Rabu, 31 Jan 07 05:36 WIB
Kirim Pertanyaan | Kirim teman
Assalamu 'alaikumWr. Wb.
Pa Ustdz Yth,
Beberapa puluh tahun yang lalu (1988), kami mengalami
percekcokan suami isteri, tidak mencapai kata sepakat. Tiba-tiba isteriberkata,
"Memang kita tidak cocok, kita pisah aja." Setelah kejadian itu saya
mengingatkan bahwa saya sangat pantang untuk mengatakan kata "pisah."
Dan jika mencari orang yang benar-benar cocok dengan diri kita, sampai ke ujung
dunia pun kita tidak akan ketemu, karena cocok itu adalah "rasa."
Selang beberapa tahun kata-kata itu terucap lagi dan saya
masih mengingatkan. Selang beberapa tahun kemudian kata iru terucap dan terucap
lagi, sampai isteri saya menantang dengan senyum sinis berkata "Kita mau
cerai? Kapan? Besok?"
Akhirnya saya tidak dapat membendung hati saya, mungkin
memang ini adalah keinginan isteri untuk pisah, maka jatuhlah talak yang ke 1,
2 & 3 dari selang waktu kejadian tersebut di atas.
Dan pernah pada kejadian tersebut di atas isteri saya pergi
dari rumah walau saya sudah melarangnya dan mengingatkan akan keberadaan
anak-anak.
Yang ingin saya tanyakan,
1. Jika talak 3 sudah jatuh, masih bisakah kamirujuk lagi
dengan hanya menerima/memaafkan isteri?
2. Isteri saya telah menanyakan hal ini kpd ustadz-ustdz
lain, jawabannyaadalahperceraian/talak tidak sah jika diputuskan dalam keadaan
emosi.
3. Menurut pemikiran saya, semua yang saya putuskan ini
adalah keinginan dari isteri yang setiap ada masalah yang tidak bisa
terpecahkan selalu meminta "pisah." Maka saya berikan talak.
Sehubungan dengan pendapat para ustadz (no. 2) adakah
manusia yang berumah tangga dalam keadaan menyelesaikan suatu masalah yang
tanpa didasari oleh emosi tiba-tiba meminta cerai atau menjatuhkan talak? Siapa
yang mau berbuat begitu?
4. Sampai saat ini isteri saya tetap sependapat dengan para
ustadz yang ia tanyakan, tetapi saya bersikukuh untuk tetap bercerai, karena
saya tidak menginginkan adanya perzinahan di dalam ke luarga mengingat tanggung
jawab yang harus saya pikul kelak sangat berat.
Saya mohon penjelasan dari ustdz atas masalah yang sedang
saya hadapi saat ini. Terima kasih,
Wassalamu 'alaikumWr Wb.
Joy
Joy
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga
kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu suci, dan tidak
disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga habis iddah.
Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka dia boleh
merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis iddah, dia
masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi. Dan kalau
dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut
diperkenankan kawin dengan orang lain.
Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah
talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya
talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi
berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti
yang kami sebutkan di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru
(karena masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis iddah).
Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga
kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara keduanya
itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin.
Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak
lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan orang lain
secara syar`i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang
pertama tadi.
Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga dengan
satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan Islam
yang lurus.
Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika
Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai
isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil
bersabda:
`Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada
di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia
berkata: Ya Rasulullah! Apakah tidak saya bunuh saja orang itu!` (Riwayat
Nasa`i)
1. Hukum Talak Tiga
Kami belum mengatakan bahwa apa yang terjadi antara anda dan
isteri anda adalah talak tiga, karena cerita anda belum terlalu jelas. Bahkan
dalam beberapa kasus, para ulama sendiri masih beda pendapat tentang batasan
talak tiga.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
talak tiga adalah tiga kali mentalak isteri dengan diselingi jeda waktu. Bukan
menjatuhkan talak sekaligus tiga.
Sebagai ilustrasi, bila anda mentalak isteri anda untuk
pertama kalinya, maka jatuhlah talak satu. Ada dua kemungkinan saat itu, rujuk
sebelum jatuh tempo atau terus cerai. Bila anda rujuk sebelum jatuh tempo, maka
hubungan suami isteri terikat kembali begitu saja, tidak harus dengan nikah
dari awal. Tapi persediaan talak anda berdua tinggal dua kali lagi.
Kalau anda tidak segera rujuk dengannya, lalu terkena jatuh
tempo, yaitu 3 kali masa suci dari haidh isteri anda, maka segera seusai jatuh
tempo itu, anda berdua sudah bukan suami isteri yang sah. Namun masih dimungkin
untuk menikah ulang lagi, dengan catatan persediaan talak di antara anda berdua
sudah berkurang satu dari tiga yang ada, jadi sekarang tersisa tinggal dua.
Kedua cara di atas masih dalam batas area talak satu. Lalu
bagaimana dengan talak dua?
Talak dua baru terjadi setelah anda rujuk, baik sebelum
jatuh tempo atau pun sesudahnya, lalu perceraian terjadi lagi. Maka sisa talak
yang anda miliki berkurang satu lagi, setelah sebelumnya sudah berkurang satu.
Jadi sisa jatah talak untuk anda berdua saat ini tinggal satu. Tetapi anda
berdua tetap masih bisa rujuk lagi, baik secara langsung sebelum jatuh tempo
atau pun secara tidak langsung, yaitu setelah jatuh tempo dengan nikah yang baru.
Apabila setelah rujuk yang kedua kalinya itu, ternyata
terjadi lagi perceraian, di mana anda menjatuhkan talak untuk yang ketiga
kalinya dalam sejarah hubungan suami isteri antara anda berdua, saat itulah
anda melakukan talak tiga.
Jadi talak tiga adalah talak untuk yang ketiga kalinya,
setelah diselingi dengan dua kali rujuk, langsung atau dengan jeda.
***
Nah, membaca sekilas cerita anda, kami belum mendapat
informasi yang pasti tentang status talak anda. Apakah termasuk talak satu atau
sudah talak tiga.
Tetapi di luar kasus anda, seandainya ada kasus cerai dengan
status talak tiga, maka hukumnya adalah talak yang tidak bisa kembali lagi
selamanya. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan talak ba'in. Lawannya
adalah talak raj'i.
Talak ba'in mengakibatkan keharaman untuk rujuk
selama-lamanya antara pasangan suami isteri. Dengan sebuah pengecualian yang
teramat mustahil, meski masih ada celah kecil kemungkinan. Yaitu dengan cara
mantan isteri menikah dengan laki-laki lain, dengan niat untuk membentuk rumah
tangga selama-lamanya. Kalau niatnya hanya sekedar untuk menyeling (muhallil),
maksudnya setelah nikah akan segera cerai untuk kembali lagi kepada suami
pertama, maka hukumnya haram.
2. Talak Dalam Keadaan Marah
Memang benar bahwa talak dalam keadaan marah tidak sah.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, kapankah ada talak yang dijatuhkan tanpa
kemarahan?
Boleh dibilang, nyaris hampir semua kasus penjatuhan talak
dilakukan dalam suasana emosi, marah, tidak terkontrol dan seterusnya. Jarang
sekali kita temukan kasus terjadinya talak dilakukan dengan riang gembira
antara kedua belah pihak.
Maka tidak semua marah dan emosi itu membatalkan talak.
Hanya jenis marah tertentu saja yang membuat talak yang dijatuhkan tidak
berlaku.
Memang ada hadits yang menyebutkan tidak bahwa lafaz itu
tidak bisa menjatuhkan thalaq.
“Dari Asiyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak syah
talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah”. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu
Daud, Hakim).
Hadits ini meski dikeritik sebagian orang bahwa di dalamnya
ada rawi yang tidak kuat, namun umumnya para muhaddits menshahihkannya. Dan
hadits ini menurut hakim termasuk hadits shahih menurut syarat Muslim.
Imam Al-Bukhari telah menuliskan dalam kitab shahihnya
sebuah bab yang berjudul: “Bab Talak Pada Waktu Ighlak (marah), terpaksa, mabuk
dan gila”. Lalu beliau membedakan antara talak pada waktu ighlak (marah) dengan
bentuk-bentuk lainnya.
Imam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim cenderung menjadikan
tolok ukur jatuh tidaknya talak dari sengaja atau tidaknya. Siapa yang tidak
bertujuan atau tidak berniat untuk mentalak serta tidak mengerti apa yang
diucapkannya, maka dia dalam kondisi ighlaq (marah), yang berarti talaknya
tidak jatuh.
Para ulama membedakan marah itu menjadi tiga macam:
Marah yang menghilangkan akal hingga batas seseorang tidak
ingat lagi apa yang diucapkannya. Dalam kasus seperti ini maka bila dia
melafazkan kata talak kepada isterinya, tidak jatuh talaknya.
Marah yangseseorang masih bisamengetahui apa yang
diucapkannya. Dalam kasus ini maka bila dia melafazkan talak, jatuhlah talak
itu.
Marah yang ada di antara keduanya yaitu antara sebagian
akalnya hilang dan sebagian masih ada. Sehingga begitu marahnya mereda, bisa
jadi dia merasa menyesal atas apa yang tadi dilakukan. Marah yang jenis ini
adalah menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Syeikh As-Sayyid
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah cenderung mengatakan bahwa bila dia melafazkan talak
maka talaknya tidak jatuh.
3. Pandangan Kami tentang Perceraian Anda
Sebenarnya masalah urusan rumah tangga anda adalah urusan
anda pribadi. Selama masih bisa diselesaikan secara internal, silahkan lakukan.
Sebisa mungkin jangan libatkan orang lain.
Tapi karena anda secara khusus meminta pandangan dari kami,
sekedar jadi bahan renungan, tidak ada salahnya anda merenungkannya sejenak.
Siapa tahu dengan sedikit berpikir dan merenung, anda punya pertimbangan baru.
Toh, jadi atau tidaknya perceraian anda, semua terletak di tangan anda sendiri.
Dan tentu saja, semua resikonya juga tanggungan anda.
Pertengkaran Adalah Hal Yang Lumrah Terjadi Setiap pasangan
suami isteri di dunia ini pastilah mengalami pertengkaran atau konflik. Bahkan
meski rumah tangga seorang nabi sekalipun. Kalau penyebabnya bukan dari pihak
suami, mungkin saja dari pihak isteri. Atau mungkin juga datang dari pihak
luar.
Selain perbedaan pendapat, mungkin saja pertengkaran
disebabkan karena kekhilafan yang sangat manusiawi. Jalan ke luar dari khilaf
apabila dilakukan oleh seorang isteri bukan talak, paling tidak, talak itu bukan
alternatif yang harus dipilih pertama kali. Talak harus ditempatkan pada posisi
paling akhir dalam setiap alternatif jalan ke luar dari setiap persengketaan
rumah tangga.
Sebelum wacana tentang talak boleh digelar, ada kewajiban
untuk melewati tahap-tahap sebelumnya, seperti nasehat, hukuman baik dalam
bentuk pisah ranjang atau pun pukulan yang tidak menyakitkan. Termasuk meminta
bantuan pihak ketiga untuk ikut menyelesaikan konflik antara keduanya. Bila
semua alternatif tadi kandas karena masalahnya memang sulit dipecahkan, barulah
boleh digelar wacana terakhir yang berfungsi sebagai katup penyelamat, yaitu
talak.
a. Nasehat Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada
tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha
mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik,
nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.
b.Pisah Ranjang Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka
boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar insting
kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan
radar dan kejernihan akan kembali.
c. Pukulan Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba
untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan
muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada
saat-saat tertentu.
Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk
atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari
apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan
pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut:
`Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari
kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini.` (Riwayat Ibnu Saad dalam
Thabaqat)
Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka
memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:
`Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya
seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di
hari lain?!` (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)
Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah
s.a.w. mengatakan:
`Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di
antara kamu.` (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud
dan Nasa`i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin
Abdillah bin Abi Dzubab).
Ibnu Hajar berkata: `Dalam sabda Nabi yang mengatakan:
orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa
secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika
suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat.
Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup
dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab
terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan
dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan
berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada
Allah.
Imam Nasa`i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a`
sebagai berikut:
`Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun
khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan
tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena
larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.`
d. Libatkan Pihak Ketiga (hakim)
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan
akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat
Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan
mengutus seorang hakim dari ke luarga laki-laki dan seorang hakim dari ke
luarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang
baik demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga
Allah memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.
Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam
al-Quran sebagai berikut:
`Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan
kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur,
dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari
jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha
Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka
berdua, maka utuslah hakim dari ke luarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari
ke luarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan
memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha
Mengetahui.` (an-Nisa`: 34-35)
e. Perceraian Adalah Pilihan Terakhir
Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh usaha
dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir
yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan
menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak
dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi
membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan
Nabi sendiri mengatakan:
`Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq.`
(Riwayat Abu Daud)
`Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat
membencinya, melainkan talaq.` (Riwayat Abu Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu
pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena
darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara
suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi
ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan.
Dalam satu pepatah dikatakan: `kalau tidak ada kecocokan, ya
perpisahan.` Tetapi firman Allah mengatakan:
`Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka
Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya.` (QS.
An-Nisa`: 130)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment