Rabu, 7 Mar 07 06:43 WIB
Kirim Pertanyaan | Kirim teman
Assalamu'alaikum,
Yth. Pak Ustad,
saya mendapat email dari teman tentang Fatwa Ulama yang mengharamkan berada
dalam partai (hizbiyah).
Berikut kutipan
Fatwanya:
Lajnah Da`imah
lil Ifta' (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul
Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan: Syaikh Abdur Razaq Afifi
Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin
Qu'ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal
7/10/1397) sebagai berikut:
"Tidak boleh
memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan
berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang
oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah
janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta'ala berfirman:
"Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai" [Ali Imran: 103]
Benarkah Fatwa
tersebut? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu'alaikum,
Hanzhalahhanzhalah
at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Setiap fatwa
selalu dilandasi dari realita yang sangat terikat dengan waktu, lokasi, situasi
dan latar belakang masalah. Sangat boleh jadi sebuah fatwa tertentu yang
tadinya belum dikeluarkan, atas pertimbangan tertentu kemudian dikeluarkan. Dan
sebaliknya pun sangat mungkin terjadi.
Ketika Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank akhir-akhir ini,
sebenarnya jangan diartikan bahwa sebelum keluarnya fatwa tersebut bunga bank
hukumnya halal. Bunga bank sudah dianggap haram oleh MUI, jauh sebelum keluar
fatwanya.
Maka yang perlu
kita pahami tentang fatwa-fatwa dan sifatnya, adakalanya fatwa dikeluarkan
untuk merespon terhadap gejala tertentu. Dan sangat dimungkinkan terjadinya
perubahan fatwa karena terjadi perubahan gejala.
Maka fatwa
haramnya kita berpartai adalah fatwa yang terkait dengan larangan untuk
berpecah belah. Dan tidak ada yang salah dalamfatwa itu, karena sebagai muslim,
kita memang diharamkan berpecah pelah dan saling memusuhi antara umat
Rasulullah SAW.
Tinggal bagaimana
kita memahami fatwa itu secara lebih dalam. Misalnya, apakah setiap adanya
partai berarti otomatis umat Islam berpecah belah? Sehingga keharaman berpecah
belah secara otomatis langsung mengharamkan partai?
Dan kalau di
balik misalnya, dengan adanya partai, maka syariat Allah SWT kemudian bisa
lebih ditegakkan, apakah tetap masih harus dianggap haram?
Saudara-saudara
kita yang berjuang di level parlemen itu berupaya agar resistensi negara
terhadap Islam bisa dikikis, lalu penetrasi syariah dalam penyelenggaraan
negara bisa semakin dirasakan.
Dengan adanya
partai yang menjadi jembatan untuk memasuki wilayah otoritas penetapan hukum,
orang berjilbab bisa bebas dan tidak lagi dilarang. Sekolah Islam bisa
mendapatkan dana dari anggaran negara dan tidak lagi kekurangan dana.Posisi
tawar umat Islam di depan kekuatan musuh-musuhnya menjadi lebih kuat. Hukum negara
bisa lebih digeser menuju ke arah aplikasi syariah Islam, terutama pada masalah
law enforcemen. Laju pertumbuhan gerakan pemurtadan bisa ditekan. Dan masih
banyak lagi.
Apabila
keberadaan partai dakwah yang sedemikian menguntungkan umat itu benar-benar
bisa diterapkan, sambil meminimalisir perpecahan dan perbedaan di dalam elemen
umat Islam, maka keberadaan partai dengan sosok seperti itu malah harus terjadi
dan merupakan fardhu kifayah. Bukannya malah dilarang.
Penggunaan fatwa
asal comot meski bersumber dari ulama besar malah kurang produktif, sebab
setiap fatwa sangat dibatasi pada kondisi sosial politik tertentu di suatu
negeri tertentu dan pada era tertentu.
Bahkan fatwa
Rasulullah SAW tidak selalu sama atas pertanyaan yang sama. Pernah beliau
mengharamkan percumbuan suami isteri di siang hari bulan Ramadhan, ketika yang
bertanya seorangpemuda. Namun pernah pula beliau membolehkannya kepada orang
berumur selama tidak terjadi jima', ketika yang bertanya seorang renta berusia.
Maka tiap fatwa
punya alamat masing-masing, kita tidak dibenarkan mengadu domba antara tiap
fatwa yang dikeluarkan para ulama. Dan sebelum minta fatwa kepada seorang yang
kita anggap sebagai ulama, kita perlu mengajak beliau untuk melihat langsung
kondisi dan keadaan yang sesungguhnya, agar kita tidak menyesatkan dan menjebak
beliau dengan informasi yang salah dan tidak nyambung, sehingga kita malah
memanfaatkan wibawa beliau justru untuk mengadu domba umat Islam. Nauzhu
billahi min zalik.
Berpartai di
Indonesia hukumnya haram untuk kurun waktu, keadaan, era dan fenomena tertentu,
namun hukumnya bisa berubah menjadi halal, sunnah dan bahkan bisa jadi wajib,
tergantung dari dinamika perubahan yang terjadi. Untuk tiap perubahan hukum
itu, perlu ada kajian strategis serta syuro yang melibatkan para ahli halli wal
'aqd dari setiap elemen umat Islam. Majelis Syuro itulah nanti yang akan
memutuskan, kapan partai itu bisa dimanfaatkan untuk dakwah dan kapan partai
itu harus diharamkan.
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment