آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:
58-59)
Ini merupakan tema penting yang dikupas
dalam pelajaran ini, selain penjelasan tentang tugas umat Islam di muka bumi. Tema tersebut adalah menetapkan prinsip-prinsip keadilan
dan etika di atas dasar-dasar manhaj Allah yang lurus dan bersih.
Sebelumnya kami telah menjelaskannya secara
global, maka mari kita memasuki nash-nash secara rinci.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)
Inilah tugas-tugas komunitas muslim dan
etika mereka: menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di
antara manusia dengan adil; sesuai manhaj dan instruksi Allah.
Berbagai amanah berawal dari amanah
terbesar. Amanah yang disematkan Allah pada fitrah manusia. Langit, bumi dan
gunung-gunung saja menolak amanah tersebt. Bahkan mereka gentar terhadapnya.
Tetapi manusia berani memikulnya. Itulah amanah hidayah, ma’rifat dan iman
kepada Allah atas dasar keinginan yang bebas, usaha dan orientasi. Inilah
amanah fitrah insani secara khusus. Sedangkan segala sesuatu selain manusia itu
diberi insting oleh Allah untuk beriman kepada-Nya, menemukan jalan-Nya,
mengenal-Nya, beribadah dan menaati-Nya.
Allah meniscayaka untuk menaati aturan-Nya
tanpa disertai jerih payah, tanpa ada maksud, kehendak, dan tujuan. Hanya
manusia saja yang diserahi tugas untuk mendayagunakan fitrah, akal,
pengetahuan, kehendak, orientasi, dan jerih payahnya untuk sampai kepada Allah,
dan sudah barang tentu dengan bantuan dari Allah: “Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada
mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut: 29) Inilah amanah yang dipikul manusia,
dan inilah amanah pertama yang harus ditunaikannya.
Dari amanah terbesar inilah lahir seluruh
amanah yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.
Yang kedua adalah kesaksian dengan mengajak
orang lain untuk mengikuti Islam, menjelaskan keutamaan dan
keistimewaannya—setelah mengejawantahkan keutamaan dan keistimewaan ini dalam
diri dai. Karena seorang mukmin tidak cukup menyampaikan kesaksian terhadap
iman dalam dirinya, apabila ia tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Ia
belum menjalankan amanah dakwah, tabhligh, dan penyampaikan informasi, yang
merupakan salah satu dari sekian banyak amanah. Di susul dengan kesaksian
terhadap agama dengan berusaha menancapkannya di bumi sebagai manhaj bagi
komunitas yang beriman dan manhaj bagi seluruh umat manusia. Yaitu usaha dengan segenap sarana yang dimiliki individu
dan jama’ah. Karena mengaplikasikan manhaj ini dalam kehidupan manusia
merupakan amanah terbesar, sesudah amanah iman itu sendiri..Tidak ada satu
individu atau kelompok pun yang terbebas dari beban amanah ini. Dari sini, “jihad itu terus berlangsung hingga hari
Kiamat”, untuk menunaikan salah satu amanah..
Di antara amanah-amanah tersebut adalah
amanah interaksi dengan sesama manusia dan mengembalikan amanah kepada mereka:
amanah mu’amalah dan titipan materi, amanah nasihat kepada pemimpin dan rakyat,
amanah membangun generasi, amanah memelihara kehormatan dan harta benda
jama’ah, serta hal-hal yang dijadikan manhaj robbani sebagai kewajiban dan
tugas dalam setiap ruang kehidupan secara keseluruhan..Inilah amanah-amanah
yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan, dan dikemukakan nash secara global
tersebut.
Mengenai memutuskan perkara di antara
manusia dengan adil, nash menyebut keadilan yang menjangkau semua manusia,
bukan keadilan di antara sesama orang Islam, dan bukan keadilan di antara
sesama Ahli Kitab. Keadilan adalah hak setiap manusia dalam kapasitasnya
sebagai “manusia”. Label “manusia” inilah yang mengimplikasikan hak keadilan
dalam manhaj Robbani, dan label inilah yang mempertemukan semua manusia: baik
mukmin atau kafir, kawan atau lawan, hitam atau putih, Arab atau non-Arab.
Umat Islam berdiri membuat keputusan di
antara manusia dengan adil—ketika ia memegang otoritas atas urusan mereka.
Keadilan inilah yang belum pernah dikenal umat manusia sama sekali—dalam
bentuknya yang demikian—kecuali di tangan Islam, kecuali dalam pemerintahan
umat Islam, dan kecuali pada masa kepemimpinan Islam. Keadilan ini hilang
sebelum dan sesudah kepemimpinan tersebut. Umat manusia sama sekali tidak
merasakan keadilan dalam bentuk mulia seperti ini, yang diberikan kepada semua
manusia karena mereka adalah “manusia”, bukan karena label tambahan lain di luar
label yang menjadi milik bersama umat manusia ini!
Itulah dasar pemerintahan dalam Islam.
Sebagaimana amanah—dengan setiap indikasinya—merupakan dasar kehidupan dalam
masyarakat Islami.
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:
58-59)
Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah, dan betapa bagusnya apa yang dinasihatkan dan diinstruksikan Allah.
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.”
Mari kita merenung sejak ungkapan ini dari
sisi gaya bahasanya. Karena pada mulanya susunan kalimat ini berbunyi: innahu
ni’ma ma ya’izhukumullahu bihi (sesungguhnya ia adalah sebaik-baik yang
dinasihatkan Allah kepada kalian).
Tetapi, ungkapan ini mendahulukan lafzhul
Jalalah, dengan menjadikannya sebagai isim (kata benda) bagi partikel inna, dan
menempatkan lafazh ni’imma dan kata-kata yang terkait itu pada kedudukan khabar
bagi inna sesudah khabar-nya dihilangkan..Hal itu untuk menginspirasikan
kuatnya hubungan antara Allah Subhanah dengan apa yang dinasihatkan-Nya kepada
mereka ini.
Kemudian, sebenarnya itu bukan “nasihat”,
melainkan “perintah..” Tetapi ungkapan ini menyebutnya nasihat, karena nasihat
itu lebih menyentuh hati, lebih cepat merasuk ke dalam emosi, dan lebih
memotivasi untuk melaksanakannya secara suka rela dan rasa malu!
Kemudian hadirlah komentar terakhir dalam
ayat, yaitu perintah untuk merasa diawasi Allah (muraqabah), takut dan berharap
kepada-Nya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”
Korelasi antara tugas-tugas yang
diperintahkan, yaitu menunaikan amanah dan memutuskan perkara di antara manusia
dengan adil, (korelasinya) dengan sifat Allah sebagai Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat, merupakan korelasi yang jelas sekaligus halus: Allah mendengar
dan melihat masalah-masalah keadilan dan amanah. Selain itu, keadilan perlu
didengar, dilihat, dan dihargai dengan baik, perlu diperhatikan hal-hal yang
melingkupinya dan fenomena-fenomenanya, dan perlu didalami apa ada di balik
situasi dan kondisi serta fenomena-fenomenanya. Dan yang terakhir, perintah
menyampaikan amanah dan berbuat adil itu bersumber dari Tuhan yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat segala perkara.
Selanjutnya, apa tolok ukur amanah dan
keadilan? Apa metode untuk mempersepsi, mendefinisikan, dan melaksanakannya?
Apakah ia berlaku dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan?
Apakah kita menyerahkan konsep amanah dan
keadilan, media-media implementasi dan realisasinya kepada kebiasaan dan
terminologi masyarakat? Apakah kita menyerahkannya kepada keputusan akal
mereka—atau selera mereka?
Sesungguhnya akal manusia itu memiliki
kriteria dan nilai sendiri dalam kapasitasnya sebagai salah satu alat untuk
mengetahui dan mencari petunjuk dalam diri manusia. Hal ini memang benar,
tetapi akal manusia itu adalah akal individu-individu dan kelompok-kelompok
dalam suatu lingkungan yang sangat terpengaruh dengan berbagai stimulasi..Tidak
ada yang disebut “akal manusia” dalam arti yang mutlak! Yang ada adalah akalku,
akalmu, akal fulan, dan akal sekumpulan manusia, di suatu ruang atau
waktu..Semua ini terjadi di bawah beragam pengaruh, menyayun-ayun seperti
pendulum..
Harus ada kriteria baku yang menjadi referensi akal yang banyak
ini, sehingga akal-akal tersebut mengetahui sejauh mana salah dan benarnya
keputusan dan persepsi akal, sejauh mana akal melampaui batas dan kurang dari
batas dalam membuat keputusan dan persepsi tersebut. Nilai akal manusia di sini
adalah sebagai piranti yang disiapkan bagi manusia untuk mengetahui kriteria
keputusan-keputusannya dalam kriteria ini, yaitu kriteria baku yang tidak mengikuti hawa nafsu dan
tidak terpengaruh oleh berbagai stimulus.
Standar-standar yang diletakkan sendiri
oleh manusia itu tidak berlaku. Karena terkadang ada cacat dalam
standar-standar itu sendiri, sehingga semua nilai menjadi tumbang. Hal itu
terjadi selama manusia tidak kembali kepada standar-standar yang baku dan
lurus.
Allah meletakkan standar ini bagi manusia
untuk amanah dan keadilan, untuk semua nilai, untuk semua keputusan, dan untuk
semua bidang kegiatan, dalam setiap ranah kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Di dalam nash yang pendek ini Allah
Subhanah menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Pada waktu yang sama, Allah
juga menjelaskan kaidah aturan pokok dalam jama’ah muslim, kaidah memerintah,
dan sumber kekuasaan.
Seluruhnya berawal dan berakhir pada
talaqqi (penerimaan titah) dari Allah semata, dan kembali kepada-Nya dalam
hal-hal yang tidak diredaksikan-Nya, yaitu perkara-perkara parsial yang terjadi
dalam kehidupan manusia di sepanjang sejarah, yang diperselisihkan oleh
berbagai akal, pendapat, dan faham. Semua itu agar ada tolok ukur baku yang
menjadi referensi semua akal, pendapat, dan faham
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:
58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas
legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau
besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul
untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif
dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara
karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib
dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial,
dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat
kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat
kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya
kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan
demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu
tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash
mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang
beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam
yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah,
memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi
manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali
kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat
yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari
nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah
sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan
ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap
ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak
mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat
menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu
bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah
menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan
batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu
diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang
ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk
diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu
diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil
Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat
dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain,
“Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin
kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap
individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya,
pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya,
dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak
menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari,
lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan
taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak
berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di
antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang
ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai
berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan
kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang
pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan
pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak
membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan
mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan
nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan
batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj
ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara
dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian
rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum
dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan
kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya,
seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas
sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan
satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh
timbangan agama ini.
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:
58-59)
“Jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan
kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah
dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan
kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari
Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir.
Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti
pun tidak mengikuti.
Setelah nash ini meletakkan masalah pada
posisi kondisionalnya, maka sekali lagi nash menghadirkannya dalam bentuk
“nasihat” dan motivasi, seperti yang dilakukannya terhadap perintah menunaikan
amanah dan berlaku adil, yang kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan
lebih baik akibatnya. Lebih baik di dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih
baik akibatnya di dunia, juga lebih baik akibatnya di akhirat. Jadi, bukan
hanya menggapai ridha Allah dan pahala akhirat—dan itu merupakan berkara yang
sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga dapat mewujudkan kebaikan dunia dan
akibat yang baik bagi individu dan jama’ah di kehidupan yang dekat ini.
Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang”
menikmati kelebihan-kelebihan manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, Mahabijaksana, Maha
Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang terbebas dari kebodohan,
hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj yang tidak mengandung nepotisme kepada satu
individu, satu kelompok, satu bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah
adalah Rabb bagi semua orang. Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh
keinginan memihak kepada satu individu, atau satu strata sosial, atau satu
bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.
Inilah manhaj yang di antara
keistimewaannya adalah dibuat oleh yang menciptakan manusia, yang mengetahui
hakikat fitrahnya dan kebutuhan-kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini.
Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara
kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga manusia tidak terjebak dalam kebingunan
saat mencari manhaj yang sesuai, dan Allah swt. tidak membebani manusia dengan
harga dari uji coba-uji coba yang keras. Sementara mereka terjebak dalam
kebingunan tanpa petunjuk!
Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba
dalam bidang kreasi dan inovasi material sesuka hari, karena bidang tersebut
sangat luas bagi akal manusia. Dan cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha
menerapkan manhaj ini, dan mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai
hal-hal yang diperselisihkan akal.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaan
adalah dibuat oleh Pencipta alam semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia
menjamin untuk manusia manhaj yang kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam.
Sehingga manusia tidak perlu berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru
berdampingan dengannya dan memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan melindunginya.
Inilah manhaj yang di antara
keistimewaannya adalah—selain memberinya petunjuk dan melindunginya—manhaj ini
juga memuliakannya dan memberi ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam
manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk memahami nash-nash yang ada, disusul dengan
ijtihad untuk mengembalikan masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash
atau kepada prinsip-prinsip umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang
orisinil bagi akal manusia, yaitu ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta
dan ruang kreasi dan inovasi material.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Sehabis menetapkan kaidah universal ini
dalam syarat iman dan batasan Islam, juga dalam aturan pokok umat Islam, dan
manhaj penetapan syari’at dan prinsip-prinsipnya, maka konteks beralih kepada
orang-orang yang menyimpang dari kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka
mengklaim sebagai orang yang beriman! Padahal mereka melanggar syarat iman dan
batasan Islam, karena mereka ingin bermahkamah kepada selain syari’at Allah,
yaitu kepada Thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya.
Konteks beralih kepada mereka untuk
memandang aneh sikap mereka. Juga untuk mengingatkan mereka dan orang-orang
seperti mereka tentang keinginan setan untuk menyesatkan mereka. Konteks
mendeskripsikan kondisi mereka ketika diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu
mereka menolak. Penolakan ini dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana
konteks menganggap keinginan mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai
tindakan keluar dari iman—bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya.
Sebagaimana konteks menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk
mengikuti langkah yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada
mereka. Meski demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka.
Dan penggal ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para
Rasul.
No comments:
Post a Comment