KH. Jalaluddin
Rakhmat
Hawa nafsu sebetulnya ular naga berkepala dua. Lelaki yang berhasil
menghindari maksiat dalam kisah Nabi, seperti yang diriwayatkan
Bukhari, berhasil membunuh salah satu di antara kepala naga, yaitu
seks. Kepala ini menyemburkan api yang panasnya
bisa membakar orang sampai ke ulu hati. Kepala lainnya adalah perut. Imam Ali
berkata,” Jarak yang terjauh antara seorang hamba dengan Allah ialah ketika
urusannya hanyalah perut dan seksnya saja”
Al-Ghazali menulis dalam Ihya ‘Ulum al-Din sebuah kitab dengan judul Kitâb
Kasr al-Syahwatayn, Buku tentang Menghancurkan Kedua Syahwat. Ia menyebut hawa
nafsu sebagai syahwat. Dalam bahasa Indonesia tampaknya syahwat hanya berarti
nafsu seks. Dalam bahasa Arab dua syahwat itu terdiri dari syahwat seks
dan syahwat perut. Yang kedua itu tentu saja termasuk tapi tidak terbatas pada
makan dan minum. Ke dalamnya masuk segala cara untuk memuaskan
kesenangan-kesenangan fisik dengan menggunakan – pada zaman moderen sekarang ini
- duit. Mungkin istilah paling tepat di masa kini untuk syahwat perut
adalah konsumerisme, perilaku konsumtif. Simaklah bagaimana Nabi saw dan
sahabat-sahabatnya berusaha menaklukkan “syahwat perut”.
Pada suatu hari – menurut Anas bin Malik - Fatimah as datang dengan membawa
potongan roti untuk Rasulullah saw. Beliau bertanya: “Potongan apakah ini?” Fatimah berkata: “Potongan roti. Aku merasa tidak enak
kalau aku tidak membawanya untukmu.” Rasulullah saw bersabda; “Ketahuilah ya Fatimah, ini makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari
lalu.”
Dari manusia suci yang – kata ‘Aisyah - tidak pernah makan kenyang tiga
hari berturut-turut itu keluar perintah “Biasakan mengetuk pintu surga,
supaya pintu itu terbuka bagimu?”. Aisyah bertanya, “Bagaimana kami
membiasakan mengetuk pintu surga.” “Dengan lapar dan dahaga,” kata Nabi
(Ihya, 3:119).
Lebih dari 30 tahun setelah itu, seorang rakyat biasa menemui khalifah di
istananya. Di depan khalifah ada secangkir susu dan pada tangannya ada beberapa
potong roti. Dari susu iti keluar bau apek. Sedangkan roti itu tampak keras dan
kasar. Khalifah berusaha mematah-matahkannya dan memasukkan
serpihan-serpihannya pada susu dalam cangkir. Rakyat kecil itu takjub melihat
pemimpinnya makan begitu sederhana. Ia bertanya kepada pembantu khalifah, “Apakah
kamu tidak kasihan pada orangtua ini? Kenapa tidak kau minyaki rotinya supaya
lunak?”. Pembantunya berkata, “Bagaimana aku bias kasihan padanya; ia
sendiri tidak kasihan pada dirinya. Ia
memerintahkan kami untuk tidak menambahkan apa pun pada rotinya. Kami sendiri
makan roti yang lebih baik dari roti yang dimakannya”. Khalifah berkata, “Wahai
Suwaydah, kamu tidak tahu apa yang biasa dimakan Nabi saw. Dia pernah tidak makan
tiga hari berturut-turut.” Khalifah itu adalah anak didik Nabi saw, keluaran madrasah
Rasulullah yang tumbuh dalam asuhan wahyu, Ali bin Abi Thalib.
Ketika ia mau berbuka
puasa, ia menginginkan daging bakar dengan roti yang lunak. Sudah lama ia
menginginkannya. Akhirnya ia berbiacara pada putranya, Hasan. Hasan pun
mempersiapkannya. Ketika makanan itu sudah terhidang menjelang waktu buka,
seorang pengemis berdiri di depan pintu. Imam berkata pada Hasan, “Anakku,
berikan daging bakar itu padanya. Jangan sampai dalam catatan amal kita
tertulis Adzhabtum thayyibātikum fi hayātikum al-dunyā wastamta’tum bihā. Kamu
sudah menghabiskan yang baik-baik bagimu dalam kehidupan kamu di dunia saja dan
kamu sudah bersenang-senang dengannya.”
Adi bin Hatim
al-Thaiy menyaksikan juga Imam Ali makan dengan sangat sederhana. Ia
bertanya: “Tuanku, aku melihat engkau berpuasa dan
berjihad pada siang harimu, serta banyak salat pada waktu malammu, sedangkan
engkau makan dengan potongan roti seperti ini?” Imam Ali menjawab, “Hai
Adi, dengarkan. Sesungguhnya kalau kamu memperturutkan nafsumu, ia akan
mendorong kamu kepada kekecewaan dan ketidakpuasan.” Seperti kata penyair
Hatim bin Abdillah: “Sungguh, jika kauikuti nafsumu dan
farjimu, keduanya akan menjerumuskanmu pada puncak kehinaan.” (Syaikh Ahmad
al-Hayri, Tahdzib al-Nafs 1:238).
Apa yang kita peroleh jika
kita mengendalikan syahwat perut dengan lapar?
Apa yang akan kita
peroleh bila kita berlatih melaparkan perut kita, mengendalikan nafsu konsumtif
kita? Al-Ghazali menyebutkan sepuluh faidah. Hari ini, kita menyebutkan
empat di antaranya:
Pertama, membersihkan hati dan
menajamkan mata batin. Kata Al-Syibli: Setiap hari aku melaparkan perutku, pintu
hikmah dan ‘ibrah (pelajaran) terbuka bagiku. Kata Yazid al-Bisthami: Lapar itu
mega. Bila perut lapar dari hati akan terucrah hujan hikmah. Bila lapar
memancarkan kearifan, kenyang akan melahirkan kedunguan. Nabi saw bersabda: “Cahaya
kearifan adalah lapar, menjauh dari Allah adalah kenyang, mendekati Allah ialah
mencintai fakir dan miskin dan akrab dengan mereka. Jangan kenyangkan perutmu,
nanti padam cahaya hikmah dalam hatimu.”
Kedua, melembutkan hati dan
membersihkannya sehingga mampu merasakan kelezatan berzikir. Kadang-kadang
kita berzikir dengan kehadiran hati, tetapi kita tidak menikmatinya dan
hati kita tidak tersentuh sama sekali. Pada waktu yang lain, hati kita sangat
lembut dan kita merasakan kelezatan berzikir dan kenikmatan bermunajat. Menurut
para sufi, sebab utama dari hilangnya kelezatan zikir adalah perut yang
kenyang. Kata Abu Sulayman: Apabila orang lapar dan haus, hatinya akan terang
dan lembut. Bila orang kenyang, hatinya akan buta dan kasar.
Ketiga, meluluhkan dan
merendahkan hati, menghilangkan kesombongan dan keliaran jiwa. Ketika kita lapar, kita merasakan kelemahan tubuh kita di hadapan kekuasaan
Allah. Betapa ringkihnya kita, kalau Tuhan memisahkan kita dari makanan dan
minuman hanya untuk beberapa waktu saja. Karena itu, ketika Nabi saw ditawari
semua kenikmatan dunia, ia menolaknya dan berkata, “Tidak, aku ingin lapar
sehari dan kenyang sehari; pada waktu lapar aku bisa bersabar dan
mernedahkan diriku, pada waktu kenyang aku bisa bersyukur.”
Keempat, mengingatkan kita
pada ujian dan azab Allah. Ketika orang kenyang ia tidak akan
ingat pedihnya kelaparan dan kehausan. Seorang yang arif akan mengenang
derita – lapar dan haus - pada hari akhirat atau pada waktu sakratul maut,
ketika ia merasakan lapar dan haus di dunia ini. Orang yang selalu
kenyang dan sehat tidak akan merasakan pedihnya hari kiamat. Begitu pula, orang
yang tidak pernah lapar akan lupa pada sebagian masyarakat yang diuji Tuhan
dengan kelaparan. Ia akan kehilangan imannya; karena ia tidur kenyang sementara
tetangganya kelaparan di sampingnya. Ketika Nabi Yusuf as menjadi menteri
logistik, ia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya: Mengapa
Anda lapar padahal perbendaharaan bumi di tangan Anda? Yusuf menjawab:
Aku takut kenyang dan melupakan orang yang lapar.[]
No comments:
Post a Comment