Kamis, 22 Mar 07
10:15 WIB
Kirim Pertanyaan
| Kirim teman
Assalamu'alaikum
warohmatullahi wabarokatuh
Semoga Allah
terus-menerus memberikan karunia ilmu yang besar buat pak ustadz untuk mengajar
dan membangun ummat ini. Pertanyaan saya kali ini adalah berkaitan hukum
berniaga di dalam masjid, boleh atau tidak?
Setahu saya ada
sebuah hadith yang menyebut tentang hal ini:
Abdullah bin Amru
al-Ass berkata bahawa Nabi s. A. W. Melarang jual beli di dalam masjid. (Mafhum
hadith riwayat Tirmizi).
Tetapi beberapa
kali sewaktu qiamullail di masjid dekat universitas tempat saya belajar, ada di
kalangan teman-teman saya sering membawa barang-barang jualan seperti makanan
dan buku-buku lalu berjualan di dalam masjid.
Saya juga ada
membuat kajian tentang arsitektur masjid di seluruh dunia dan saya dapati ada
di antara masjid lama seperti Masjid Wazir Khan di Pakistan, yang dibina
sewaktu Empayar Mughal, mempunyai ruangan toko-toko kecil di dalamnya untuk
orang berniaga.
Saya jadi bingung
kerana teman-teman saya bukan kalangan orang yang rendah ilmu agamanya dan saya
kira tidak mungkin pemimpin Islam zaman dulu membangun toko-toko di dalam
masjid itu sewenang-wenangnya dengan tidak mengkaji kebolehannya dari segi
syariat.
Bagaimana pula
hukumnya kalau kita mahu mempromosi barang-barang jualan kita di dalam masjid
tetapi urusan jual beli dibuat di luar masjid. Contohnya seorang penceramah
selesai ceramah di masjid mengajak orang untuk membeli kaset dan buku
tulisannya yang ada di luar masjid, atau dengan melekat iklan-iklan di dinding
atau papan notis dalam masjid. Boleh atau tidak?
Mohon penjelasan
yang seksama dari pak ustadz dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadith
baginda Rasulullah S. A. W.
Sekian, terima
kasih
Wa'alaikumsalam
warohmatullahi wabarokatuh
Wafiy
Jawaban
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda
sampaikan tentang larangan melakukan jual beli di dalam masjid memang ada
dasarnya, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini:
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال, "نهى رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ عن الشراء والبيع في المسجد أخرجه أحمد في مسنده وأبو داود
Dari Amru bin
Sy'aib ra dari ayahnya dari kakeknya berkata, "Rasulullah SAW melarang
berjual beli di dalam masjid." (HR Ahmad dalam Musnadnya dan Abu Daud)
Jumhur ulama
selain Al-Hanafiyah mengatakan bahwa larangan untuk berjual beli di dalam
masjid adalah larangan yang bersifat mutlak. Sehingga semua jenis jual beli,
baik yang nilainya besar apalagi yang nilainya kecil, hukumnya haram. Baik jual
beli itu bersifat darurat atau tidak.
Namun mazhab
Al-Hanafiyah yang punya latar belakang khusus dalam masalah jual beli di dalam
masjid. Mereka masih memberikan keluasan untuk terjadinya jual beli di dalam
masjid, bila memang sangat diperlukan. Misalnya, sangat diperlukannya
kitab-kitab yang diperlukan dalam kajian agama. Dan kitab itu bagian dari
taklim yang memang bagian dari peran sebuah masjid sebagai pusat ilmu
pengetahuan agama.
Namun mazhab
inimembolehkan hal itu selama nilainya kecil. Sedangkan yang nilainya besar
tidak dibolehkan oleh mereka. Maka jual beli kitab antara pihak percetakan dan
distributornya lebih merupakan bisnis ketimbang kebutuhan darurat di dalam
sebuah masjid. Sehingga hal itu termasuk dalamlarangan.
Wilayah 'Suci'
dan 'Sakral' Masjid
Di sisi lain,
larangan untuk berjual beli di dalam masjid sesunguhnya berlaku bila dilakukan
di dalam wilayah 'suci' dan 'sakral' yang ada di dalam masjid. Di luar itu,
meski masih merupakan asset masjid, namuntidak termasuk wilayah 'suci' dan
'sakral', sehingga hukum larangan itu tidak berlaku.
Misalnya halaman
atau pelataran masjid, sesungguhnya kebanyakan pengurus masjid tidak
mengikrarkannya sebagai wilayah suci dan sakral. Termasuk juga tempat wudhu,
WC, toilet, gudang, atau tempat pembuangan sampah. Bahkan selasar (teras)
masjid pun sering kali tidak termasuk wilayah yang dimaksud.
Lalu apa
batasannya?
Batasannya
sederahana saja, yaitu ikrar dari pengurus masjid. Entah apa istilah lainnya,
DKM atau takmir. Intinya, penanggung jawab masjid adalah pihak yang
bertanggungjawab sekaligus punya wewenang untuk menetapkan garis batasnya. Dan
ketetapan dari takmir ini mungkin saja dikoreksi dan diperbaharui berdasarkan
kebutuhan.
Salah satu
contohnya adalah yang dilakukan oleh salah satu takmir masjid di bilangan pusat
kota Jakarta. Karena kekurangan ruangan untuk sekolah, maka takmir masjid
mengikrarkan bahwa lantai 3 masjid itu untuk ruang kelas dan sekolah. Padahal
sebelumnya termasuk ruang shalat. Dengan demikian, murid yang sedang haidh
tetap bisa masuk kelas, meski ruang kelasnya adalah lantai 3 gedung masjid.
Semua ditentukan oleh ikrar dari pengurus masjid.
Demikian juga
urusan jual beli di masjid, asalkan dilakukan di luar wilayah suci dan sakral,
hukumnya tidak terkena larangan. Karena bukan termasuk ke dalam hadits yang
dimaksud.
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment