Tuesday 9 April 2013

Isteri Meminta Cerai Pergi Tanpa Ijin Suami


Rabu, 31 Jan 07 05:36 WIB


Kirim Pertanyaan | Kirim teman

Assalamu 'alaikumWr. Wb.

Pa Ustdz Yth,

Beberapa puluh tahun yang lalu (1988), kami mengalami percekcokan suami isteri, tidak mencapai kata sepakat. Tiba-tiba isteriberkata, "Memang kita tidak cocok, kita pisah aja." Setelah kejadian itu saya mengingatkan bahwa saya sangat pantang untuk mengatakan kata "pisah." Dan jika mencari orang yang benar-benar cocok dengan diri kita, sampai ke ujung dunia pun kita tidak akan ketemu, karena cocok itu adalah "rasa."

Selang beberapa tahun kata-kata itu terucap lagi dan saya masih mengingatkan. Selang beberapa tahun kemudian kata iru terucap dan terucap lagi, sampai isteri saya menantang dengan senyum sinis berkata "Kita mau cerai? Kapan? Besok?"

Akhirnya saya tidak dapat membendung hati saya, mungkin memang ini adalah keinginan isteri untuk pisah, maka jatuhlah talak yang ke 1, 2 & 3 dari selang waktu kejadian tersebut di atas.

Dan pernah pada kejadian tersebut di atas isteri saya pergi dari rumah walau saya sudah melarangnya dan mengingatkan akan keberadaan anak-anak.

Yang ingin saya tanyakan,

1. Jika talak 3 sudah jatuh, masih bisakah kamirujuk lagi dengan hanya menerima/memaafkan isteri?

2. Isteri saya telah menanyakan hal ini kpd ustadz-ustdz lain, jawabannyaadalahperceraian/talak tidak sah jika diputuskan dalam keadaan emosi.

3. Menurut pemikiran saya, semua yang saya putuskan ini adalah keinginan dari isteri yang setiap ada masalah yang tidak bisa terpecahkan selalu meminta "pisah." Maka saya berikan talak.

Sehubungan dengan pendapat para ustadz (no. 2) adakah manusia yang berumah tangga dalam keadaan menyelesaikan suatu masalah yang tanpa didasari oleh emosi tiba-tiba meminta cerai atau menjatuhkan talak? Siapa yang mau berbuat begitu?

4. Sampai saat ini isteri saya tetap sependapat dengan para ustadz yang ia tanyakan, tetapi saya bersikukuh untuk tetap bercerai, karena saya tidak menginginkan adanya perzinahan di dalam ke luarga mengingat tanggung jawab yang harus saya pikul kelak sangat berat.

Saya mohon penjelasan dari ustdz atas masalah yang sedang saya hadapi saat ini. Terima kasih,

Wassalamu 'alaikumWr Wb.

Joy

Joy
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu suci, dan tidak disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga habis iddah. Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka dia boleh merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis iddah, dia masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi. Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut diperkenankan kawin dengan orang lain.

Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (karena masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis iddah).

Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin. Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan orang lain secara syar`i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang pertama tadi.

Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan Islam yang lurus.

Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil bersabda:

`Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata: Ya Rasulullah! Apakah tidak saya bunuh saja orang itu!` (Riwayat Nasa`i)

1. Hukum Talak Tiga

Kami belum mengatakan bahwa apa yang terjadi antara anda dan isteri anda adalah talak tiga, karena cerita anda belum terlalu jelas. Bahkan dalam beberapa kasus, para ulama sendiri masih beda pendapat tentang batasan talak tiga.

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan talak tiga adalah tiga kali mentalak isteri dengan diselingi jeda waktu. Bukan menjatuhkan talak sekaligus tiga.

Sebagai ilustrasi, bila anda mentalak isteri anda untuk pertama kalinya, maka jatuhlah talak satu. Ada dua kemungkinan saat itu, rujuk sebelum jatuh tempo atau terus cerai. Bila anda rujuk sebelum jatuh tempo, maka hubungan suami isteri terikat kembali begitu saja, tidak harus dengan nikah dari awal. Tapi persediaan talak anda berdua tinggal dua kali lagi.

Kalau anda tidak segera rujuk dengannya, lalu terkena jatuh tempo, yaitu 3 kali masa suci dari haidh isteri anda, maka segera seusai jatuh tempo itu, anda berdua sudah bukan suami isteri yang sah. Namun masih dimungkin untuk menikah ulang lagi, dengan catatan persediaan talak di antara anda berdua sudah berkurang satu dari tiga yang ada, jadi sekarang tersisa tinggal dua.

Kedua cara di atas masih dalam batas area talak satu. Lalu bagaimana dengan talak dua?

Talak dua baru terjadi setelah anda rujuk, baik sebelum jatuh tempo atau pun sesudahnya, lalu perceraian terjadi lagi. Maka sisa talak yang anda miliki berkurang satu lagi, setelah sebelumnya sudah berkurang satu. Jadi sisa jatah talak untuk anda berdua saat ini tinggal satu. Tetapi anda berdua tetap masih bisa rujuk lagi, baik secara langsung sebelum jatuh tempo atau pun secara tidak langsung, yaitu setelah jatuh tempo dengan nikah yang baru.

Apabila setelah rujuk yang kedua kalinya itu, ternyata terjadi lagi perceraian, di mana anda menjatuhkan talak untuk yang ketiga kalinya dalam sejarah hubungan suami isteri antara anda berdua, saat itulah anda melakukan talak tiga.

Jadi talak tiga adalah talak untuk yang ketiga kalinya, setelah diselingi dengan dua kali rujuk, langsung atau dengan jeda.

***

Nah, membaca sekilas cerita anda, kami belum mendapat informasi yang pasti tentang status talak anda. Apakah termasuk talak satu atau sudah talak tiga.

Tetapi di luar kasus anda, seandainya ada kasus cerai dengan status talak tiga, maka hukumnya adalah talak yang tidak bisa kembali lagi selamanya. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan talak ba'in. Lawannya adalah talak raj'i.

Talak ba'in mengakibatkan keharaman untuk rujuk selama-lamanya antara pasangan suami isteri. Dengan sebuah pengecualian yang teramat mustahil, meski masih ada celah kecil kemungkinan. Yaitu dengan cara mantan isteri menikah dengan laki-laki lain, dengan niat untuk membentuk rumah tangga selama-lamanya. Kalau niatnya hanya sekedar untuk menyeling (muhallil), maksudnya setelah nikah akan segera cerai untuk kembali lagi kepada suami pertama, maka hukumnya haram.

2. Talak Dalam Keadaan Marah

Memang benar bahwa talak dalam keadaan marah tidak sah. Tetapi yang menjadi pertanyaan, kapankah ada talak yang dijatuhkan tanpa kemarahan?

Boleh dibilang, nyaris hampir semua kasus penjatuhan talak dilakukan dalam suasana emosi, marah, tidak terkontrol dan seterusnya. Jarang sekali kita temukan kasus terjadinya talak dilakukan dengan riang gembira antara kedua belah pihak.

Maka tidak semua marah dan emosi itu membatalkan talak. Hanya jenis marah tertentu saja yang membuat talak yang dijatuhkan tidak berlaku.

Memang ada hadits yang menyebutkan tidak bahwa lafaz itu tidak bisa menjatuhkan thalaq.

“Dari Asiyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak syah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah”. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, Hakim).

Hadits ini meski dikeritik sebagian orang bahwa di dalamnya ada rawi yang tidak kuat, namun umumnya para muhaddits menshahihkannya. Dan hadits ini menurut hakim termasuk hadits shahih menurut syarat Muslim.

Imam Al-Bukhari telah menuliskan dalam kitab shahihnya sebuah bab yang berjudul: “Bab Talak Pada Waktu Ighlak (marah), terpaksa, mabuk dan gila”. Lalu beliau membedakan antara talak pada waktu ighlak (marah) dengan bentuk-bentuk lainnya.

Imam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim cenderung menjadikan tolok ukur jatuh tidaknya talak dari sengaja atau tidaknya. Siapa yang tidak bertujuan atau tidak berniat untuk mentalak serta tidak mengerti apa yang diucapkannya, maka dia dalam kondisi ighlaq (marah), yang berarti talaknya tidak jatuh.

Para ulama membedakan marah itu menjadi tiga macam:
Marah yang menghilangkan akal hingga batas seseorang tidak ingat lagi apa yang diucapkannya. Dalam kasus seperti ini maka bila dia melafazkan kata talak kepada isterinya, tidak jatuh talaknya.
Marah yangseseorang masih bisamengetahui apa yang diucapkannya. Dalam kasus ini maka bila dia melafazkan talak, jatuhlah talak itu.
Marah yang ada di antara keduanya yaitu antara sebagian akalnya hilang dan sebagian masih ada. Sehingga begitu marahnya mereda, bisa jadi dia merasa menyesal atas apa yang tadi dilakukan. Marah yang jenis ini adalah menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Syeikh As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah cenderung mengatakan bahwa bila dia melafazkan talak maka talaknya tidak jatuh.

3. Pandangan Kami tentang Perceraian Anda

Sebenarnya masalah urusan rumah tangga anda adalah urusan anda pribadi. Selama masih bisa diselesaikan secara internal, silahkan lakukan. Sebisa mungkin jangan libatkan orang lain.

Tapi karena anda secara khusus meminta pandangan dari kami, sekedar jadi bahan renungan, tidak ada salahnya anda merenungkannya sejenak. Siapa tahu dengan sedikit berpikir dan merenung, anda punya pertimbangan baru. Toh, jadi atau tidaknya perceraian anda, semua terletak di tangan anda sendiri. Dan tentu saja, semua resikonya juga tanggungan anda.

Pertengkaran Adalah Hal Yang Lumrah Terjadi Setiap pasangan suami isteri di dunia ini pastilah mengalami pertengkaran atau konflik. Bahkan meski rumah tangga seorang nabi sekalipun. Kalau penyebabnya bukan dari pihak suami, mungkin saja dari pihak isteri. Atau mungkin juga datang dari pihak luar.

Selain perbedaan pendapat, mungkin saja pertengkaran disebabkan karena kekhilafan yang sangat manusiawi. Jalan ke luar dari khilaf apabila dilakukan oleh seorang isteri bukan talak, paling tidak, talak itu bukan alternatif yang harus dipilih pertama kali. Talak harus ditempatkan pada posisi paling akhir dalam setiap alternatif jalan ke luar dari setiap persengketaan rumah tangga.

Sebelum wacana tentang talak boleh digelar, ada kewajiban untuk melewati tahap-tahap sebelumnya, seperti nasehat, hukuman baik dalam bentuk pisah ranjang atau pun pukulan yang tidak menyakitkan. Termasuk meminta bantuan pihak ketiga untuk ikut menyelesaikan konflik antara keduanya. Bila semua alternatif tadi kandas karena masalahnya memang sulit dipecahkan, barulah boleh digelar wacana terakhir yang berfungsi sebagai katup penyelamat, yaitu talak.

a. Nasehat Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.

b.Pisah Ranjang Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar insting kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.

c. Pukulan Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu.

Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut:

`Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini.` (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)

Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:

`Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari lain?!` (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)

Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:

`Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di antara kamu.` (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa`i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab).

Ibnu Hajar berkata: `Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.

Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.

Imam Nasa`i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a` sebagai berikut:

`Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.`
d. Libatkan Pihak Ketiga (hakim)
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang hakim dari ke luarga laki-laki dan seorang hakim dari ke luarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.

Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:

`Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari ke luarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari ke luarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.` (an-Nisa`: 34-35)

e. Perceraian Adalah Pilihan Terakhir

Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq.

Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:

`Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq.` (Riwayat Abu Daud)

`Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq.` (Riwayat Abu Daud)

Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan.

Dalam satu pepatah dikatakan: `kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan.` Tetapi firman Allah mengatakan:

`Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya.` (QS. An-Nisa`: 130)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment