Setiap orang diciptakan Allah سبحانه و تعالى
ke muka bumi dengan karakter diri masing-masing yang berbeda-beda. Ada orang
yang cenderung penyabar ada pula yang cenderung pemarah. Ada orang yang
cenderung dermawan ada yang cenderung bakhil. Ada yang cenderung pandai
bersyukur ada yang cenderung mudah berkeluh-kesah. Ada yang cenderung pemikir
ada yang cenderung perasa. Inilah keaneka-ragaman yang biasa disebut individual
differences (perbedaan individual).
Kemudian setiap orang dengan individual
differences tadi hidup di dunia dalam realitasnya masing-masing yang juga
berbeda-beda. Interaksi antara perbedaan individual dengan aneka realitas
itulah yang membuat hidup di dunia menjadi dinamis dan terkadang menimbulkan
berbagai gesekan bahkan konflik.
قُلْ
كُلٌّ
يَعْمَلُ عَلَى
شَاكِلَتِهِ
Katakanlah: "Tiap-tiap orang
berbuat menurut keadaannya masing-masing". (QS Al-Isra 84)
Seringkali kepentingan setiap
individu berbenturan dengan kepentingan individu lainnya. Inilah yang kemudian
menimbulkan konflik. Tetapi sebenarnya ada jalan supaya konflik tidak
berkembang sampai menjadi perang dimana manusia menjadi saling berbunuhan satu
sama lain. Dan inilah rahasianya mengapa Allah سبحانه و
تعالى
mengirim para Nabi-NabiNya dari masa ke masa. Agar para Nabi tersebut menjadi
hakim yang memutuskan perkara dengan adil berdasarkan Kitabullah yang mereka
terima.
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ فِيمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Manusia itu adalah umat yang satu.
(Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.” (QS Al-Baqarah 213)
Jadi fungsi diutusnya para
Nabiyullah ‘alaihimus-salam bukan hanya sebagai mubasysyiriin
(pembawa kabar gembira) adanya surga di akhirat bagi hamba-hamba Allah سبحانه
و
تعالى
yang taat kepada Nabi dan Kitabullah yang dibawanya. Bukan hanya sebagai munzhiriin
(pemberi peringatan) akan adanya neraka di akhirat bagi hamba-hamba Allah سبحانه و تعالى
yang mengingkari Nabi dan Kitabullah yang dibawanya. Tetapi sebagai pemberi
keputusan dalam berbagai perkara yang diperselisihkan oleh manusia. Dan
keputusan yang diberikan para Nabi berlandaskan atau berpedoman kepada
Kitabullah yang diturunkan Allah سبحانه و
تعالى
kepada para Nabiyullah tadi. Jika masyarakat mentaati keputusan tersebut maka
mereka akan tetap menjadi ummat yang satu, tidak bercerai-berai, apalagi saling
berbunuhan. Tapi jika masyarakat mengingkari keputusan berdasarkan Kitabullah
yang diputuskan oleh Nabi, maka mereka bakal hidup sengsara, baik di dunia
apalagi di akhirat.
Lalu setelah terputusnya rantai
pengiriman para Nabi bagaimana manusia menyelesaikan perselisihan di antara
mereka? Nabi Akhir Zaman telah diutus, yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه
و
سلم
. Berarti tidak bakal ada lagi Nabiyullah yang diutus ke muka bumi dengan
membawa Kitabullah baru. Lalu bagaimana manusia menyelesaikan berbagai
perselisihan yang muncul sesudah wafatnya Nabi Muhammad صلى الله عليه
و
سلم
?
Di sinilah letak keistimewaan dienullah
Al-Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى الله
عليه
و
سلم
. Tidak sebagaimana Nabi-Nabi terdahulu yang setiap diutus Allah سبحانه و تعالى
senantiasa mengisyaratkan bakal datangnya Nabi berikutnya untuk menyempurnakan
agama Allah سبحانه
و
تعالى.
Maka kehadiran Nabi Muhammad صلى الله
عليه
و
سلم
dengan Kitabullah Al-Qur’anul Karim menandakan telah sempurnanya proyek Risalah
yang telah berlangsung sepanjang sejarah kemanusiaan. Tidak lama lagi dunia
akan berakhir. Tibalah Yaumul Qiyamah.
Artinya, dengan selesainya
penyampaian wahyu Kitabullah Al-Qur’an telah sempurnalah ajaran Allah سبحانه و تعالى
bagi ummat manusia hingga datangnya hari kiamat. Manusia tidak sepantasnya
berfikir mencari-cari ajaran selain Al-Qur’an untuk menyelesaikan berbagai
perselisihan yang muncul. Bahkan Allah سبحانه و
تعالى
menegaskan bahwa kaum kafirpun sudah putus harapan untuk dapat menandingi
apalagi mengungguli agama Allah Al-Islam yang sudah sempurna itu.
الْيَوْمَ يَئِسَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلا
تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 3)
Masalah muncul ketika mayoritas
manusia meragukan bahkan mengingkari kesempurnaan Islam yang dibawa Nabi
Muhammad صلى
الله
عليه
و
سلم.
Jika yang meragukan adalah kaum kafir, kita tentu dapat memakluminya. Tetapi di
era penuh fitnah dewasa ini, kita bahkan menyaksikan bahwa yang turut meragukan
bahkan mengingkari kesempurnaan dienullah Islam meliputi mereka yang mengaku
dirinya kaum muslimin juga. Sehingga kita dipaksa menyaksikan dan mendengar
statement dari tokoh Islam, yang berkata misalnya: “Ajaran founding-father
bangsa kita ini sejalan dengan Islam. Maka kita tidak perlu mempertentangkannya
dengan Islam.”
Atau misalnya kita mendengar
ungkapan seorang muslim-defitis (muslim bermental pecundang) yang
berkata: “Kalau kita paksakan Islam kepada seluruh masyarakat ini tentunya
kita menjadi kaum yang zalim. Sebab tidak semua orang di negeri kita adalah
muslim. Oleh karenanya kita jadikan ajaran nenek-moyang kita sebagai platform
yang disepakati bersama, sekedar sebagai batu loncatan sebelum akhirnya Islam
juga yang kita berlakukan.”
Tidakkah orang-orang tersebut
membaca ayat Allah سبحانه
و
تعالى
di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى
لِلنَّاسِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an
sebagai petunjuk bagi manusia.” (QS Al-Baqarah 185)
Jelas di dalam ayat di atas Allah سبحانه و تعالى
sendiri mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia.
Allah tidak membatasi Al-Qur’an sebagai petunjuk hanya bagi kaum muslimin.
Kalau Allah سبحانه
و
تعالى
mengatakan ia merupakan petunjuk bagi manusia berarti meliputi segenap manusia.
Apakah ia orang Arab atau orang ‘Ajam (orang non-Arab). Apakah ia muslim atau
ia kafir. Semua termasuk manusia. Artinya, Allah سبحانه و
تعالى
menjamin bahwa bila Al-Qur’an diberlakukan sebagai platform masyarakat, maka ia
akan sesuai untuk semua fihak yang namanya komunitas manusia. Berbeda dengan
kitab-kitab Allah سبحانه
و
تعالى
sebelumnya yang memang belum sempurna sehingga belum dilegalisir untuk berlaku
bagi segenap manusia. Taurat dan Injil, misalnya. Kedua Kitabullah tersebut
diwahyukan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa ‘alaihimas-salam. Tetapi Allah سبحانه و تعالى
sendiri menegaskan bahwa ia hanya berlaku bagi suatu kaum tertentu, yakni Bani
Israel. Bukan untuk segenap manusia.
وَآتَيْنَا مُوسَى
الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى
لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
“Dan Kami berikan kepada Musa kitab
(Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.” (QS
Al-Isra 2)
وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَرَسُولا إِلَى
بَنِي
إِسْرَائِيلَ
“Dan Allah akan mengajarkan
kepadanya (Isa as) Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Dan (sebagai) Rasul
kepada Bani Israel.” (QS Ali Imran 48-49)
Lalu di era modern ini ada sebagian
orang berpendapat dengan prinsip bahwa “agama Islam adalah untuk realitas.”
Maka, dengan dalih ini mereka berpendapat bahwa Islam perlu disesuaikan dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang sudah jauh berkembang dan berbeda dari
zaman Nabi Muhammad صلى
الله
عليه
و
سلم
dan para sahabat. Masyarakatpun telah berubah dibandingkan dengan masyarakat
saat Islam awal berkembang di jazirah Arab limabelas abad yang lalu. Atas dasar
perubahan realitas inilah kemudian mereka memandang Islam sendiri perlu
“disesuaikan” dengan perubahan dan perkembangan tersebut. Artinya, mereka
memandang bahwa jika Islam ingin tetap up to date dan diterima oleh
masyarakat modern, maka Islam harus ditampilkan dengan tampilan yang berbeda.
Alias mereka ingin beragama Islam yang bukan seperti Islam yang dibawa dan
dicontohkan oleh Nabi Muhammad صلى الله
عليه
و
سلم
.
Akhirnya, alih-alih mereka
mewujudkan realitas yang diarahkan oleh Islam, malah mereka menerima dan
membenarkan segenap realitas menyimpang yang ada di sekitar dirinya. Bahkan
mereka memberikan dalil ayat dan hadits untuk melegitimasi realitas menyimpang
tersebut. Inilah tafsiran konyol mereka terhadap prinsip bahwa “agama Islam
adalah untuk realitas.” Sehingga tidak kurang seorang Sayyid Qutb menyoroti
fenomena ini di dalam kitab monumentalnya Ma’alim Fit-thoriq (Petunjuk Jalan).
Inilah petikannya:
Perkataan "agama itu adalah
untuk kenyataan" telah salah dimengerti dan juga telah salah dipergunakan.
Tentu saja agama ini adalah untuk kenyataan. Tetapi kenyataan yang mana? Yaitu
kenyataan yang timbul dari agama itu sendiri, sesuai dengan metode-nya, sesuai
dengan fitrah manusia semuanya. Memenuhi kebutuhan manusia sesungguhnya dalam
kese-luruhannya. Yaitu kebutuhan-kebutuhan yang telah ditetapkan oleh Yang
Menciptakan dan Yang Mengetahui apa yang diciptakan-Nya.
أَلا
يَعْلَمُ مَنْ
خَلَقَ
وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah Yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi
Maha Mengetahui?” (QS Al-Mulk 14)
Agama tidaklah menghadapi sembarang
kenyataan saja, lalu mengakuinya, dan mencari-carikan alasan baginya, atau
mencari-carikan hukum agama baginya seperti slogan-slogan yang dipinjam. Agama
menghadapi kenyataan, untuk ditimbanginya dengan timbangannya ditetapkannya
mana yang akan ditetapkannya, dibatalkannya mana yang akan dibatalkannya, dan
didirikannya suatu kenyataan baru, seandainya kenyataan yang ada tidak
disenanginya, dan kenyataan yang diadakannya itulah yang benar-benar kenyataan.
Inilah pengertian kata-kata: Islam itu agama kenyataan. Atau begitulah
semestinya arti dalam pengertian yang benar.
Barangkali di sini timbul pertanyaan
:
"Bukankah kepentingan manusia
yang seharusnya membentuk kenyataannya ?"
Sekali lagi kita kembalikan
pertanyaan yang telah dikemukakan Islam dan telah dijawabnya sekaligus :
"Kamukah yang lebih tahu atau
Allah ?"
