Wednesday 10 April 2013

LAPAR MENAJAMKAN MATA BATIN


KH. Jalaluddin Rakhmat

Hawa nafsu sebetulnya ular naga berkepala dua. Lelaki yang berhasil menghindari maksiat dalam kisah Nabi, seperti yang diriwayatkan Bukhari,   berhasil membunuh salah satu di antara kepala naga, yaitu seks. Kepala ini menyemburkan api yang panasnya bisa membakar orang sampai ke ulu hati. Kepala lainnya adalah perut. Imam Ali berkata,” Jarak yang terjauh antara seorang hamba dengan Allah ialah ketika urusannya hanyalah perut dan seksnya saja”
Al-Ghazali menulis dalam Ihya ‘Ulum al-Din sebuah kitab dengan judul Kitâb Kasr al-Syahwatayn, Buku tentang Menghancurkan Kedua Syahwat. Ia menyebut hawa nafsu sebagai syahwat. Dalam bahasa Indonesia tampaknya syahwat hanya berarti nafsu seks.  Dalam bahasa Arab dua syahwat itu terdiri dari syahwat seks dan syahwat perut. Yang kedua itu tentu saja termasuk tapi tidak terbatas pada makan dan minum. Ke dalamnya masuk segala cara untuk memuaskan kesenangan-kesenangan fisik dengan menggunakan – pada zaman moderen sekarang ini - duit.  Mungkin istilah paling tepat di masa kini untuk syahwat perut adalah konsumerisme, perilaku konsumtif.  Simaklah bagaimana Nabi saw dan sahabat-sahabatnya berusaha menaklukkan “syahwat perut”.
Pada suatu hari – menurut Anas bin Malik - Fatimah as datang dengan membawa potongan roti untuk Rasulullah saw. Beliau bertanya: Potongan  apakah ini?Fatimah berkata: Potongan  roti. Aku merasa tidak enak kalau aku tidak membawanya untukmu. Rasulullah saw bersabda; Ketahuilah ya Fatimah, ini makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari lalu.”   Dari manusia suci yang – kata ‘Aisyah -  tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut itu keluar perintah “Biasakan mengetuk pintu surga, supaya pintu itu terbuka bagimu?”. Aisyah bertanya, “Bagaimana kami membiasakan mengetuk pintu surga.” “Dengan lapar dan dahaga,” kata Nabi (Ihya, 3:119).
Lebih dari 30 tahun setelah itu, seorang rakyat biasa menemui khalifah di istananya. Di depan khalifah ada secangkir susu dan pada tangannya ada beberapa potong roti. Dari susu iti keluar bau apek. Sedangkan roti itu tampak keras dan kasar. Khalifah berusaha mematah-matahkannya dan memasukkan serpihan-serpihannya pada susu dalam cangkir. Rakyat kecil itu takjub melihat pemimpinnya makan begitu sederhana. Ia bertanya kepada pembantu khalifah, “Apakah kamu tidak kasihan pada orangtua ini? Kenapa tidak kau minyaki rotinya supaya lunak?”. Pembantunya berkata, “Bagaimana aku bias kasihan padanya; ia sendiri tidak kasihan pada dirinya. Ia memerintahkan kami untuk tidak menambahkan apa pun pada rotinya. Kami sendiri makan roti yang lebih baik dari roti yang dimakannya. Khalifah berkata, “Wahai Suwaydah, kamu tidak tahu apa yang biasa dimakan Nabi saw. Dia pernah tidak makan tiga hari berturut-turut.” Khalifah itu adalah anak didik Nabi saw, keluaran madrasah Rasulullah yang tumbuh dalam asuhan wahyu, Ali bin Abi Thalib.
Ketika ia mau berbuka puasa, ia menginginkan daging bakar dengan roti yang lunak. Sudah lama ia menginginkannya. Akhirnya ia berbiacara pada putranya, Hasan. Hasan pun mempersiapkannya. Ketika makanan itu sudah terhidang menjelang waktu buka, seorang pengemis berdiri di depan pintu. Imam berkata pada Hasan, “Anakku, berikan daging bakar itu padanya. Jangan sampai dalam catatan amal kita tertulis Adzhabtum thayyibātikum fi hayātikum al-dunyā wastamta’tum bihā. Kamu sudah menghabiskan yang baik-baik bagimu dalam kehidupan kamu di dunia saja dan kamu sudah bersenang-senang dengannya.”
Adi bin Hatim al-Thaiy  menyaksikan juga Imam Ali makan dengan sangat sederhana. Ia bertanya: Tuanku, aku melihat engkau berpuasa dan berjihad pada siang harimu, serta banyak salat pada waktu malammu, sedangkan engkau makan dengan potongan roti seperti ini?” Imam Ali menjawab, “Hai Adi, dengarkan. Sesungguhnya kalau kamu memperturutkan nafsumu, ia akan mendorong kamu kepada kekecewaan dan ketidakpuasan. Seperti kata penyair Hatim bin Abdillah: Sungguh, jika kauikuti nafsumu dan farjimu, keduanya akan menjerumuskanmu pada puncak kehinaan.”  (Syaikh Ahmad al-Hayri, Tahdzib al-Nafs 1:238).
Apa yang kita peroleh jika kita mengendalikan syahwat perut dengan lapar?
Apa yang akan kita peroleh bila kita berlatih melaparkan perut kita, mengendalikan nafsu konsumtif kita?  Al-Ghazali menyebutkan sepuluh faidah. Hari ini, kita menyebutkan empat di antaranya:
Pertama, membersihkan hati dan menajamkan mata batin. Kata Al-Syibli: Setiap hari aku melaparkan perutku, pintu hikmah dan ‘ibrah (pelajaran) terbuka bagiku. Kata Yazid al-Bisthami: Lapar itu mega. Bila perut lapar dari hati akan terucrah hujan hikmah. Bila lapar memancarkan kearifan, kenyang akan melahirkan kedunguan. Nabi saw bersabda: Cahaya kearifan adalah lapar, menjauh dari Allah adalah kenyang, mendekati Allah ialah mencintai fakir dan miskin dan akrab dengan mereka. Jangan kenyangkan perutmu, nanti padam cahaya hikmah dalam hatimu.”
Kedua, melembutkan hati dan membersihkannya sehingga mampu merasakan kelezatan berzikir.  Kadang-kadang kita  berzikir dengan kehadiran hati, tetapi kita tidak menikmatinya dan hati kita tidak tersentuh sama sekali. Pada waktu yang lain, hati kita sangat lembut dan kita merasakan kelezatan berzikir dan kenikmatan bermunajat. Menurut para sufi, sebab utama dari hilangnya kelezatan zikir adalah perut yang kenyang. Kata Abu Sulayman: Apabila orang lapar dan haus, hatinya akan terang dan lembut. Bila orang kenyang, hatinya akan buta dan kasar.
Ketiga, meluluhkan dan merendahkan hati,  menghilangkan kesombongan dan keliaran jiwa. Ketika kita lapar, kita merasakan kelemahan tubuh kita di hadapan kekuasaan Allah. Betapa ringkihnya kita, kalau Tuhan memisahkan kita dari makanan dan minuman hanya untuk beberapa waktu saja. Karena itu, ketika Nabi saw ditawari semua kenikmatan dunia, ia menolaknya dan berkata, “Tidak, aku ingin lapar sehari dan kenyang sehari;  pada waktu lapar aku bisa bersabar dan mernedahkan diriku, pada waktu kenyang aku bisa bersyukur.”
Keempat, mengingatkan kita pada ujian dan azab Allah.  Ketika orang kenyang ia tidak akan ingat pedihnya kelaparan dan kehausan.  Seorang yang arif akan mengenang derita – lapar dan haus - pada hari akhirat atau pada waktu sakratul maut, ketika ia merasakan lapar dan haus di dunia ini.  Orang yang selalu kenyang dan sehat tidak akan merasakan pedihnya hari kiamat. Begitu pula, orang yang tidak pernah lapar akan lupa pada sebagian masyarakat yang diuji Tuhan dengan kelaparan. Ia akan kehilangan imannya; karena ia tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya. Ketika Nabi Yusuf as menjadi menteri logistik, ia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya: Mengapa Anda lapar padahal perbendaharaan bumi di tangan Anda?  Yusuf menjawab: Aku takut kenyang dan melupakan orang yang lapar.[]

No comments:

Post a Comment