Rabu,
14 Mei 08 08:33 WIB
Assalamu Alaikum ustadz.
Saya pernah berhubungan dengan isteri saya, ketika itu isteri
saya baru saja haid. Katanya sudah bersih, tapi belum mandi wajib.Apakah saya
berdosa pak? Ataukah diperbolehkan.Tolong penjelasannya.
Wasalamu alaikum
Supra
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di dalam ayat Al-Quran, disebutkan bahwa wanita yang sedang
mengalami haidh memang harus dihindari. Maksudnya bukan dikucilkan atau
diasingkan, tetapi maksudnya adalah haram digauli secara seksual (jima').
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh
itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. (QS. Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud tidak boleh mendekati mereka bukan mengucilkan
dari pergaulan, juga bukan membuang mereka, atau tidak berbicara dengan mereka.
Tetapi yang haram hanyalah melakukan hubungan seksual.
Sedangkan bercumbu, berduaan, bermesraan dan seterusnya, selama
bukan pada farjinya, tetap dibolehkan hukumnya. Sebagaimana disebutkan di dalam
hadits berikut ini:
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Anas ra bahwa Orang yahudi bisa para wanita mereka mendapat
haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda, "Lakukan segala
yang kau mau kecuali hubungan badan." (HR Muslim)`.
Selain itu juga ada kisah Aisyah radhiyallahu 'anha yang
dicumbui oleh Rasulullah SAW, padahal beliau sedang dalam kondisi haidh.
وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyah radyiallahu 'anha berkata, "Rasulullah SAW
memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku dalam
keadaan datang haidh." (HR Muslim)
Maka kesimpulannya, asalkan bukan jima' maka memesrai isteri
yang sedang dalam keadaan haidh tidak mengapa.
Kebolehan Jima' Sesudah Suci
Lalu sampai kapankah larangan untuk berjima' dengan isteri yang
haidh? Apakah sampai berhenti darahnya? Ataukah harus sudah mandi janabah dulu?
Jawabannya ada dalam ayat yang sama. Kalau kita perhatikanLanjutan ayat itu adalah:
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِي
Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.(QS. Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud dengan 'suci' di dalam ayat
ini bukan berhentinya darah mengalir keluar. Namun yang dimaksud dengan 'suci'
adalah melakukan mandi janabah. Kata suci di dalam ayat itu menggunakan kata
kerja, sehingga maknanya bukan suci, tetapi melakukan ritual pensucian.
Kata tathahharna adalah fi'il madhi,
yang artinya bersuci. Bentuknya adalah mandi janabah secara syar'i. Jadi yang
benar artinya adalah: apabila para wanita yang mendapat haidh itu telah
mandi janabah, maka campurilah mereka.
Kaffarat Menyetubuhi Wanita Haidh
Bila seorang wanita sedang haid disetubuhi
oleh suaminya maka ada hukuman baginya menurut al-Hanabilah. Besarnya
adalah satu dinar atau setengah dinar dan terserah memilih yang mana. Ini
sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut:
وَعَن ابنِ عَبَّاسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، قَالَ: يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ أَوْ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ، رَوَاهُ الخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ الحَاكِمُ وَابْنُ القَطَّانِ، وَرَجَّح غَيرُهُمَا وَقْفَهُ
`Dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW
bersabda tentang orang yang menyetubuhi isterinya dalam keadaan haidh: `Orang
yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau
setengah dinar` (HR Khamsah dan
dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Al-Qaththan)
As Syafi`iyah memandang bahwa bila terjadi kasus seperti itu tidaklah
didenda dengan kafarat, melainkan hanya disunnahkan saja untuk bersedekah. Satu
dinar bila melakukannya diawal haid, dan setengah dinar bila diakhir haid.
Namun umumnya para ulama seperti
al-Malikiyah, as Syafi`iyah dalam pendapatnya yang terbaru tidak mewajibkan
denda kafarat bagi pelakunya cukup baginya untuk beristigfar dan bertaubat.
Sebab hadis yang menyebutkan kafarat itu hadis yang mudah tharib sebagaimana
yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam Nailul Authar jilid 1 halaman
278.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
No comments:
Post a Comment