www.eramuslim.com
Kamis, 08/01/2009 09:47 WIB
Assalamu'alaikum
Wr.Wb.
Ustadz yang
dirahmati Alloh SWT,
Saya
mendengar pengakuan seorang waria yang sudah memutuskan untuk tetap memilih
sebagai waria. Ketika kita lihat tampilan luarnya beliau tampak sekali seperti
seorang muslimah (berkerudung). Menurut pengakuannya, beliau sudah ditakdirkan
sebagai seorang waria.
Bagaimana
sikap kita terhadap waria tersebut?menganggapnya sebagai perempuan atau
laki-laki?Adakah pada masa rasulullah SAW keberadaan kaum seperti mereka?
Mohon
penjelasannya..Terimakasih
Wassalamu'alaikum
Wr.Wb.
muslimah
Jawaban
Wa'alaikumussalam
Wr Wb
Menentukan Jenis Kelamin Waria
Imam al
Kasani menjelaskan tentang hukum khuntsa (waria) dengan mengatakan bahwa waria
adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan wanita padahal tidak
mungkin dalam diri seseorang mempunyai kepribadian laki-laki sekaligus wanita
sesungguhnya. Akan tetapi, bisa jadi ia seorang laki-laki atau wanita.
Adapun
penjelasan untuk mengetahui apakah dia seorang laki-laki atau wanita maka bisa
melalui tanda-tandanya. Diantara tanda-tanda laki-laki setelah baligh adalah
tumbuh jenggot. Sedangkan tanda-tanda wanita setelah dewasa adalah tumbuhnya
payudara, mengeluarkan susu dari payudara itu, haid dan melahirkan. Hal itu
dikarenakan setiap jenis dari yang disebutkan di atas memiliki kekhasan baik
pada laki-laki maupun wanita yang memisahkan antara keduanya.
Adapun
tanda-tanda pada saat masih anak-anak, maka dilihat pada tempat buang air
seninya, berdasarkan hadits Rasulullah saw,”Waria dilihat dari tempat buang air
seninya.” Apabila dia buang air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka
dia adalah laki-laki dan apabila dia keluar dari alat kalamin wanitanya maka ia
adalah seorang wanita. Dan apabila air seninya keluar dari kedua-duanya maka
lihat dari mana yang lebih dahulu keluar, karena tempat yang lebih dahulu
mengeluarkan air seni itu adalah tempat keluar yang asli sedangkan keluar dari
tempat yang lainnya adalah tanda kelainan.
Dan jika ternyata
air seninya keluar secara bersamaan dari kedua tempat itu maka Abu Hanifah pun
tidak memberikan komentar. Dia hanya mengatakan bahwa orang itu adalah khuntsa
musykil (waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya), inilah kecerdasan fiqih
Abu Hanifah karena diam terhadap suatu hal yang tidak ada dalilnya adalah suatu
kewajiban.
Abu Yusuf
dan Muhammad mengatakan—dalam hal diatas—ditentukan dari banyaknya air seni,
karena hal itu menujukkan tempat keluarnya yang asli. Dan tatkala pendapat ini
didengar oleh Abu Hanifah maka dia tidak bisa menerimanya dan mengatakan,
”Apakah engkau pernah melihat seorang hakim yang menimbang air seni.” Kedua
orang itu pun terdiam dan mengatakan, ”Kalau begitu dia adalah waria yang sulit
dikenali jenis kelaminnya.” (Bada’iush Shona’i juz XVII hal 124 – 125)
Adapun
terhadap seorang laki-laki yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian
memiliki kecenderungan kepada sifat kewanitaan maka ini adalah perangai
kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang wanita yang sebenarnya.
Namun
terkadang, kecenderungan itu adalah hanya karena kemauan atau buatan sendiri
melalui cara meniru-niru, maka hal yang seperti itu akan jatuh kedalam hadits
Rasulullah saw yang melaknat orang yang memiliki jenis kelamin tertentu
kemudian meniru-niru orang yang memiliki jenis kelamin lainnya..
Namun
kecenderungan itu adakalanya merupakan suatu keterpaksaan (bukan dikarenakan
pilihannya). Terhadap orang tersebut dianjurkan untuk berobat semampunya karena
terkadang pengobatan berjalan sukses tetapi adakalanya gagal, maka serahkanlah
semuanya kepada kehendak Allah swt.
Begitupula
sebaliknya bagi wanita yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian
memiliki kecenderungan kepada sifat kelaki-lakian maka ini adalah perangai
kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang laki-laki yang sebenarnya.
Apabila hal
itu adalah dikarenakan kemauan dan buatannya maka ia berada dalam ancaman
hadits diatas namun apabila itu sebuah keterpaksaan maka diharuskan baginya
untuk berobat.
Diperbolehkan
baginya untuk melakukan operasi pemindahan kelamin dari laki-laki menjadi
wanita atau dari wanita menjadi laki-laki berdasarkan pemeriksaan dokter yang
bisa dipercaya dan dikarenakan adanya perubahan-perubahan fisik dalam tubuh
yang ditunjukkan dengan tanda-tanda kewanitaan atau tanda-tanda kelaki-lakian
yang tertutupi (tidak tampak). Pengobatan di sini haruslah dengan alasan
penyembuhan tubuh yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan jalan operasi.
Akan tetapi,
jika operasi yang dilakukan hanya sebatas untuk keinginan (kesenangan)
merubahnya dan bukan karena adanya perubahan-perubahan fisik yang jelas lagi
dominan maka hal itu tidak diperbolehkan. Dan jika ia tetap melakukannya maka
orang itu akan termasuk kedalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas
berkata,”Rasulullah saw melaknat orang laki-laki yang berperangai perempuan dan
orang perempuan yang berperangai laki-laki.’ Dan berkata,’Keluarkan mereka dari
rumah-rumah kalian.” Maka Nabi saw pun mengeluarkan fulan begitu juga Umar
mengeluarkan fulan. (Fatawa Al Azhar juz IX hal 478)
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Waria
Dalam
menyikapi atau memperlakukan khuntsa ghoiru musykil (waria yang mudah dikenal
jenis kelaminnya)—baik melalui tanda-tandanya setelah baligh / dewasa dengan
melihat perubahan pada organ-organ tubuhnya atau pada tempat keluar air seninya
apabila ia masih anak-anak—maka apabila yang dominan dan tampak dalam dirinya
adalah tanda-tanda laki-lakinya maka diberikan hukum laki-laki kepadanya baik
dalam pemandiannya saat meninggal, saff shalatnya maupun warisannya. Begitu
pula apabila yang tampak dan dominan dalam diri seorang khuntsa ghoiru musykil
adalah tanda-tanda wanitanya maka diberikan hukum wanita terhadap dirinya.
Adapun
terhadap khuntsa musykil (waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya) maka Imam
al Kasani mengatakan,”Jika dia meninggal dunia maka tidak halal bagi kaum
laki-laki untuk memandikannya karena adanya kemungkinan dia seorang wanita dan
tidak dihalalkan bagi kaum wanita untuk memandikannya karena adanya kemungkinan
dia seorang laki-laki akan tetapi cukup ditayamumkan. Orang mentayamumkannya
bisa laki-laki atau wanita, jika yang mentayamumkannya adalah dari kalangan
mahramnya maka bisa dengan tanpa menggunakan kain namun apabila bukan dari
mahramnya maka menggunakan kain serta menutup pandangannya dari tangannya (siku
hingga ujung jarinya).
Adapun
berdirinya didalam saff shalat maka hendaklah dia berdiri setelah saff kaum
laki-laki dan anak-anak sebelum saff kaum wanita. Dia tidak diperbolehkan
mengimami kaum laki-laki dikarenakan adanya kemungkinan dia seorang wanita akan
tetapi dia boleh mengimami kaum wanita. (Bada’iush Shona’i juz XVII hal 127 –
129)
Waria Pada Masa Rasulullah
Diriwayatkan
dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi saw sedang berada di rumah Ummu Salamah—di
rumah itu sedang ada seorang waria—Waria itu berkata kepada saudara laki-laki
Ummu Salamah, Abdullah bin Abi Umayah, ’Jika Allah membukakan buat kalian Thaif
besok, maka aku akan tunjukkan kepadamu anak perempuan ghoilan, ia seorang yang
memiliki perut yang langsing. Maka Nabi saw pun bersabda,’Janganlah orang ini
memasuki (tempat-tempat) kalian.”(HR Bukhori)
Al Hafizh
menyebutkan apa yang diriwayatkan al Jurjani dalam tarikh-nya dari jalan az
Zuhri dari Ali bin al Husein bin Ali berkata,”Pernah ada seorang waria memasuki
rumah istri-istri Nabi dan orang itu bernama Hit.” Dikeluarkan oleh Abu Ya’la,
Abu Awanah dan Ibnu Hiban seluruhnya dari jalan Yunus dari azZuhri dari Urwah
dari Aisyah bahwa Hit lah yang memasukinya.” (Fathul Bari juz IX hal 396)
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment