Tuesday 9 April 2013

Isteri yang Meminta Khulu' (cerai), Tergolong Munafik?


www.eramuslim.com

Senin, 03/05/2010 12:45 WIB | email | print | share
Semakin hari semakin tinggi tingkat perceraian di Indonesia. Jumlah angka perceraian yang terdata di Pengadilan Agama, bagai angka deret ukur. Semakin modern kehidupan dalam konotasi sekuler angka perceraian dalam keluarga, terus bertambah dengan drastis. Sekarang, justru menjadi sebuah kecenderungan baru, di mana isteri meminta cerai dari suaminya alias khulu’.
Misalnya, ada seorang isteri yang tiba-tiba meminta cerai suaminya, sesudah menikah selama lima belas tahun, dan dikaruniai empat orang anak. Bahkan ada seorang wanita yang meminta cerai kepada suaminya, padahal keduanya sudah menikah hampir dua puluh tahun lebih, dan dikaruniai enam orang anak. Tanpa sebab yang jelas.
Ada karena meminta khulu’ n itu justeru saat suaminya, terkena PHK, yang sebelumnya menjadi seorang menejer, dan gajinya puluhan juta rupiah. “Entahlah aku tiba-tiba kehilangan feeling terhadap suamiku. Jika aku berhubungan badan dengan suamiku menjadi sangat takut, seperti mau diperkosa”, ucap wanita itu. Tetapi, ada pula suaminya tetap memiliki penghasilan, dan menjadi pimpinan sebuah perusahaan, tetapi hanya berkurangnya intensitas komunikasi, kemudian isterinya meminta khulu’.
Betapa banyak sekarang ini wanita-wanita yang tiba-tiba kehilangan ‘feeling’ terhadap suaminya, dan merasa tidak ‘in’ lagi, dingin, dan serta-merta meminta cerai, tanpa mempertimbangkan anak-anak mereka. Padahal, sebelumnya mereka merupakan pasangan yang kelihatan serasi dan harmonis. Justru bertindak diluar dugaan, isterinya yang mula-mula hormat, mencintai, dan tulus, tiba-tiba meminta khulu’ terhadap suaminya.
Kehidupan keluarga dan rumah tangga, dikalangan masyarakat modern, terutama di perkotaan, cenderungan mengalami anomali dari sisi hubungan suami-isteri. Intensitas hubungan yang kurang, dan kadang-kadang hanya melalui dunia maya, atau handphone menyebabkan mereka menjadi sangat rentan dan melakukan tindakan yang sifatnya emonsional, dan tanpa mempertimbangkan akibat-akibatn ya. Terutama bagi masa depan anak-anak mereka. Mereka dengan sangat mudah minta khulu’ kepada suaminya.
Adanya ketidak kepercayaan ‘distrust’ dikalangan wanita terhadap suaminya terus-menerus meningkat, sekalipun angka-angkanya jumlahnya belum dapat dipastikan. Wanita yang kelihatan mencintai suaminya, diekpresikan dengan ungkapan dan lantunan kata yang indah, serta terkadang membuat haru, tapi ujungnya wanita itu melakukan selingkuh dengan laki-laki lain. Meninggalkan suaminya. Padahal, suaminya tidak kurang suatu apa, sehat secara pisik, dan memiliki penampilan yang memadai, kecerdasan, dan penghasilan. Inilah tragedi masyarakat modern.
Apalagi wanita-wanita yang telah memiliki penghasilan sendiri, dan merasa lebih tinggi, sulit untuk dapat menghormati suaminya, dan memberikan penghargaan suaminya dengan tulus. Justru yang sering terjadi meremehkan, bahkan tidak jarang-jarang membanding-bandingkan suaminya dengan laki-laki lainnya, yang menjadi temannya.
Wanita-wanita yang seperti ini, menurut Tsauban RA, mengatakan bahwa Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam, bersabda, “Para wanita yang menuntut cerai adalah para wanita munafik” . (HR.Tirmidzi). Namun, yang dimaksud dengan munafik itu, menurut As-Sundi, dalam ‘Ala Musnad, dalam hadist tersebut adalah munafik amali,bukanlah munafik I’tiqadi (keyakinan). Perbuatan seperti itu tidak layak dilakukan oleh seorang wanita mukminah dan hanya dilakukan oleh para wanita munafiqah.
Sekalipun perbuatan meminta khulu’ itu tergolong sebagai keputusan yang dibolehkan, jika benar-benar sudah tidak ada lagi solusi, yang memadai ketika seorang isteri merasa di zalimi suaminya, atau dirugikan dalam berbagai segi oleh suaminya.
Meskipun, tindakan khulu’ itu tergolong perbuatan munafik amali bukan I’tiqadi, tetapi sudah termasuk penyimpangan,yang dilarang. Mereka yang melakukan khulu’ itu bagaikan orang-orang yang berduyun-duyun, keluar mengais perniagaan yang tidak laku di kedalamannya samudera. Mereka berlayar dengan perahu syubhat dan keraguan-raguan, gelombang khayalan pun berlayar membawa mereka. Mereka dipermainkan oleh ombak dan badai, kemudian terdampar di pantai kehinaan.
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Perumpaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. (Al-Baqarah : 16-20).
Sifat nifaq selalu muncul dari dalam diri manusia, yang menginginkan kehidupan dunia, tanpa memperhatikan kehidupan di akhirat kelak. Mereka mengejar fata murgana, mengejar kehidupan dunia, yang menyesatkan diri mereka. Tinggalkan semua yang menyebabkan jatuhnya diri ke dalam perbuatan yang dapat menimbulkan murkanya Allah. Khulu’ tanpa alasan adalah tergolong perbuatan nifaq amali’, yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam nifaq I’tiqadi. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment