisfu Sya’ban
berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada
yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin
dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi
didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي
كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء
إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)
Al Qurthubi
mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat
setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu
terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori.
Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami
melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah
selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan
nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada
keraguan tentangnya.
Imam Malik
meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu
terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa
itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al
Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul
Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari
senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya
untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban.
(Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Kemudian
apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ?
terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan
sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah
berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan
kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw
berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama)
bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa,
pen).”
Adapun shalat
malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap
bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada
malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban
maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Sesungguhnya
Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan
mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah
mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki,
ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan,
ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh
‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai
dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak
dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al
Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa
para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul
bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian
mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang
sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar
maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang
menerimanya.
Ada juga
para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu
Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya,
mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al
Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang
menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk
menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman
bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan
wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq
bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara
berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab
Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat,
berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat
sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli
Syam.
Tidak
diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua
riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat
itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak
menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah
berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang
menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia
dari kalangan tabi’in.
Demikian
pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun
berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari
sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal
31)
Sementara
itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah
karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang
menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian
maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman
sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami
perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan
pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam
kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama
memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah
pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul
untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya,
yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara
itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat
(menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam
itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun
dari sahabatnya.
Sementara
itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih
menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan
demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu
sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa
kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu
dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama
seperti penjelasan diatas.
Hendaklah
ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas
tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang
tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat
dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena
hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa
yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam
aqidah dan hukum.
Dan
hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus
menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun
permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan
oleh para tabi’in.
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment