Rabu, 28 Mar 07
14:23 WIB
Kirim teman
Sejarahwan T. W.
Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan
bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab
ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7
M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri
Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali)
diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara
(F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab
Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di
daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah
bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan
ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q.
Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti
di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa
Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:
Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian
menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya
berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal
pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari
Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur
kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di
pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW
memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat
sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan
zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf
Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun
30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang
kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang
dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4)
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif
Utsman.
Naskah Qur’an
yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak
yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman
bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia.
Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat
bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak
kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang
tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu
gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian
Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu
dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah
ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang
berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini
memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz
naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh
pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas
Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang,
cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara
berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para
pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal
al-Qur’an.
Menengok catatan
sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa
atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari
agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu
bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi
dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan
kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama
yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu
terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah
kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha
Sriwijaya.
Perjalanan dari
Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan
transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai
hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat
adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan
sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya
memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang
terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam
masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat
Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah
yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan
Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad
diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah
ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga
bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah
ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau
negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu,
ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang
di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan
terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur
kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta
Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa
duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651
Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah
Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta
Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera
pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang
duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan
kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang
kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi
untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan
Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar
Tempat Singgah
Jelas, Islam di
Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan
dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan
berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori
Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang
dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam
perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang
ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung
besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris
tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas
Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab
menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum
meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di
Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar
ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada
yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini
hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang),
lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan
letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal
sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju
Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru
menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang
aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa
oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan
sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat)
No comments:
Post a Comment