"Allah mengetahui dan kamu
tidak mengetahui".(QS Al-Baqarah 216)
Kepentingan manusia terkandung dalam
hukum Allah, sebagaimana yang telah diturunkan oleh Allah, sebagaimana yang
telah disampaikan kepada kita oleh RasulNya.
Kalau manusia pada suatu hari
menyadari bahwa kepentingannya adalah dalam menentang hukum Allah, maka
keadaan mereka itu, adalah sebagai berikut:
Pertama-tama, mereka itu hanya
"berimajinasi" saja, mengenai apa yang mereka sadari itu.
إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلا
الظَّنَّ وَمَا
تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ
رَبِّهِمُ الْهُدَى أَمْ
لِلإنْسَانِ مَا
تَمَنَّى فَلِلَّهِ الآخِرَةُ وَالأولَى
“Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. Atau apakah
manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi
Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS An-Najm 23-25)
Kedua, karena mereka itu
"orang-orang kafir". Seseorang yang menyangka bahwa kebaikannya
(maslahatnya) menurut pendapatnya bertentangan dengan hukum Allah, tidak
mungkin satu detikpun tinggal dalam agama ini, dan termasuk ke dalam para
pemeluk agama ini. (Petunjuk Jalan-Media Da’wah cetakan VI 2000 hlm 160-163)
Saudaraku, tugas kita di dunia ini
hanyalah beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada Allah سبحانه و تعالى
semata. Dalam upaya kita beribadah menegakkan kalimah Allah سبحانه و تعالى
terkadang Allah سبحانه
و
تعالى
mudahkan kita merubah realitas tapi tidak jarang Allah سبحانه و تعالى
tidak izinkan kita merubah realitas. Yang paling penting adalah memastikan
bahwa kita tetap beribadah kepada Allah سبحانه و
تعالى
baik realitas berhasil kita ubah maupun tidak. Jangan sampai demi menyesuaikan
diri dengan realitas lalu kita rela merubah dienullah. Yang berarti kita rela
untuk tidak lagi beribadah kepada Allah سبحانه و
تعالى
dengan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya. Na’udzubillahi min dzaalika...!
وَمَا
أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah 5)
Sungguh berat menegakkan sunnah Nabi صلى الله عليه
و
سلم
di era penuh fitnah seperti sekarang. Karena begitu banyak ajakan sesat yang
seringkali berbungkus ajaran Islam padahal sejatinya sudah bukan Islam yang
orisinal sebagaimana dibawa dan dicontohkan oleh Rasullah صلى الله عليه
و
سلم.
Sehingga kita harus waspada jangan sampai ikut-ikutan dengan ajran sesat
berbungkus ayat, hadits dan siroh Nabi صلى الله
عليه
و
سلم
yang penggunaannya bukan untuk merubah realitas menyimpang yang berlaku, malah
menjustifikasinya.
Ya Allah, janganlah Engkau sesatkan
hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepadanya. Ya Allah, janganlah Engkau
masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang berwudhu bahkan sholat namun
iman dan islam kami ditolak oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم tatkala
kami berjumpa dengannya di telaga al-haudh di hari berbangkit. Sebagaimana diterangkan
dalam hadits berikut:
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
صلى الله عليه و سلم pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga
keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan
sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, " Sungguh aku sangat
gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita." Para Sahabat
bertanya, 'Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? ' Beliau
menjawab dengan bersabda: "Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan
saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud." Sahabat bertanya
lagi, 'Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan
umatmu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat
kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di
dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda
yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu? ' Para Sahabat
menjawab, 'Sudah tentu wahai Rasulullah.' Beliau bersabda lagi: 'Maka mereka
datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu.
Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi
dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat'. Aku memanggil
mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, 'Sesungguhnya mereka telah
menukar ajaranmu selepas kamu wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah
jauh-jauh dari sini." (MUSLIM - 367) Shahih
No comments:
Post a Comment