13 Jul 08 16:36 WIB
Oleh Ihsan Tandjung
Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengkondisikan ummatnya untuk menghayati betapa hari
Kiamat telah dekat. Sehingga dalam suatu khutbah beliau digambarkan ibarat
seorang komandan perang yang memperingatkan pasukannya agar selalu dalam
keadaan full alert alias waspada siaga satu. Pengkondisian ini membuahkan hasil
nyata. Di antaranya pernah diriwayatkan ada seorang sahabat keluar rumahnya
pada suatu hari lalu melihat ke arah ufuk dan mendapati di kejauhan terlihat
ada asap. Beliau segera bergegas mengetuk rumah-rumah para sahabat lainnya
seraya berteriak lantang:
الدخان الدخان
“Asap…
Asap…!”
Sahabat tersebut rupanya teringat penjelasan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengenai tanda-tanda besar menjelang datangnya kiamat dan salah satunya bilamana telah muncul asap. Subhaanallah..! Bayangkan, limabelas abad yang lalu para sahabat begitu kuat menghayati sudah dekatnya peristiwa kiamat. Bagaimana lagi sepatutnya kita yang hidup di zaman ini? Tidakkah kita selayaknya lebih serius menghayati sudah dekatnya kiamat? Bukankah tanda-tanda akhir zaman alias dekatnya kiamat sudah lebih banyak lagi yang kita saksikan muncul dewasa ini? Bukankah berputarnya waktu membuat jarak kita semakin dekat dengan peristiwa dahsyat kiamat?
Sahabat tersebut rupanya teringat penjelasan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengenai tanda-tanda besar menjelang datangnya kiamat dan salah satunya bilamana telah muncul asap. Subhaanallah..! Bayangkan, limabelas abad yang lalu para sahabat begitu kuat menghayati sudah dekatnya peristiwa kiamat. Bagaimana lagi sepatutnya kita yang hidup di zaman ini? Tidakkah kita selayaknya lebih serius menghayati sudah dekatnya kiamat? Bukankah tanda-tanda akhir zaman alias dekatnya kiamat sudah lebih banyak lagi yang kita saksikan muncul dewasa ini? Bukankah berputarnya waktu membuat jarak kita semakin dekat dengan peristiwa dahsyat kiamat?
Memang, para sahabat radhiyallahu
’anhum merupakan generasi teladan. Pantaslah bila Allah subhaanahu wa ta’aala mentaqdirkan mereka menjadi
pendamping setia Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam sejak awal perjuangan beliau hingga hijrah dari Makkah ke
Madinah. Mereka merupakan didikan Nabi shollallahu
’alaih wa sallam yang sungguh berada di baris terdepan dalam menjalankan
pesan-pesan Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam. Di dalam mensikapi hari kiamat mereka benar-benar sempurna.
Apabila mereka menghadiri majelis Nabi shollallahu
’alaih wa sallam kemudian dijelaskan mengenai kehidupan akhirat beserta gambaran
surga dan neraka mereka segera menangis. Sehingga majelis mereka sering
dijuluki sebagai:
مجلس البكاء
”Majelis tangisan”
Para sahabat radhiyallahu ’anhum sangat mudah tersentuh hati bila diingatkan mengenai kematian. Baik itu menyangkut kematian manusia yang disebut kiamat kecil maupun kematian alam fana dunia ini alias kiamat besar. Mereka sangat menghayati pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang menganjurkan seorang muslim agar banyak mengingat kematian.
Para sahabat radhiyallahu ’anhum sangat mudah tersentuh hati bila diingatkan mengenai kematian. Baik itu menyangkut kematian manusia yang disebut kiamat kecil maupun kematian alam fana dunia ini alias kiamat besar. Mereka sangat menghayati pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang menganjurkan seorang muslim agar banyak mengingat kematian.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
Dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu ia berkata Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Perbanyaklah mengingat saat dihancurkannya kelezatan (dunia), yakni kematian.”
(HR Tirmidzi 8/279)
Kehidupan di dunia sedemikian tidak berartinya sehingga para
sahabat radhiyallahu ’anhum
mengembangkan ungkapan-ungkapan yang mencerminkan penghayatan mereka akan dzikrul-maut (banyak mengingat kematian).
Di antaranya sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
’anhu terkenal dengan ucapannya: ”Bila manusia meninggal dunia maka ia terbangun (dari tidurnya)”.
Begitu pula sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
’anhu dengan ucapan beliau:
اجعل الدنيا في أيديكم ولا تجعل الدنيا في قلوبكم
“Jadikanlah dunia (sebatas)
di dalam genggaman tanganmu dan jangan jadikan dunia di dalam hatimu.”
Semua ungkapan di atas tentunya mencerminkan kecerdasan hakiki
yang dimiliki oleh generasi terbaik ummat ini yakni para sahabat radhiyallahu ’anhum. Mereka benar-benar ter-shibghah (kena celupan) sabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang paling cerdas
ialah barangsiapa yang menghitung-hitung/evaluasi/introspeksi (‘amal-perbuatan)
dirinya dan ber’amal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR At-Tirmidzi 8/499)
Banyak orang memiliki persepsi keliru mengenai kematian begitu
pula mengenai kiamat. Mereka sangka bila seseorang sering mengingat kematian
atau kiamat maka hal ini akan menjadikan dirinya kontra-produktif dan pasif
tidak berbuat apapun kecuali duduk di masjid berdzikir menanti datangnya
kematian atau kiamat. Padahal para sahabat radhiyallahu
’anhum merupakan orang-orang yang paling hebat dzikrul-mautnya serta
paling hebat mempersiapkan diri menghadapi hari kiamat, namun mereka tidak
tertandingi dalam hal beribadah, disiplin sholat berjamaah lima waktu di
masjid, sholat malam, berdzikir, berinfaq, berbuat aneka kebaikan bahkan
berjihad fi sabilillah.
Sementara kebanyakan manusia di zaman penuh fitnah ini sudahlah
mereka sangat lemah dalam mengingat kematian serta mewaspadai tanda-tanda akhir
zaman, kemudian tidak juga berarti mereka menjadi orang-orang yang rajin
beribadah, melakukan berbagai jenis amal sholeh apalagi berfikir serta terlibat
dalam aktifitas penuh resiko yakni al-jihad
fi sabilillah, bahkan sekurangnya berinfaq untuk perjuangan para mujahidin.
Para
sahabat tidak memiliki dikotomi apapun dalam berIslam. Ingatan mereka akan kiamat kecil tidak mengurangi ingatan mereka akan kiamat besar. Sebab masing-masing ingatan tersebut sama-sama
membangkitkan semangat beramal, beribadah, berda’wah dan berjihad mereka.
Begitu pulalah semestinya kita yang hidup di zaman paling kelam dalam sejarah
Islam ini. Sudah selayaknya ingatan kita akan kematian (kiamat kecil) -yang
bisa datang menjemput diri secara tiba-tiba- sama besarnya sebagai motivator
kita beramal, beribadah, berda’wah dan berjihad sebagaimana kesadaran kita akan
kiamat besar yang kian hari kian dekat kedatangannya.
اللهم إني أعوذبك بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ
الْقَبْرِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Ya
Allah, aku berlindung kepada Engkau dari azab jahannam, azab kubur, fitnah
kehidupan dan kematian serta jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR
Muslim 923)
No comments:
Post a Comment