www.eramuslim.com
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Sigit yang dirahmati
Allah,Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup mengganjal saya.
Yang pertama adalah mengenai takdir.
Menurut buku yang saya baca takdir adalah “Segala sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Allah untuk mahluk-Nya.” Semua yang berada di bumi, langit serta isinya di
ciptakan oleh Allah. Dan seiring dengan penciptaan mereka, Allah juga telah
memberikan suatu aturan, lakon atau cerita untuk diri mereka masing-masing. Dan
cerita inilah menurut buku yang saya baca disebut takdir. (QS. Al Qamar : 49).
Cerita manusia dari lahir sampai dia diakhirat nanti telah Allah tentukan
sedit-detilnya, dan dicatat dalam kitab Lauhul Mahfudz. Dan segala sesuatu
telah ditentukan oleh takdir apakah dia akan berperan sebagai Raja, Sopir, atau
bahkan penjahat sekalipun. (QS. Al Hijr : 21). Dan takdir yang telah ditentukan
Allah tidak dapat diubah lagi sampai hari kiamat nanti (QS. Faathir : 43). Jadi
semua tingkah laku kita sudah “diprogram” oleh Allah, bahkan sedetik kemudian
langkah kita akan berlaku apa sudah ditentukan Allah, bahkan jauh sebelum kita
diciptakan oleh Allah (QS. Al Hadiid : 22 – 23) . (Buku : Ya Allah, Tolong Aku
Karya A.K penerbit Quanta Hal 140-153). Namun saya pernah berkonsultasi dengan
seorang aktifitis Islam, bahwa ada takdir yang telah ditetapkan oleh Allah dan
tidak bisa diubah seperti sakit, kematian, kita lahir sebagai seorang perempuan
atau laki-laki, dan ada juga takdir yang Allah yang tidak tidak punya
kewenangan dalam menentukannya, karena merupakan pilihan kita sebagai manusia,
seperti contohnya sebagai perempuan bila dia memilih untuk tidak berjilbab
adalah pilihan dia, bukan takdir dari Allah, jika seseorang merampok adalah
pilihan dia dan bukan takdir dari Allah. Dan saya juga pernah bertanya tentang
takdir oleh seorang guru ngaji di masjid tempat saya mengaji kurang lebih
pengertian takdir adalah seperti yang saya baca dibuku yang saya sebutkan
diatas. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana mengenai konsep takdir
yang diajarkan Rasulullah SAW yang sebenarnya.
Pertanyaan yang kedua adalah bahwa
masih ada kaitannya dengan takdir, saya membaca di artikel Eramuslim, bahwa yang sudah ditentukan oleh Allah adalah rejeki dan
maut, sedangkan jodoh adalah pilihan kita sendiri, bukan Allah yang menentukan.
Jika benar jodoh bukan Allah yang menentukan mengapa saya tidak bisa menikah
dengan pria pilihan saya ? Mengapa artikel seperti itu bisa ditampilkan di
Eramuslim yang sejatinya sebagai media pencerahan bagi umat Islam.
Pertanyaan yang ketiga bagaimana
hukumnya bagi seorang perempuan yang berjilbab syar’i kemudian melepasnya hanya
karena alasan ekonomi (karena takut susah dapat kerja) kemudian berjilbab
setelah bekerja, namun ketika berhenti kerja buka jilbab lagi, dan ketika sudah
bekerja berjilbab lagi, begitu terus sampai lebih dari 3 kali kejadian. Apakah
dia termasuk orang yang fasik? Bagaimana agar tetap istiqomah di jalan Allah?
Pertanyaan yang ke empat orang kafir
adalah jelas penghuni neraka jahanam dan mereka kekal selama-lamanya di neraka.
Bagaimana dengan orang munafik, fasik, musyrik? Apakah mereka kekal dineraka
selama-lamanya atau hanya sementara saja?
Pertanyaan ke lima bagaimana harta
yang di dapat dari bekerja dengan menggunakan ijazah palsu (lulus SMU mengaku
S1). Untuk mendapatkan penghasilan itu dia bekerja selayaknya karyawan kantoran
umumnya, hanya saja ijazah dan referensi kerjanya palsu.
Demikian pertanyaan saya ustadz.
Mohon maaf jika terlalu banyak. Semoga pencerahan dari ustadz dapat menambah
iman saya pada Allah.
Arum
Jawaban
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari Arum yang dimuliakan Allah
SWT.
Pengertian Taqdir
Takdir Allah terhadap segala sesuatu
mencakup peneguhan terhadap beberapa hakikat berikut :
1. Mengimani bahwa Allah SWT
mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya sebagaimana diri-Nya mengetahui
hal itu setelah terjadinya. Allah mengetahui sesuatu yang belum terjadi, tengah
terjadi dan akan terjadi dan tidaklah ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya baik
yang kecil maupun besar, sebagaimana firman Allah SWT :
ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن
مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِن
ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya : “Dan tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.
tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS.
Yunus [10] : 61)
2. Mengimani bahwa Allah swt telah
menuliskan segala sesuatu di “Lauh Mahfuzh” sebelum Dia swt menciptakan langit
dan bumi.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي
الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا
ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya : “Tiada suatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid [57] : 22)
3. Mengimani bahwa segala sesuatu
yang terjadi di alam ini adalah kehendak Allah swt. Tidak ada suatu kebaikan
maupun keburukan kecuali dengan kehendak-Nya.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ
اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insaan [76] : 30)
4. Mengimani bahwa segala sesuatu di
alam ini adalah ciptaan Allah SWT dan hasil dari ketetapan-Nya.
قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Artinya : Katakanlah: "Allah
adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa."(QS. Ar-Ra'ad [13] : 16)
Segala sesuatu yang terjadi di alam
ini adalah kehendak Allah swt, baik itu perkataan maupun perbuatan, pergerakan
maupun berhenti, kondisi maupun keadaaan, baik maupun buruk seseorang. Namun
demikian Allah SWT bersifat adil, Dia tidak akan menyesatkan orang yang berhak
mendapatkan petunjuk atau sebaliknya. Kemudian setiap hamba-Nya pun diberikan
kehendak dan pilihan untuk menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri,
sebagaimana firman-Nya :
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
Artinya : “(yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang berkehendak menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir
[81] : 28)
Dan semua kehendak manusia itu
tidaklah keluar dari kehendak dan takdir Allah SWT. Untuk itu Allah SWT telah
memberikan kepada hamba-hamba-Nya akal untuk bisa membedakan mana yang baik dan
buruk serta untuk bisa menentukan pilihan apakah sesuatu itu dilakukan atau
tidak.
Didalam kitab “Al Bayan Fii Arkanil
Iman” disebutkan bahwa ketetapan Allah terhadap manusia bisa dibagi menjadi dua
:
Pertama : perkara-perkara yang
manusia tidak memiliki kehendak dan pilihan didalamnya, seperti : keberadaan
atau ketidakberadaan, tinggi atau pendek, pintar atau bodoh, sehat atau sakit,
kehidupan atau kematiannya dan lainnya. Dalam hal ini manusia tidaklah
dikenakan pahala maupun siksa.
Kedua : Perkara-perkara yang menjadi
takdir Allah sebelumnya sesuai dengan ilmu dan hikmah Allah swt namun
didalamnya terdapat sebab, perbuatan, keinginan dan kehendak manusia, seperti :
makan, munum, berpakaian atau hal-hal mubah (dibolehkan) lainnya atau seperti :
shalat, infak, jihad atau hal-hal taat lainnya, seperti : berzina, mencuri,
minum khamr atau hal-hal yang diharamkan lainnya. Perbuatan-perbuatan ini
—macam kedua— terjadi sesuai dengan ilmu, tulisan, kehendak dan ketetapan Allah
swt dan manusia diberikan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan diberikan
sangsi atas keburukan yang dilakukannya. Seorang mukmin berkeyakinan bahwa
seluruh perbuatan hamba baik yang berupa pilihan maupun paksaan terjadi dengan
keinginan Allah dan takdirnya sejak di azali dan dibawah pengetahuan-Nya
sebelum terjadinya. (Al Bayan, hal. 415 – 416)
Dengan demikian seorang wanita yang
melepas jilbabnya atau seorang yang melakukan perampokan merupakan takdir Allah
SWT karena tidaklah ada sesuatu yang terjadi di alam ini, apakah ia berupa
kebaikan atau keburukan kecuali itu semua adalah takdir, ketetapan dan kehenda
Allah SWT. Namun dalam hal ini orang itu diberikan sangsi atas perbuatannya itu
dikarenakan kehendaknya memilih melepaskan jilbab atau melakukan perampokan
padahal akalnya telah mengetahui bahwa mengenakan jilbab adalah kewajiban dan
merampok adalah perbuatan yang dilarang dan merugikan orang lain.
Demikian pula dengan jodoh adalah
takdir Allah SWT, apakah seorang wanita menikah dengan pria pilihannya atau
pilihan orang tuanya, atau dirinya tidak menikah atau menikah dengan seseorang
kemudian bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, atau menikah dengan
seorang pria kemudian bercerai dan tidak menikah lagi.
Diwajibkan bagi seorang mukmin untuk
mengimani hikmah Allah SWT di dalam takdir-takdir-Nya. Dia swt memiliki hikmah
yang tepat pada segala sesuatu yang terjadi di alam ini baik yang dapat fahami
maupun tidak oleh akal manusia. Akan tetapi banyak diantara hikmah-hikmah Allah
swt itu tidak bisa difahami oleh akal manusia. Karena itu diwajibkan bagi
manusia untuk berserah diri kepada Allah swt dan ini merupakan bagian dari
keimanan terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dan tidak boleh menentangnya terhadap
aturan maupun takdir-Nya.
Melepas Jilbab Karena Alasan Ekonomi
Tidak selayaknya bagi seorang
muslimah yang telah mengenakan jilbab kemudian melepasnya hanya karena alasan
ekonomi atau tuntutan pekerjaan karena hal ini termasuk melanggar perintah
Allah SWT.
ا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al Ahzab [33] : 59)
Tidak sepatutnya dirinya melakukan
pelanggaran demikian hanya karena tuntutan ekonomi dan atau untuk menambah
rezekinya karena sesungguhnya rezekinya, banyak atau sedikit penghasilannya
telah ditetapkan dan dituliskan Allah di Lauh Mahfuzh-Nya.
Perbuatan menanggalkan jilbab
sementara dirinya tetap meyakini kewajibannya bisa termasuk dalam perbuatan
fasik karena pengertian fasik adalah keluar dari ketaatan kepada Allah swt.
Diharuskan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan mengenakan
kembali jilbabnya serta bertawakal kepada Allah SWT atas rezekinya.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ
مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ
Artinya : “Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath
Thalaq [65] : 2-3)
Adapun hal-hal yang bisa menjadikan
seseorang tetap istiqamah diatas jalan dan ketaatan kepada-Nya adalah
memperbanyak ilmu pengetahuan agamanya demi meningkatkan keimanannya kepada
Allah swt serta mencari lingkungan atau teman-teman dari kalangan orang-orang
shaleh yang takut kepada Allah swt.
Apakah Orang Fasik, Musyrik dan
Munafik Kekal di Neraka?
Diantara pokok-pokok ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah moderat di dalam nama-nama iman dan agama. Di dalam
nama-nama iman dan agama kita dapati beberapa kelompok yang berbeda, yaitu:
Mu’tazilah dan Khawarij di satu sisi serta Murji’ah di sisi lainnya. Muta’zilah
dan Khawarij mengatakan, “Sesungguhnya seseorang apabila berzina maka dia telah
keluar dari keimanan dan tidaklah menjadi mukmin...” Sedangkan Murji’ah
mengatakan yang sebaliknya, “Sesungguhnya seseorang walaupun dirinya berzina
atau mencuri maka dia tetaplah mukmin yang sempurna keimanannya, keimanannya
seperti keimanan orang yang paling taat kepada Allah.” Sementara Ahlus Sunnah
wal Jama’ah mengatakan, “Apabila seseorang berzina atau mencuri maka ia adalah
seorang mukmin yang kurang keimanannya atau mukmin dengan keimanannya dan fasik
dengan dosa besarnya.”
Kemudian juga moderat di dalam hukum—di
dalam hukum terhadap manusia atas perbuatannya, apa yang akan menimpanya jika
dirinya melakukan perbuatan dosa besar. Mu’tazilah dan Khawarij mengatakan,
“Sesungguhnya orang itu kekal di neraka bersama dengan orang-orang munafik, Abu
Jahl, Abu Lahab dan selain mereka.” Sementara Murji’ah mengatakan, “Tidak,
bahkan setiap pelaku dosa besar tidaklah kekal di neraka selama-lamanya dan ini
tidak mungkin.” Sementara itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
“Sesungguhnya dia berhak mendapatkan siksa dan bisa saja Allah mengampuninya.”
(Liqo’at al Bab al Maftuh juz 45 hal 19)
Dengan demikian seorang yang
meninggal diatas agama islam tidaklah kekal di dalam neraka betapa pun besar
dosa yang dilakukannya, dan bisa jadi dirinya masuk neraka sesuai dengan dosa-dosa
yang dilakukannya dan jika Allah berkehendak maka dirinya akan mendapatkan
ampunan dari-Nya.
Imam Bukhori meriwayatkan dari
'Ubadah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa
yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah satu-satunya
dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan
utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa 'Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan
firman-Nya yang Allah berikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah
haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkan orang itu
ke dalam surga betapapun keadaan amalnya."
Adapun terhadap dosa syirik maka
para ulama membagi menjadi dua macam :
- Syirik Kecil, seperti : riya, bersumpah dengan selain Allah swt maka tidaklah menyebabkan dirinya kekal di neraka dan tidaklah menghapuskan amal-amalnya akan tetapi perbuatan tersebut termasuk yang diharamkan sepertihalnya dosa-dosa besar bahkan lebih berat dari dosa-dosa besar akan tetapi tidak menyebabkannya kekal di neraka, demikian menurut Syeikh Ibn Baaz.
- Berbeda dengan Syirik Kecil maka pelaku Syirik Besar, seperti : menyembah selain Allah swt dapat mengeluarkannya dari islam, kekal di neraka dan menghapuskan amal-amalnya.
Sedangkan nifak atau kemunafikan pun
dibagi menjadi dua macam :
- Nifak Amali, seperti : berdusta jika berbicara, berkhianat, menyalahi janji, bermalas-malasan dalam shalat tidaklah menyebabkan pelakunya keluar dari islam dan tidak menyebabkan dirinya kekal di neraka.
- Berbeda dengan Nifak Amali maka Nifak Itiqadiy, seperti : mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mendustakan sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, membenci Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dapat mengeluarkan pelakunya dari islam dan menyebabkannya kekal di neraka.
Penghasilan Dari Ijazah Palsu
Seorang yang melamar pekerjaan
dengan menggunakan ijazah palsu berarti dirinya telah melakukan suatu
kecurangan (penipuan) yang diharamkan agama, berdasarkan apa yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Dan barangsiapa menipu kami, maka dia bukan
golongan kami."
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No.
51544 menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan pekerjaannya dengan
menggunakan ijazah palsu kemudian dirinya profesional didalam amalnya itu maka
tidaklah ada kesempitan baginya terhadap gaji yang didapat darinya selama
dirinya menunaikan pekerjaannya itu sesuai dengan yang diinginkan (instansinya)
dan diharuskan baginya untuk bertaubat kepada Allah terhadap perbuatan
curangnya itu.
Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment